Perjalanan Pulang

Perjalanan Pulang
(Sebuah Renungan)
Oleh : Muhammad Syafii Kudo 

Suatu malam saat perjalanan pulang dari tempat kerja saya -seperti biasanya- selalu melewati jalanan tersebut. Dan selalu pula saya mewaspadai rute pulang ini. Dulu saya lebih memperhatikan pada lubang jalanan yang sudah menjadi pemandangan umum di jalanan Republik ini. Namun setelah diaspal (ditambal) ulang kini fokus saya bergeser kepada apa yang menempel di atas jalanan tersebut. Apa itu? Tidak ada lain adalah kotoran kuda dari bendi (delman hias) yang rute pulangnya kebetulan sama dengan rute saya ketika pulang di malam hari namun waktunya lebih dulu si pak kusir dan delman hiasnya itu. 

Sepanjang perjalanan pulang, kewaspadaan saya tingkatkan agar kotoran kuda yang berceceran di beberapa sisi aspal tidak terkena dan menempel di ban motor saya. Selain jijik, tentu sebagai seorang Muslim kita tidak ingin membawa najis masuk ke dalam rumah (garasi) kita. Tidak jarang sewaspada apapun kita, adakalanya kena juga pada akhirnya.

Di suatu malam saat perjalanan pulang seperti biasanya saya merenungi hal tersebut lebih dalam. Ternyata setelah beraktivitas dari  manapun kita, ke rumah jualah kita akan kembali pulang. Sebab di rumah lah kita kita bisa berkumpul dengan para orang yang kita kasihi dan di sana pula lah kita bisa beristirahat dengan nyaman. Dan sepanjang perjalanan pulang menuju rumah tentu kita ingin selamat sampai tujuan sembari tidak membawa kotoran, penyakit dan apapun yang dapat membawa dampak buruk bagi keadaan rumah kita.

Lalu bagaimana dengan akhirat? Bukankah akhirat adalah rumah sejati kita. Kehidupan dunia adalah ibarat kita dalam perjalanan lalu berteduh sebentar di bawah pohon untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanan pulang ke rumah yang hakiki (akhirat). (HR. Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan kepada salah satu sahabatnya, Abu Dzar al-Ghifari, sebagaimana termaktub dalam kitab Nashaihul ‘Ibad,

يَا أَبَا ذَرٍّ، جَدِّدِ السَّفِيْنَةَ فَإِنَّ اْلبَحْرَ عَمِيْقٌ، وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيْدٌ، وَخَفِّفِ اْلحِمْلَ فَإِنَّ العَقَبَةُ كَئُوْدٌ، وَأَخْلِصِ اْلعَمَلَ فَإِنَّ النَاقَدَ بَصِيْرٌ

"Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena laut itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh; ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah beramal karena Allah Maha Teliti."

Pesan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam itu mengandung makna tersirat. Nasihat tersebut sejatinya tidak hanya ditujukan kepada Sahabat Abu Dzar melainkan juga kepada umat beliau secara umum dan sepanjang zaman. Menurut penulis Nashaihul 'Ibad, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi), perintah untuk memperbaharui perahu berarti menata niat. Karena segala sesuatu tergantung kepada niatnya.

Kembali ke perkara perjalanan hidup, di dalam Islam bekal terbaik adalah taqwa. Allah berfirman dalam Al Qur'an,

 …..وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَا

“…..Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 197).

Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menyiapkan bekal suatu perjalanan, dalam hal ini ayat tersebut memang berbicara berkaitan dengan perjalanan haji. Namun jika kita renungkan lebih dalam, jika perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang berat dan membutuhkan bekal yang memadai lalu bagaimana dengan perjalanan menuju akhirat? Tentu lebih berat dan lebih butuh bekal yang memadai. Dan sebaik- baik bekal itu adalah taqwa.

Di dalam sebuah hadits disebutkan, adalah penduduk Yaman pergi berhaji. Mereka sengaja tidak membawa bekal dan berkata, “Kami hanya bertawakal kepada Allah”. Maka Allah berfirman, “Berbekallah kalian. Sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah ketakwaan”.

Lantas apa itu taqwa? Sahabat Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka'ab Radiyallahu Anhuma pernah membahasnya. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, "Wahai Ubay, apa makna takwa?" Ubay yang ditanya justru balik bertanya. "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?"

Umar menjawab, "Tentu saja pernah." "Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?" lanjut Ubay bertanya. "Tentu saja aku akan berjalan hati-hati," jawab Umar. Ubay lantas berkata, "Itulah hakikat takwa."

Jadi secara sederhana taqwa adalah engkau berjalan secara sangat hati-hati menuju Allah. Jika kita pulang ke rumah bisa bersikap hati-hati selama dalam perjalanan agar selamat sampai tujuan dan kendaraan kita terbebas dari kotoran dan sebagainya, lantas bagaimana dengan perjalanan kita menuju rumah abadi (akhirat) nanti? Sudahkah kita menyiapkan bekal nya dan sudah sangat hati-hati kah kita? Berhati-hati dari kotoran yang menempel berupa dosa selama kita hidup. Entah itu dosa kepada sesama makhluk apatah lagi dosa kepada sang Khaliq. Maka marilah sebelum kita sampai di rumah abadi (akhirat), kita bersihkan dulu kotoran-kotoran dosa tersebut. Supaya kita bisa pulang dengan jiwa dan hati yang bersih dan selamat. Wallahu A'lam Bis Showab. (Sebuah renungan)

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama