Wajah Ramadhan Kita ; Sebuah Refleksi
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Ramadhan 1445 Hijriah telah datang. Tidak ada kalimat yang lebih patut diucapkan melainkan ucapan syukur kepada Allah sebab tidak semua orang ditakdirkan mendapati bulan mulia ini. Kita lihat banyak saudara, kawan, tetangga, dan kenalan kita yang mungkin tahun lalu masih bersama-sama dengan kita melaksanakan tarawih, buka bersama dan anjangsana silaturahim saat lebaran, kini telah berpulang ke hadirat Ilahi. Oleh sebab itu sekali lagi agar kiranya nikmat Ramadhan tahun ini harus lebih disyukuri.
Kemudian terlepas daripada itu semua, Ramadhan tahun ini juga terlihat berbeda dengan beberapa Ramadhan sebelumnya. Bulan mulia ini datang saat negara ini masih “panas” dengan berbagai intrik politik nasional pasca pemilu yang masih belum selesai hingga kini. Dan ada lagi yang membedakan Ramadhan tahun ini yakni banyaknya bencana yang melanda berbagai daerah di tanah air. Mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan beberapa bencana ekologis lainnya. Juga pada tahun ini bisa dikatakan pula sebagai Ramadhan terberat yang harus dialami oleh saudara kita di Palestina yang masih dijajah dan dibunuhi oleh kaum Zionis dengan jumlah korban nyawa dan kerugian yang bisa dikatakan terbesar dalam sejarah perlawanan Bangsa Palestina menghadapi penjajah Zionis tersebut.
Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan penuh keprihatinan bagi para orang beriman, meskipun di saat yang sama bisa jadi hanyalah Ramadhan yang sama saja bagi para penikmat festival Ramadhan. Siapa mereka? Yakni kalangan yang memandang bulan Ramadhan bukan sebagai bulan suci untuk beribadah an sich tapi lebih sekedar sebagai bulan dimana festival jajanan, diskonan belanja dan hiburan khas Ramadhan bisa dirasakan. Bulan Ramadhan yang penuh obral pahala mereka rubah sebagai momentum bulan belanja semata.
Kini esensi Ramadhan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk mendidik nafsu harus diakui mulai terkikis atau bahkan menghilang. Hal ini jauh-jauh hari sudah diwanti-wanti oleh Hujjatul Islam Imam Al Ghazali di dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin. Beliau dengan keras menyindir mereka yang memperbanyak makanan (meskipun halal) pada waktu berbuka puasa untuk memenuhi perut mereka. Padahal tidak ada wadah yang lebih dibenci oleh Allah daripada perut yang penuh diisi dengan makanan yang (meskipun) halal, hal ini seperti yang tertera dalam Hadis Riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Menurut Imam Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin bab Asrorus Shoum (Rahasia-rahasia dalam Ibadah Puasa), bagaimana bisa diperoleh manfaat (faedah) daripada ibadah puasa yaitu untuk mengalahkan musuh Allah (Setan) dan menundukkan syahwat jika pelaku puasa ‘melakukan pembalasan’ di waktu berbuka puasa mereka dengan memakan segala apa yang mereka tahan untuk tidak mengonsumsinya di siang hari saat bulan Ramadhan. Bahkan terkadang mereka juga menambahkan menu makanan dan minuman yang bervariasi di waktu berbuka puasa sehingga terus berlaku kebiasaan untuk menyimpan banyak makanan di bulan Ramadhan. Padahal tujuan utama daripada berpuasa adalah pengosongan dan mengalahkan nafsu.
Menurut Imam Ghazali, ruh dan rahasia (sirr) dari ibadah puasa adalah melemahkan kekuatan (nafsu) lewat ‘laku berlapar diri’ yang mana kekuatan nafsu itu adalah wasilah daripada setan untuk menjerumuskan kepada keburukan-keburukan. Dan tidak akan tercapai pelemahan kepada wasilah-wasilah setan itu kecuali dengan mempersedikit atau melakukan pengurangan terhadap kegiatan makan (yakni dengan berpuasa). Karena melalui wasilah makanan inilah setan mengalir di dalam diri setiap anak Adam.
Disebutkan di dalam hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya setan itu berjalan pada manusia pada tempat jalannya darah. Maka sempitkanlah tempat jalannya itu dengan lapar.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Di dalam khazanah sastra Nusantara, ada sebuah Gurindam masyhur yang disebut dengan Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang mana disebutkan di dalam Gurindam ketiga pada baris (pasal) kelima, “Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi’il yang tiada senonoh." Yang maknanya kurang lebih adalah jika perut diisi penuh dengan makanan maka akan berpotensi membuat orang yang bersangkutan berbuat hal-hal yang tidak patut (buruk). Senada dengan hal ini, Sahabat Sahl Radiyallahu Anhu mengatakan,
من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى
“Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka akan bermaksiat anggota tubuhnya, mau ataupun tidak mau.” (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hal. 9)
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda, “Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dari penjabaran beberapa dalil di atas, penulis berasumsi bahwa berbagai kelakuan kelewat batas orang-orang saat ini baik di tengah masyarakat seperti tawuran antar remaja yang belakangan terjadi di beberapa kota di Indonesia, maupun di dunia maya (media sosial) semisal dengan menyerang Privasi orang, ghibah lewat komentar, Tajassus dengan cara Stalking dsj, salah satu faktornya adalah ihwal berlebihan dalam perkara makanan. Penulis meyakininya berdasarkan beberapa dalil yang disebutkan di atas. Sebab perut yang dibiarkan terlalu kenyang justru akan menumpulkan akal sehat sehingga kelakuan serampangan tanpa pertimbangan akal sehat mudah dilakukan.
Menjadi catatan juga dalam Ramadhan kali ini adalah kian banyaknya terjadi aksi tawuran remaja baik antar Geng motor, kumpulan pemuda tidak jelas, antar oknum perguruan bela diri dll. Ironis, para pemuda yang merupakan tulang punggung bangsa kini malah menjadi biang kerok keonaran di tengah masyarakat yang jika tidak ditindaklanjuti akan berpotensi menjadi sampah masyarakat di kemudian hari. Miris, kala terdengar di negeri Muslim terbesar dunia para pemudanya saling bantai antar sesamanya dimana di saat yang sama para pemuda di negeri Muslim yang lain melakukan jihad fi Sabilillah membela agama dan negeri mereka dari para musuh Allah seperti yang terjadi di Palestina. Dan yang lebih miris lagi adalah bahkan tawuran itu juga dilakukan di bulan Ramadhan dengan berbagai kamuflase seperti tarung sarung maupun sahur on the road yang ujung-ujungnya juga ke arah tawuran antar pemuda.
Padahal Allah memuji setinggi langit kepada para pemuda yang beriman dan beramal Soleh di dalam Al Qur’an dan Hadis. Di dalam tafsir Ibnu Katsir saat menjelaskan mengenai surah Al Kahfi ayat 13-16 disebutkan bahwa Allah mengisahkan para Ashabul Kahfi yang melarikan diri dari kaumnya demi menjaga Tauhid adalah sekumpulan para pemuda. Dimana para pemuda itu lebih bisa menerima kebenaran dan lebih mendapatkan petunjuk daripada para generasi tua yang lebih getol dalam mempertahankan kepercayaan lama nenek moyang mereka. Dan kisah Ashabul Kahfi ini adalah penguat bagi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bahwa mayoritas yang akan lebih menerima seruan dakwah dan menjadi penyokong dakwah beliau adalah para pemuda. (Lihat Tafsir Al Qur’anil Adzim Ibnu Katsir, Juz 5 Surah Al Kahfi ayat 13-16).
Imam Ghazali menyebutkan di dalam Asrorus Shoum min kitabil Ihya’ Ulumuddin bahwa sungguh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam telah memadukan kedudukan kebanggaan antara laku Zuhud di dunia dan puasa dengan sabda beliau,
إن الله تعالى يباهي ملائكته بالشاب العابد فيقول : أيها الشاب التارك الشهوته لأجلي ، المبذل شبابه لي ، أنت عندي كبعض ملائكتي
“Sesungguhnya Allah SWT menyombongkan diri (membanggakan) kepada para malaikat-Nya tentang pemuda yang taat beribadah, dengan berfirman: Wahai pemuda yang meninggalkan syahwatnya demi Aku, yang menyerahkan masa mudanya demi Aku, kamu di sisi Ku seperti sebagian malaikatku.” (Riwayat Ibnu Ady di dalam Al Kamil (3/347) dan Abu Naim di Al Hilyah (4/139))
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda,
وقال صلى الله عليه وسلم في الصائم : يقول الله تعلى : يا ملائكتي ؛ انظروا إلى عبدي ! ترك شهوته ولذته وطعامه وشرابه من أجلي
“Berkata Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam mengenai orang yang berpuasa, bahwa Berkata Allah SWT; “Wahai para malaikat Ku, lihatlah oleh kalian kepada hamba Ku! Mereka meninggalkan kesenangannya, keinginannya, makanannya, dan minumannya karena Aku.” (Lihat Qutul Qulub (1/73) riwayat Ibnu Abi Dunya dalam Al Juu’ (39))
Walhasil inilah wajah Ramadhan kita hari ini, selain masih didominasi oleh gambaran aktivitas para Sho’imin level awam dalam trilogi klasifikasi puasa ala Al Ghazali yang berciri khas berpuasa hanya berkutat pada seputar perut dan kelamin, juga masih jauh dari tujuan hakiki daripada dilakukannya ibadah itu sendiri yaitu untuk mengalahkan setan dan mendidik nafsu.
Ramadhan adalah barometer tahunan, momen dimana kita dapat mengukur diri nanti selepas dari Ramadhan apakah kita lebih dominan menjadi hamba Allah ataukah hamba syahwat. Lebih patuh syariat ataukah pada ajakan setan si laknat. Dan apakah lebih berakhlak Karimah baik kepada Allah dan hamba Nya ataukah masih apatis kepada sesama terlebih kepada pencipta Nya. Semoga kita selamat mengarungi bulan mulia ini dengan berbagai ibadah dan layak lulus menjadi hamba-hamba yang bertakwa selepas Ramadhan nanti seperti pesan Tuhan dalam Al Baqarah ayat 183 tersebut. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di:
https://hidayatullah.com/artikel/2024/03/19/270033/wajah-ramadhan-kita-sebuah-refleksi.html