Krisis Akhlak dan Anomali Negara Bertuhan

 Krisis Akhlak dan Anomali Negara Bertuhan

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Seorang kawan menuliskan sebuah ‘story’ menarik mengenai keadaan Indonesia hari ini di salah satu akun media sosialnya yang berbunyi, “Orang tuanya dirusak dengan Pinjaman Online; pemudanya dirusak dengan Judi Online; dan anak-anaknya dirusak dengan Game Online, inilah gambaran negeri kita hari ini”. 

Penulis awalnya sedikit tersentak dengan pernyataan itu, namun jika dipikir lebih dalam, tidak salah juga satire tersebut. Karena diakui atau tidak, negeri ini memang sedang mengalami degradasi akhlak yang akut dari segala lini, baik dari kalangan masyarakat umumnya maupun penegak hukumnya. Hampir setiap hari kita dengar dan baca di berbagai media daring maupun cetak bagaimana kian merajalelanya kasus-kasus kriminal di era Android ini. Tiada terhitung berita kejahatan yang terjadi setidaknya dalam kurun waktu sebulan ini. 

Seperti diwartakan di Mojokerto ada seorang Polwan yang membakar suaminya yang juga sesama anggota Polisi karena si suami memakai gaji ketiga-belasnya untuk judi online. Ada pula oknum TNI yang memakai uang kesatuan dimana dia bertugas, juga untuk judi online. Selanjutnya ada oknum PNS di Mojokerto yang digerebek oleh suaminya di sebuah rumah kosong ketika habis melakukan perzinahan bersama pasangan selingkuhnya. Lalu yang terbaru adalah kasus asusila yang kesekian kali dilakukan oleh mantan ketua KPU Pusat yang kian mencoreng nama Institusi penyelenggara Pemilu itu. Dan jangan lupa bahwa sorotan masyarakat kepada aparat Kepolisian juga belum selesai. Pasca kasus Sambo, kini mata masyarakat semakin tajam menguliti kinerja korps Bhayangkara itu pada kasus Vina Cirebon dan Muhammad Afif si bocah Padang yang keduanya merupakan kasus nasional yang menyeret anggota Kepolisian terlibat langsung di dalamnya. Belum lagi kasus mega korupsi para elite negeri yang masih berjalan, tawuran antar remaja, pemerkosaan,  pembunuhan, prostitusi online dan lain sebagainya yang kian marak.

Melihat banyaknya kasus kejahatan yang terjadi di negeri yang bangga menyandang predikat sebagai negara Ketuhanan Yang Maha Esa ini, tentu ada tanya besar di benak kita semua, apakah Tuhan di Republik ini telah mati atau masih hidup namun dikarantina di suatu tempat khusus dan tidak boleh terlibat dalam kehidupan masyarakat seperti jargon yang tertera dalam Revolusi Prancis yang berbunyi, "Tuhan tidak boleh ikut campur urusan manusia.” Entahlah. Yang jelas inilah paradoks besar yang ada di Indonesia saat ini. Punya Tuhan tapi tidak takut kepada Nya.

Ada satu kisah yang pernah dituliskan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam pendahuluan bukunya  yang berjudul Minhaj.  Dikisahkan pada tahun  2012 saat berkunjung ke Melbourne Australia untuk mengisi pengajian di Masjid Clayton, beliau berjumpa dengan Nuim Khayyat sang penyiar Radio Australia yang terkenal di era 1980-an. Dalam pertemuan itu Nuim Khayyat menceritakan kisahnya saat mudik ke Indonesia di bulan Ramadhan dimana saat itu dia menyaksikan gempita Muslim Indonesia dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan yang sangat luar biasa. Mulai dari tarawih, ceramah, peringatan Nuzulul Qur’an dan lainnya begitu gegap-gempita baik di Masjid, di Mushola, di media maupun di jalan-jalan. Jumlah jamaah umrah juga kian bertambah setiap waktunya. Tapi, mengapa korupsi dan tindak kriminal juga masih terus terjadi di kalangan umat Islam? Demikian tanya Nuim Khayyat kepada putra salah satu pendiri Ponpes Gontor itu. 

Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, jika semua kesan ‘jelek’ tersebut difahami dari perspektif worldview Islam, akan ditemui bahwa dalam diri umat Islam masih terjadi kesenjangan antara pikiran, kepercayaan dan perilaku. Dengan kata lain ilmu dan keyakinan umat Islam tidak menjelma menjadi amal-amal Islami. Jika teori worldview ini dikaitkan dengan Islam sebagai agama dan peradaban, maka bisa disimpulkan bahwa umat Islam masih belum beranjak dari pengamalan ritual syariah menjadi keyakinan (akidah) yang dipraktekkan dalam bentuk kerja-kerja sosial, pendidikan, penelitian, kesehatan, pertanian dan lain-lain yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.

Jumlah umat Islam memang banyak, tapi mayoritas itu masih dalam kualitas yang rendah, baru setingkat menjalankan syariat. Itupun mungkin tidak semuanya, hanya salat saja, atau zakat saja, atau puasa saja. Kesan yang muncul di tengah masyarakat adalah Islam sebagai identitas yang bersimbol ritual. Maka tidak heran jika amal-amal umat Islam tidak mencerminkan keimanan seperti yang disaksikan Syekh Muhammad Abduh, yaitu Islam minus perilaku sosial. (Hamid Fahmy Zarkasy, Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual, INSISTS Jakarta, 2020, Hal. XIX-XXII)

Mengenai kesenjangan antara pikiran, kepercayaan dan perilaku ini, sebenarnya dilandaskan pada ayat Al Qur’an yang berbunyi,

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk, ' karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hujurat: 14)

Di dalam tafsir Ibnu Katsir (mengenai Surah Al Hujurat ayat 14) dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman Nya mengingkari orang-orang Arab Badui yang baru saja masuk Islam, lalu mereka mengikrarkan dirinya beriman, padahal iman masih belum meresap ke dalam hati mereka. Dari makna ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa iman itu pengertiannya lebih khusus daripada Islam, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Pengertian ini diperkuat dengan adanya hadis Jibril 'alaihissalam ketika dia bertanya (kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam) tentang Islam, kemudian Iman, dan terakhir tentang Ihsan. Dalam pertanyaannya itu ia memulai dari yang umum, kemudian kepada yang khusus, lalu kepada yang lebih khusus lagi. Yakni dimulai dari penjelasan makna Islam, lalu Iman dan kemudian Ihsan. 

Artinya dalam trilogi agama berdasarkan Hadis Jibril tersebut, Islam adalah tingkatan paling dasar. Dan di level inilah mayoritas masyarakat Indonesia saat ini berada. 

Dr. Hamid Fahmy Zarkasy di dalam bukunya, Minhaj, juga menuliskan kisah Syekh Mutawalli As Sya’rowi ketika berkunjung ke San Fransisco, Amerika, dimana saat itu beliau pernah ditanya oleh seorang Orientalis, “Apakah ayat-ayat Alquran kalian seluruhnya benar?” Sang Syekh menjawab tegas, “Iya saya yakin benar.”

Orientalis tersebut bertanya lagi, “Lalu mengapa Allah jadikan orang-orang Kafir berkuasa atas kalian padahal dalam Alquran disebutkan bahwa, “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS.  An-Nisa (4) : 141). Sang Syekh menjawab, “Karena kami masih Muslimin belum Mukminin.”

Penasaran dengan jawaban sang Syekh, Orientalis itu bertanya lagi, “Lalu apa bedanya Mukminin dan Muslimin?” Syekh Mutawalli menjawab, “Kaum Muslimin hari ini menunaikan seluruh Syariat Islam dari shalat, zakat, haji, puasa Ramadhan serta ibadah lainnya, namun mereka sangat gersang. Mereka gersang ilmu ekonomi, sosial militer dan lainnya.”

“Mengapa kegersangan ini terjadi?” tanya Orientalis itu lagi. Syekh lalu menjawab seraya menyetir ayat Alquran, “Orang-orang Arab Badui itu berkata : Kami telah beriman. Katakanlah, ‘kamu belum beriman, tapi katakanlah kami telah berislam, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (QS. Al Hujurat (49) : 14).

Tidak memahami sepenuhnya ayat yang dibaca, Orientalis itu bertanya lagi, “Lantas apa yang membuat mereka dalam kegersangan semacam ini?” Sang Syekh dengan sabar menjawab, “Karena seperti yang diterangkan Alquran juga, kaum Muslimin belum meningkat hingga benar-benar ke tingkat Mukminin. Jika mereka benar-benar beriman sudah tentu Allah akan memenangkan mereka. Ini disebutkan dalam Alquran, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (Mukminin).” (QS. Ar Rum (30) : 47). Jika mereka beriman tentu mereka yang akan berkedudukan lebih tinggi di antara umat dan bangsa lain. Tentang ini Alquran mengingatkan, “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imron (3) : 139).

Syekh As Sya’rowi lalu menyimpulkan bahwa Muslim yang berkualitas Mukmin itulah yang tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir. Terkait hal ini, cermatilah lagi firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 14 di atas. Hal ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah Ali Imron (3) ayat 179, “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).” Kemudian ditegaskan lagi dalam surah Al Anfal (8) ayat 19, “Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang beriman.” Tapi yang menjadi masalah, “…Kebanyakan mereka tidak beriman.” (QS. Asyura (26) : 8)

Melihat fenomena degradasi akhlak yang kian akut di negeri berketuhanan yang maha esa dan mayoritas Muslim ini tentu adalah sesuatu yang anomali. Mengapa bisa di sebuah negara dimana di situ Tuhan dielu-elukan namun di sana juga Dia diacuhkan. Inilah pekerjaan rumah besar bangsa ini. Pendalaman dan pengamalan akhlak Islami agar bisa menapak ke tingkat Iman dan Ihsan adalah tindakan urgen yang harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari tingkat keluarga hingga pemerintah. Agar tidak ada lagi satire yang berbunyi Negara bertuhan yang masyarakatnya tidak takut pada Tuhan. Wallahu A’lam Bis Showab. 

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan 

Dimuat Di:

https://hidayatullah.com/artikel/2024/08/01/276850/krisis-akhlak-dan-anomali-negara-bertuhan.html


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama