Dibalik Fenomena Anak
Durhaka
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Di dalam
khazanah tata Krama Jawa ada sebuah peribahasa yang berbunyi, "Anak polah
Bapa kepradah, Bapa kesulah Anak kepolah". Apa maksudnya? Mengutip buku
yang berjudul MAGUTI: Kajian Simbolisme Budaya Jawa yang disusun oleh Kodrat
Eko Putro Setiawan (2019: 94), dijelaskan bahwa makna ‘anak polah bapa
kepradah, bapa kesulah anak kepolah’ adalah ketika anak bertingkah, bapak atau
orang tua lah yang akan bertanggung
jawab. (Jika) orang tua dihukum dengan dihujani tombak, anak ikut merasakannya.
Berdasarkan peribahasa tersebut, bisa disimpulkan bahwa tanggung jawab orang
tua kepada anaknya sangatlah besar, oleh sebab itu seorang anak wajib berbakti
kepada orang tua.
Selain
itu, ‘anak polah bapa kepradah’ dapat diartikan dengan penjelasan bahwa jika
anak melakukan perbuatan buruk, maka orang tua yang akan mendapatkan
hukumannya, baik hukuman normatif, aib, cemoohan, beban penderitaan, dan lainnya.
Misalnya, jika anak berkelahi atau melukai orang lain yang mengakibatkan
tuntutan untuk menanggung biaya perawatan medis atau bahkan sampai meninggal
dunia, atau seorang anak mencuri barang milik orang lain sehingga dituntut
untuk mengganti atau ancaman bui, dan lain sebagainya. Berdasarkan
contoh-contoh di atas, tentu pihak yang paling terbebani tanggung jawab
terbesar adalah orang tua.
Fenomena
Anak Polah Bapa Keprodo ini beberapa waktu belakangan sedang marak terjadi di
negeri ini. Contoh paling menonjol dimulai dari kasus penganiayaan David Ozora
yang dilakukan oleh Mario Dandi. Akibat ulah arogannya itu akhirnya mata publik
menyorot gaya hidup anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo tersebut. Dan benar saja setelah
diusut tuntas ternyata ayah Mario Dandi itu terbukti telah melakukan dugaan
gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan dijatuhi hukuman 14
tahun (08/01/24) oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kemudian
ada kasus Ronald Tannur di Surabaya. Anak politikus Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) asal Nusa Tenggara Timur, Edward Tannur tersebut, adalah terdakwa kasus
penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti hingga tewas. Pada 24 Juli
2024, Ronald dibebaskan oleh tiga orang anggota majelis hakim PN Surabaya,
yakni ED, M dan HH. Dalam sidang putusan, dia dinyatakan tidak terbukti
menganiaya dan membunuh kekasihnya itu padahal telah viral di sosial media
bagaimana pemuda 32 tahun itu melindas kekasihnya itu sebelum akhirnya tewas.
Kegeraman publik pada putusan bebas Ronald Tannur itu akhirnya membuka kotak
Pandora yang menggegerkan dunia peradilan di negeri ini. Ternyata ada mafia
peradilan yang bermain di balik semua ini. Yakni ketika Kejagung berhasil
menangkap bekas pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, dalam kasus dugaan
suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur tersebut. Zarof diduga terlibat juga
dalam berbagai kasus dugaan makelar kasus di MA.
Tim
penyidik Kejagung juga berhasil menemukan uang serta emas senilai 1 triliun
yang dikumpulkan oleh Zarof dari pengurusan sejumlah perkara sejak 2012. Dia
ditangkap pada Kamis (24/10), saat penyidik Kejagung mengusut dugaan suap
terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur yang diduga
menerima suap dalam perkara yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur. Siapakah
yang berusaha menyuap Zarof demi membebaskan Ronald Tannur? Siapa lagi jika
bukan orang tuanya, dalam hal ini adalah ibunya. Kejaksaan Agung telah
menetapkan Meirizka Widjaja (MW), ibu Ronald Tannur, sebagai tersangka kasus
penyuapan sebesar Rp3,5 miliar kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Suap itu diberikan agar Ronald Tannur divonis bebas dalam kasus penyiksaan
kekasihnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. MW disebut telah mufakat dengan
pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat (LR), untuk biaya pengurusan vonis bebas
Ronald Tannur, kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di
Jakarta, Senin (04/11). Sekali lagi Anak Polah Bapa Keprodo itu terjadi.
Selanjutnya
ada kasus yang beberapa waktu ini tengah viral dimana seorang ayah di Surabaya
menyuruh seorang murid sekolah bersujud dan menggonggong layaknya anjing untuk
menghukum murid tersebut yang dianggap telah menyakiti anaknya. Setelah
kelakuan arogansinya tersebut menjadi viral, seperti lumrahnya hukum dalam "Undang-Undang" Netizen Indonesia,
si pelaku akhirnya ditangkap polisi setelah dirujak oleh warganet Indonesia.
Dan belakangan beredar berita bahwa anak si pelaku yang punya masalah dengan
murid yang "dianjingkan" oleh pelaku, merasa menyesal karena sebab
dirinya kini ayahnya mendekam di penjara.
Itulah
sebagian dari banyak kisah kenakalan anak yang membuat sengsara orang tuanya
yang kini sedang jadi sorotan masyarakat. Ada pepatah masyhur mengatakan bahwa
apa yang ditabur maka itulah yang kelak akan dituai. Apa yang ditanam maka
itulah yang nanti akan dipanen. Bisa jadi para anak yang berbuat durhaka seperti
tawuran, zina dan tindak kriminal lainnya yang kemudian menyeret para orang
tuanya dalam masalah di depan hukum adalah akibat dari salah pendidikan
semenjak dini. Para orang tua akhir zaman yang sudah banyak terpapar paham
sekularisme dan kapitalisme hanya berfokus memberi asupan nutrisi badaniah
semata kepada anaknya sejak kecil. Baik itu berupa makanan yang dianggap
sebagai makanan sehat, susu formula mahal dan sejenisnya. Kemudian disekolahkan
di sekolah-sekolah yang dianggap memiliki kurikulum yang bagus dalam pandangan
duniawi yang mirisnya alpha kandungan nilai ilahi.
Di dalam
kitabnya, Adabul Alim wal Muta'alim, Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy'ari
mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha yang
mengatakan,
حق الولد على
والده ان يحسن اسمه، ويحسن مرضعه، ويحسن ادبه
"Hak
seorang anak atas orang tuanya adalah memberi nama yang bagus, memberi
pengasuhan yang bagus, dan mengajarkan adab yang bagus." (Adabul Alim
Wal Muta'alim, cetakan Maktabah Lil Turats Al Islami Tebu Ireng, hal 09)
Ada tiga
poin penting dalam hadis tersebut yaitu memberi nama yang baik. Harus diakui
orang tua Muslim zaman ini lebih banyak memberi nama anaknya dengan nama yang
mulai jauh dari nilai Islam. Mereka lebih bangga memakai nama artis, pemain
sepak bola dan para pesohor lainnya yang tidak jarang nama-nama itu adalah nama
para musuh Islam di zamannya. Mereka mulai malu memakai nama para Nabi, tokoh
Islam dan sejenisnya karena dinilai kurang "menjual" dan tidak keren
dalam pergaulan zaman modern.
Kemudian
pengasuhan yang baik. Para orang tua zaman akhir bisa dikatakan telah salah
dalam melakukan pengasuhan. Mereka yang sudah sibuk berkarir bisanya
menyerahkan pengasuhan anak-anaknya kepada orang lain baik individu maupun
lembaga tanpa dipantau dengan serius mengenai nilai-nilai apa yang telah
diajarkan kepada anaknya. Mereka tidak peduli apakah nilai keislaman telah ditanamkan
dengan baik atau tidak.
Yang
ketiga adalah mengajarkan adab yang baik kepada anaknya. Inilah yang sudah
mulai hilang dari umat Islam. Islam
adalah agama yang sangat serius dalam mengajarkan adab. Menurut Prof Syed
Muhammad Naquib Al Attas, adab merujuk kepada pengenalan dan pengakuan atas
tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan kepada
disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranannya
sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang
dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan mencerminkan keadaan keadilan.
(Syed Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, hal 134).
Jika
seorang anak sudah terdidik adabnya maka dia akan bisa berlaku adil kepada
siapapun. Dia akan paham bagaimana cara yang baik berinteraksi dengan teman,
guru, orang tua dan terlebih kepada Tuhannya. Dengan adab yang baik itu tidak
akan mungkin akan tertulis cerita di pemberitaan seorang anak membunuh orang
tuanya, melawan gurunya, merisak temannya dan sebagainya seperti yang sekarang
mulai sering terjadi.
Al-Imam
al-Ghazali mengatakan bahwa jika seorang anak dibiasakan berbuat baik sejak
dini, maka ia akan tumbuh besar menjadi baik, bahagia di dunia dan akhirat.
Orang tua serta pendidiknya mendapatkan pahala atas usaha mendidiknya. Namun
jika anak dibiarkan terdidik dengan buruk, maka ia akan terbiasa melakukan
keburukan, celaka di dunia dan akhirat. Orang tua dan pendidiknya juga ikut
terkena imbas dosanya.
Ini
artinya fenomena anak durhaka adalah sebuah siklus yang bermula dari perilaku
durhaka orang tua kepada anaknya. Karena sesuai fitrahnya seorang anak pasti
terlahir menjadi anak baik ibarat kertas kosong sebelum terwarnai oleh
lingkungannya. Dan lingkungan terdekat tentunya adalah orang tuanya. Sebab
kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya tidaklah sepenuhnya kesalahan
mereka semata karena ada andil orang tua di dalamnya. Sahabat Umar bin
al-Khathab Radiyallahu Anhu saat menjadi khalifah pernah menegaskan hal
tersebut dimana saat itu datang seorang laki-laki menemui Sahabat Umar bin Khatab Radiyallahu
Anhu untuk mengadukan tindakan kurang ajar anaknya. Lantas Sahabat Umar
memanggil sang anak durhaka tersebut untuk dipertemukan dengan orang tuanya
sekaligus dimintai klarifikasi.
Karena
tidak terdidik dengan baik, bukannya mengakui kesalahannya, si anak malah
mencela orang tuanya karena dianggap telah menelantarkannya.
“Wahai
Amirul Mukminin... Bukankah orang tua juga punya kewajiban kepada anaknya?”
tegas sang anak.
“Ya,
benar,” ujar Sayyidina Umar.
“Lantas
apa itu kewajiban orang tua kepada anaknya?” si anak kembali bertanya kepada
Khalifah Umar.
Atas pertanyaan mengenai kewajiban orang tua kepada anaknya, Sahabat Umar mengatakan,
أَنْ يَنْتَقِيَ
أُمَّهُ وَيُحَسِّنَ اسْمَهُ وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ
“Memilihkan
ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang bagus, dan mengajarkannya
Al-Qur’an”.
“Wahai
Amirul Mukminin. Sungguh Ayahku ini tidak melakukan tiga hal tersebut. Ibuku
adalah seorang Negro dari keturunan Majusi. Ayahku menamaiku “Kumbang”. Dan
tidak pernah Ia mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” ujar si anak
menceritakan kondisinya.
Mendengar penjelasan pihak si anak, Sahabat Umar justru menegur keras orang tua si anak tersebut. Beliau memandang ke arah orang tua si anak dan memberinya nasihat,
جِئْتَ تَشْكُوْ
عُقُوْقَ ابْنِكَ وَقَدْ عَقَقْتَهُ قَبْلَ أَنْ يَعُقَّكَ وَأَسَأْتَ إِلَيْهِ قَبْلَ
أَنْ يُسِيْئَ إِلَيْكَ
“Engkau
mengadu kepadaku akan kenakalan anakmu, sementara kamu sendiri telah durhaka
kepadanya sebelum dia durhaka kepadamu. Engkau telah memperlakukannya dengan
buruk sebelum ia berlaku buruk kepadamu!” (Fawaidul Mukhtaroh Lisaliki
Thariqotul Akhiroh, Habib Ali bin Hasan Baharun, cet. Ma'had Darul Lughah Wa
Dakwah Bangil, hal 83-84)
Belajar
dari peristiwa di atas seharusnya sebagai orang tua kita harus lebih
berhati-hati dan mengevaluasi kembali apakah sudah benar penjagaan kita selama
ini kepada anak-anak kita sebagaimana pesan dalam Al Qur'an,
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(QS. At-Tahrim [66]: 6).
Jangan
sampai kita jadi orang tua durhaka yang melanggengkan siklus kedurhakaan anak
kepada orang tuanya kelak. Sebab anak bisa durhaka manakala orang tua salah
asih yakni salah dalam cara memberi kasih sayang, salah asuh yakni salah dalam
cara pengasuhan, dan salah asah yakni keliru dalam membersamai perkembangan
anak dengan tidak mengasah mental mereka dengan benar sehingga anak-anak tumbuh
menjadi pribadi yang cengeng dan rapuh sehingga mudah terombang-ambing trend
buruk zaman. Semoga bisa menjadi pelajaran bersama. Wallahu A'lam Bis Showab.
Dimuat Di :
https://sabili.id/di-balik-fenomena-anak-durhaka/