Hakikat Kemerdekaan

Hakikat Kemerdekaan

Oleh : Muhammad Syafii Kudo


Yudian Wahyudi  berulah lagi, ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu kembali melakukan hal yang memantik amarah umat Islam. Setelah pada (Februari 2020) ia menyebut dalam sebuah wawancara bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, meskipun akhirnya diralat bahwa yang ia maksud adalah pemikiran agama yang sempit akibat kritikan para ormas Islam, kini dia kembali berulah, 18 Paskibraka putri berjilbab yang akan bertugas di IKN harus menanggalkan jilbabnya karena alasan keseragaman meskipun konon tidak ada pemaksaan dari pihak BPIP. 

Sontak kejadian ini menjadi sorotan masyarakat. Ormas Islam mulai dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan MUI dengan keras memprotes aturan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap keyakinan beragama dan menilai aturan tersebut justru tidak sesuai dengan nilai Pancasila itu sendiri. 

Pengurus Pusat (PP) Purna Paskibraka Indonesia (PPI) juga mengecam dugaan larangan penggunaan jilbab tersebut. Dalam pernyataan sikap yang diteken Ketua Umum PPI Gousta Feriza yang dirilis pada Rabu (14/8), mereka menolak tegas dugaan aturan atau tekanan terhadap anggota Paskibraka 2024 berjilbab untuk melepas jilbab mereka. (CNN Indonesia Online, 15/08/24). Untuk diketahui bahwa kini Paskibraka sudah tidak lagi berada di bawah naungan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), tapi menjadi binaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Terlepas dari banyaknya kontroversi yang sudah dilakukan ketua BPIP berotak liberal tersebut, baik saat menjadi ketua BPIP maupun ketika masih menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga ketika melakukan “penertiban” pada mahasiswi yang bercadar, ada satu hal yang menarik perhatian penulis, yaitu mengenai seberapa besarkah kedudukan kegiatan upacara (seremonial) negara dibandingkan dengan kedudukan syariat Allah di mata pembuat kebijakan di negara ini. Bukankah upacara kemerdekaan dan berbagai kegiatan seremonial hanyalah bagian daripada bentuk mensyukuri nikmat kemerdekaan? Lantas bolehkah mensyukuri kemerdekaan ini sembari melakukan kemaksiatan kepada Allah. 

Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada seorang pun muslim  di Indonesia ini yang tidak bersyukur atas kemerdekaan bangsa ini. Bahkan tidak ada yang bisa memungkiri bahwa umat Islam lah penyumbang saham terbesar bagi kemerdekaan negeri ini. 

Namun harus dipahami bahwa umat Islam berjuang memerdekakan negeri ini bukan atas dasar dorongan duniawi semata tetapi lebih kepada bentuk pengamalan jihad fi Sabilillah yang diwajibkan oleh agama. Sebab Indonesia adalah Tanah Air (Wathon) yang mana mencintai dan mempertahankannya adalah sebagian daripada iman, demikian kata para ulama. Terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari  pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad ini berisi kewajiban berjihad untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah yang masih berada di Indonesia. 

Dikutip dari laman resmi NU, berikut isi naskah teks Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang sudah disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan (EYD):

Bismillahirrahmanirrahim

Resolusi

Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang:

a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam

b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari ummat Islam.

Mengingat:

a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.

b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.

c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.

d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangan.

2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Surabaya, 22 Oktober 1945
NAHDLATUL ULAMA

Membaca isi resolusi jihad tersebut kita dapat melihat betapa besar cinta para ulama dan umat Islam negeri ini kepada tanah airnya hingga tidak mengherankan bahwa hampir dimana pun ada perlawanan terhadap kolonial asing pasti umat Islam akan tampil di garda terdepan saat itu. Rekaman pekik takbir fenomenal Bung Tomo pada peristiwa 10 November masih bisa kita dengar sampai saat ini, hikayat perang Sabil rakyat Aceh melawan kafee (kafir) Belanda, perang Jawa (Diponegoro), perang Banjar dan masih banyak lagi yang lainnya adalah bukti kobaran semangat jihad fi sabilillah adalah DNA umat Islam Nusantara. 

Bahkan para pendiri bangsa (Founding Fathers) Republik Indonesia juga mengakui bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah “atas berkat Rahmat Allah dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur” sebelum dilanjutkan dengan kalimat “bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya” di dalam pembukaan UUD tahun 1945. Ini artinya semua pahlawan dan pendiri bangsa ini adalah orang yang berjuang berlandaskan semangat mengamalkan perintah agama Allah. 

Para pemerdeka negeri ini adalah ibarat pembuat wadah yang mana wadah itu mereka bentuk dan ukir dengan air mata, darah dan nyawa demi wasilah kesejahteraan anak cucunya kelak agar bisa hidup lebih nyaman dalam naungan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Seyogyanya bagi generasi penerus yang hanya bertugas mengisi kemerdekaan itu agar mengisinya dengan berbagai nilai kebaikan. 

Kemerdekaan itu ibarat wadah yang awalnya kosong lalu diisi dengan air bersih oleh para pendiri negeri, dan harusnya kini kita isi dengan air yang bersih pula agar volumenya kian bertambah, bukan malah diisi dengan air kotor, air comberan, tumpahan minyak, dibuangi sampah dan berbagai limbah lainnya. Dan ironisnya hal itulah yang kita lakukan saat ini. Kemerdekaan yang susah payah direbut itu kita kotori dengan berbagai karnaval yang tidak jarang dibumbui dengan kegiatan yang melanggar syariat seperti ikhtilat lelaki dan wanita, pawai memakai dandanan bencong-bencongan, ada adegan memanggil arwah agar kesurupan lewat kesenian tertentu, memakai sound horeg yang memekakan telinga dan berpotensi merusak bagian rumah seperti kaca dsj, serta wanita berpakaian seronok yang berjoget erotis di sepanjang jalan selama karnaval. Apakah benar hal seperti ini adalah bentuk mensyukuri kemerdekaan. 

Hal ini juga diperparah dengan kelakuan oknum elit politiknya yang demi menyelenggarakan upacara kemerdekaan RI ke 79 di ibukota baru rela mengeluarkan dana negara sekitar 87 Miliar (liputan6.com, 15/08/24) dimana di saat yang sama beberapa warga di sekitar IKN yang masuk dalam Aset Dalam Pengendalian (ADP) IKN belum menerima ganti pembebasan lahan (koran tempo online, 16/08/24). Dan di saat yang sama rakyat Indonesia masih kembang kempis dalam menyambung nafas kehidupan sehari-harinya. Inilah ironi masyarakat kita hari ini yang belum bisa menerapkan rasa syukur dengan semestinya. Mensyukuri kemerdekaan masih diterapkan sebatas Artificial alias sebatas permukaan (kulit) belaka belum menyentuh nilai esensinya yang menyatakan bahwa syukur menurut Imam al-Syiblī sebagaimana dikutip oleh Nawawi al-Bantani dalam Qāmi’ al-Thughyān  adalah melihat kepada Sang Pemberi Nikmat, bukan kepada nikmat itu sendiri (al-syukr ru`yat al-Mun’im lā ru`yat al-ni`mah). Ketika kita mendapat nikmat, kalimat thayyibah yang kita ucapkan adalah hamdalah, al-ḥamd lillāh Rabb al-‘Ālamīn, artinya “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” Bukan al-ḥamd li hādzihi al-ni’mah (pujian atas nikmat ini). Dari ucapan hamdalah ini, tentu yang kita puji adalah Allah Swt. sebagai Sang Pemberi Nikmat, bukan nikmat itu sendiri. 

Artinya dalam mensyukuri kemerdekaan ini kita harus lebih melihat kepada Allah sang pemberi nikmat kemerdekaan bukan melulu kepada nikmat kemerdekaan an sich agar kita paham hakikat kemerdekaan bangsa ini. Dan jika hakikat mensyukuri kemerdekaan ini benar dilaksanakan maka tidak akan ada karnaval perayaan kemerdekaan yang (meskipun) hukumnya mubah itu  sembari melanggar syariat Allah. Agar cita-cita menjadi negara Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur bisa tercapai. Bukan malah menjadi 'Negara Karnaval Rasa Islamphobia' (NKRI) yang hanya berkutat pada berbagai kegiatan karnaval seremonial namun nihil makna dan ironisnya malah phobia kepada simbol-simbol dan ajaran Islam. Semoga bisa menjadi perenungan kita bersama. Wallahu A’lam Bis Showab 






BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama