Berfikir Ilmiyah (Koreksi terhadap Guru Gembul)

 Berfikir Ilmiyah (Koreksi terhadap Guru Gembul)

Oleh: Dr. Kholili Hasib M.Ud*

Terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara tradisi ilmu Islam dengan tradisi ilmu Barat. Perbedaan mendasar itu berasal dari cara pandang terhadap konsep ilmu yang berbeda. Cara pandang terhadap ilmu dipengaruhi cara pandang terhadap Tuhan dan agama.

Ketika Guru Gembul (GG) secara lugas menafikan aspek-aspek ilmiah dalam agama dan tradisi ilmu keislaman, sesungguhnya itu dipengaruhi oleh sekularisme dalam memandang Tuhan, agama dan ilmu. Jadi statemen GG dalam dialog di Rabithah Alawiyah dua hari lalu itu serius dampaknya bagi pemikiran dan akidah.

Salah satu ciri khas tradisi ilmu Barat yang sekular adalah membatasi objek-objek ilmu pada bidang empiris dan rasional belaka. Di antara ciri cara pandang Barat itu antara lain; antara lain; rasionalisme, empirisisme, dikotomi, nihilisme, relativisme, anti-otoritas, dan equality.

Ilmu dalam peradaban Barat dirumuskan dari cara pandang terhadap kebenaran dan realitas yang bukan berdasarkan kepada ilmu agama dan dasar-dasar keyakinan agama. Tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar-dasar filosofis. Dasar filosofis itu berangkat dari spekulasi yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekular yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional, meletakkan ruang yang besar bagai kekuatan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam.

Menurut Immanuel Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berlandaskan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-apriori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transcendental. Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis.

Perbedaan yang mendasar antara standar Islam dan Barat dalam ilmu ini yang menjadikan problem epistemologis. Pada dasarnya, poin utama perbedaan metodologi Islam dan Filsafat sains sekular adalah cara mendapatkan kebenaran pengetahuan. Filsafat ilmu sekuler menggunakan metode rasionalis-empiris, menolak wahyu dan otoritas tetap, serta menjadikan skeptisisme (keraguan) sebagai metode epistemologi. Skeptisisme inilah menjadi kepercayaan dasar – membuang dimensi metafisik.

Sehingga konsep nilai, konsep baik dan buruk menjadi kabur, tidak ada parameter tetap, karena selalu berubah-ubah. Lebih jauh lagi pada saat paradigma postmodernisme mendominasi kegiatan ilmiah. Seperti dikatakan ole Ernest Gellner, bagi postmodernisme kebenaran adalah elusive (kabur), subjektif dan internal. Ide tentang kebenaran tunggal sulit diterima, apalagi kebenaran transenden yang eternal tidak bisa diterima postmodern.

Secara garis besarnya, epistemologi Barat bercabang menjadi positivisme, rasionalisme, dan Sophisme. Para ulama membagi sofisme (sufasthaiyyah) menjadi tiga golongan. Pertama, al-‘indiyyah (subjektifisme), Kedua, alla ‘adriyah (agnostisisme) dan Ketiga, al-inadiyyah (nihilisme). Kelompok al-‘indiyyah berkeyakinan bahwa kebenaran itu tidak ada. Kebenaran itu relative tergantung pada siapa yang mengucapkannya. Semua ilmu bersifat relatif. Kelompok ini mengatakan, ilmu dan kebenaran tergantung kepada pendapat masing-masing.

Golongan alla-Adriyah menyatakan bahwa manusia itu tidak bisa mengetahui, tidak bisa tahu. Jadi ilmu itu tidak bisa dicapai oleh manusia. Kelompok ini menolak “itsbatul ulum” atau tidak meyakini bahwa “knowledge is possible”. Mereka berpendapat apa yang kita ketahui sejatinya bukan yang sebenarnya. Sebab, manusia tidak bisa mengetahui yang sebenarnya, ilmu adalah produk imajinasi manusia. 

Kelompok ketiga, al-Inadiyyah, yaitu golongan yang berpaham bahwa hakikat sesuatu dan kebenaran itu bahkan tidak ada. Mereka juga disebut golongan keras kepala. Mereka juga berpaham skeptisisme. Menolak hakikat kewujudan. Sebaba, bagi mereka tidak ada kebenaran ontologis. 

Paham kelompok sofis ditolak oleh pandangan Islam. Dalam kitab al-Farqu Bayna al-Firaq, al-Baghdadi mengatakan, satu akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah Itsbatul Ulum wal haqiqah, yakni manusia bisa menerima ilmu dan kita bisa menerima hakikat realitas. Kebenaran ontologism bisa kita terima.

Paham positivisme dimotori oleh Auguste Comte yang kemudian dikembangkan oleh John Stuart Mill dan Emile Durkheim. Menurut aliran ini, keilmiahan ilmu diukur dengan dua hal, yaitu adanya Pertama, data positif (realis), Kedua telah dibuktikan melalui eksperimen, observasi dan komparasi. Objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dapat diukur (observable), dapat diulang (repeatable), diapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diprediksi (predictable).

Syarat-syarat keilmiahan tersebut menafikan metafisika dasar. Semuanya berdasarkan realisme dan sumber-sumber empirik. Sedangkan agama dianggap tidak ilmiah sebab, agama tidak dapat diukur dengan angka-angka, dan ajaran agama tidak dapat diuji secara empiris.

Aliran ketiga dari filsafat Barat adalah rasionalisme. Aliran ini dikaitkan dengan filsuf Prancis Rene Descartes, Spinoza dan lain-lain. Paham ini beranggapan bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang diakui benar oleh rasio manusia. Descartes menyebut prinsip dasar itu dengan innate ideas (ide bawaan) yang sudah ada dalam jiwa manusia sebagai kebenaran yang terang. Kebenaran yang menurut Descartes tidak bisa diragukan keberadaannya. Sehingga bisa mutlak menjadi sumber ilmu.  Leibniz berpendapat bahwa prinsip-prinspi rasional tersebut bersifat apriori (badihiy). Tanpa perlu pengalaman – sebagaimana aliran positivisme – ilmu bisa dicapai rasio manusia. Demikianlah, rasionalisme berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan manusia itu dari rasio. Rasio itu adalah subjek. Maka asal pengetahuan harus dicari pada subjek.

Dalam epistemologi Islam, sarana-sarana ilmu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama di antaranya melalui panca indera (al-hawas), akal sehat (al-‘aql) dan khabar yang benar (al-khabar al-shadiq). Sarana-sarana itulah yang memberikan ilmu dan kebenaran kepada manusia. Indra manusia dibagi dua, yakni indra lahir dan idra batin.

Imam al-Nasafi menegaskan sumber ilmu tersebut dalam kitabnya Aqaid al-Nasifyah, dia mengatakan:

حقائق الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا للسوفسطائية. ثم أسباب العلم للخلق ثلاثة، الحواس الخمس والخبر الصادق والعقل السليم

“Hakikat sesuatu itu tsabit (tetap) dan mengetahuinya adalah mungkin. Berbeda dengan (pandangan) kaum Sufasthaiyyah (shopist). Kemudian sebab (sumber) ilmu bagi makhluk itu ada tiga; panca indra, khabar shadiq dan akal sehat”.

Bahkan Syekh Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan bahwa mentsabitkan hakikat dan ilmu itu merupakan salah satu rukun agama yang disepakati oleh jumhur Ahlussunnah wal Jama’ah. Para ulama menyesatkan kaum shopist dan para pengikutnya karena keyakinan mereka menafikan ilmu dan menafikan hakikat sesuatu.

Beliau mengatakan:

وقالوا بتضليل نفاة العلم وسائر الأعراض، وبتضليل السوفسطائية الذين ينفون العلم وحقائق الأشياء كلها. وعدوهم معاندين لما قد علموه بالضرورة. وكذلك السوفسطائية الذين شكوا في وجود الحقائق، وكذلك الذين قالوا منهم بأن حقائق الأشياء تابعة للاعتقاد، وصححوا جميع الاعتقادات مع تضادها وتنافيها.

“Mereka (para ulama) berpendapat mengenai tersesatnya orang yang menolak (menafikan) ilmu dan sifat-sifat. Juga sesatnya kaum shopist dimana mereka juga menafikan ilmu dan hakikat segala sesuatu. Para ulama menganggap mereka ini adalah orang yang menentang (agama) karena mereka tahu dengan pasti. Begitu pula kaum shopist ini meragukan wujud sesuatu, mereka berkata bahwa hakikat sesuatu itu tergantung keyakinan. Mereka membenarkan semua keyakinan meskipun terjadi kontradiksi”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kaum shopist ini oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dinyatakan sebagai kaum inad (pengingkar). Maksud menafikan ilmu adalah mengingkari hakikat pengetahuan itu dapat dicapai oleh manusia. Mereka tidak percaya bahwa manusia dapat mencapai ilmu secara mutlak. Bagi kaum shopist segala sesuatu yang wujud itu nisbi. Bahwa hakikat sesuatu itu tergantung kepercayaan individu. Sehingga dengan pandangan ini, mereka menolak sumber-sumber ilmu, sebagaimana dijelaskan di atas.

Menurut Prof. al-Attas, proses manusia mengetahui sesuatu diawali dengan tahap persepsi terhadap objek yang dilakukan oleh indra lahir dan kemudian disalurkan kepada indra batin yang disebut indra umum. Dalam indra umum membentuk citra (image) realitas yang masih berupa estimasi dan disimpan di akal, dari situ kemudian membentuk keputusan atau pendapat melalui jalan analisis, dan pemilihan baik dan buruk.

Indra mengacu pada aktivitas persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indra lahir; yaitu perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat, dan pendengar. Terkait dengan lima panca indra, terdapat indra batin yang mempersepsi image indrawi dan maknanya, menyatukan atau memisahkan, mengkonsep gagasan, dan lain-lain. Kelima indra batin itu adalah; indra umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan imajinasi. Dalam hal ini, yang dipersepsi adalah ‘rupa’ dari objek lahiriyah atau disebut representasi lahiriah, bukan realitas hakiki itu sendiri. Jadi, yang dipersepsi oleh indra-indera itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang menyerupai atau merupakan representasi dari realitas itu. 

Perbedaan antara rupa dan makna realitas adalah, rupa merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra lahir dan kemudian indera batin. Sedangkan makna adalah apa yang dipersepsi oleh indera batin dari objek indrawi tanpa terlebih dahulu dipersepsi indera lahir. 

Islam mengakui indera ini memberikan sumber informasi dan juga sumber ilmu. Dan dalam sains disebut empirical sources. Sebagai salah satu sumber empiris yang memang diakui Islam sebagai saran manusia menerima ilmu. Hal ini berbeda dengan epistemologi sofisme, yang menafikan indera sebagai sumber ilmu. Jadi, sofisme bertentangan dengan epistemologi Islam dan juga bertentangan dengan aliran empirisisme-positivisme Barat.

Sumber ilmu yang kedua adalah akal. Fungsi akal ini adalah dapat menutupi kelemahan panca indera. Akal menafsirkan fakta-fakta dari pengalaman inderawi untuk menghasilkan hukum, kesimpulan yang dapat dipahami. Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan, bulan jika dilihat dengan indera mata terlihat kecil seperti logam duit. Namun kita tidak serta merta menyimpulkan begitu saja bahwa bulan itu sebesar logam duit, sebab akal kita menyatakan bulan itu besar. Dari mana akal bisa menyimpulkan bulan itu besar? Dari pembacaan hasil penelitian, dari sumber-sumber terpercaya. Akal memberi informasi baru dimana pengamatan empiris tidak mampu menyimpulkan yang sebenarnya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan, akal adalah suatu substansi ruhaniah yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Intuisi dipahami sebagai pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas, dan eksistensi Tuhan. Karena itu, intuisi akal tidak datang pada orang kecuali telah menjalani hidupnya dengan mengalamani kebenaran agama melalui praktik pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas.

Akal itu terpisah dari materi. Ia substansi rasional ruhaniah yang memiliki kekuatan intelek. Mengatur gerak tubuh, mengarahkan tindakan manusia, emosi dan menerima kekuatan kognitif. Di sinilah terjadinya intuisi. Makna akan tiba pada jiwa melalui intuisi.

Akal dibagi menjadi tiga, yaitu wajib bagi akal, mustahil bagi akal dan mungkin bagi akal. Wajib bagi akal adalah sesuatu yang akal kita tidak bisa menolaknya. Akal sehat harus menerimanya. Contoh berupa pernyataan ‘Ayah itu lebih tua dari anaknya’. Proposisi ini tidak bisa ditolak oleh akal sehat. Sedangkan lawannya adalah mustahil bagi akal, yakni akal tidak bisa menerimanya. Contoh: ‘Ibu itu lebih muda dari anaknya’. Atau berupa proposisi, ‘Ada segitiga bulat’. Ini tentu mustahil.

Sedangkan mungkin bagi akal adalah proposisi-proposisi yang akal bisa menerimanya, tergantung kemungkinan-kemungkinan. Contoh misalnya, ‘Istri lebih tua dari suaminya’.

Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat dari segi cara memperoleh ilmu, akal ada dua yaitu akal badihiy dan akal iktisab. Akal badihiy adalah gambaran sesuatu itu bisa langsung masuk dalam jiwa tanpa upaya, bisa menafikan dan menetapkan. Yang kedua adalah memperoleh ilmu dengan upaya yang dibantu oleh indera.

Namun begitu, akal memiliki keterbatasan. Akal harus selaras dengan bimbingan wahyu. Penggunaan akal melebihi kapasitasnya tentunya berlawanan dengan sunnatullah, bahkan bertentangan dengan makna kebahasaannya (etimologis). Dalam Eksiklopedi bahasa Arab, lisan al-'Arab, pakar bahasa Arab kenamaan, Sibawayh, menjelaskan berbagai pengertian akal yang dijelaskan dari akar kata dan derivasinya ('aqala, 'uqila, u'tuqila, 'aqaltu, 'aqil, 'iqal, ta'qil, ma'qul). (i) 'uqila lahu shay'un berarti dijaga atau diikat akalnya dan dibatasi. (ii) U'tuqila lisanuhu idza hubisa wa muni'a l-kalam berarti ditahan dan diikat lidahnya, yaitu jika  ia  dibatasi  dan  dilarang  berbicara.  (iii)  'aqaltu  l-ba'ir,  berarti  saya  telah mengikat keempat kaki unta. Ibnu Bari mengartikan akal dalam syairnya sebagai sesuatu yang memberikan kesabaran dan wejangan (mau'izhah) bagi orang yang membutuhkan.

Sehingga dikatakan: al-'Aqil  alladzi  yahbisu nafsahu wayarudduha 'an hawaha (orang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul (masuk akal) berarti ma ta'qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati dan kalbumu.

Kedudukan akal dalam khazanah Islam adalah untuk memastikan, mengokohkan dan mengabsahkan suatu keyakinan. Ini tidak berarti bahwa sumber kebenaran wahyu adalah akal, atau akal dapat dijadikan satu- satunya patokan untuk menilai salah atau benarnya wahyu. Sebab sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan manusia, akal tidak dibebani untuk mengenali hal-hal ghaib, atau untuk merumuskan cara berinteraksi dengan Tuhan. Oleh karena itu, akal selalu diikat dengan nilai-nilai wahyu. Maka dalam teologi Islam kedudukan akal dan wahyu haruslah seimbang dan terpadu.

Sumber ilmu berikutnya adalah khabar shadiq (informasi yang benar) dan otoritas. Imam Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, disampaikan dari satu generasi ke generasi lain dan oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mu’jizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali, yakni bisa diterima dan diyakini kebenarannya jika telah diteliti dan dibuktikan terlebih dahulu statusnya.

Informasi mutawatir yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuan, dan orang yang berilmu pada umumnya, dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua, yaitu pesan yang dibawa oleh Nabi dan Rasul, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, sifatnya mutlak. Sehingga tingkat otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Kedua otoritas ini dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transsendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.

Dalam ilmu hadis, khabar mutawatir memiliki sejumlah syarat di antaranya; Pertama, para narasumbernya harus betul-betul mengetahui apa yang mereka katakana, sampaikan atau laporkan. Tidak boleh hanya menduga-duga. Kedua, mereka harus mengetahuinya secara pasti dalam arti pernah melihat, menyaksikan, mengalami atau mendengarnya secara langsung tanpa disertai ilusi, distorsi dan semacamnya.

Dalam ushul fikih, ada beberapa kemungkinan bentuk dalil sebagai sumber ilmu. Pertama, Qath’iut Tsubut Qath’ud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya dan maknanya juga terang tidak ada ruang untuk ijtihad atau mengandung ambiguitas). Semua dalil-dalil tentang perkara Ushul (pokok-pokok agama) adalah dari jenis dalil ini. Kedua, Qath’iut Tsubut Danniyud Dilalah (sumber informasinya jelas terpercaya akan tetapi maknanya masih dzanni, mengandung dugaan dan bisa ditafsirkan lebih dari satu makna). Biasanya terkait dengan perkara furu (cabang-cabang agama).

Khabar ahad sifatnya tidak qath’i. namun bisa di amalkan dan tidak bisa digunakan sebagai dalil akidah. Sebab khabar ahad mengandung dzann (dugaan). Imam Al-Syaukani menerangkan, khabar ahad bisa diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat. Pertama, sumbernya harus orang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama. Kedua, narasumbernya beragama Islam. Orang kafir tidak bisa diterima sumbernya. Ketiga, narasumbernya harus memenuhi ‘adalah’ yaitu memiliki integritas moral. Keempat narasumber diharuskan memiliki kecermatan dan ketelitian (dhabt), tidak sembrono dan asal jadi. Kelima, narasumber harus jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan rujukannya.

*Dosen IAII Dalwa Bangil 





BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama