Memahami Siklus Munculnya Para Pemimpin Palsu

Memahami Siklus Munculnya Para Pemimpin Palsu

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*


Sebelum membahas tema pemimpin palsu, penulis ingin menyertakan dua kasus besar yang nantinya ada keterkaitan dengan apa yang hendak penulis bahas, yakni kasus dokter gadungan. Kasus pertama adalah kasus dokter abal-abal bernama Susanto (48) yang divonis tiga tahun enam bulan atau 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus penipuan di PT Pelindo Husada Citra (PHC). Hakim menyatakan bahwa Susanto terbukti bersalah karena telah berpura-pura menjadi tenaga medis atau dokter di klinik milik PT PHC selama dua tahun lebih. Hal itu membuat perusahaan rugi Rp260 juta. Ia juga terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan sesuai Pasal 378 (KUHP). Sejumlah hal yang memberatkan vonis Susanto adalah karena perbuatannya sudah meresahkan masyarakat, mencemarkan profesi dokter karena menimbulkan ketidakpercayaan di mata masyarakat, serta pernah dihukum dalam perkara kasus yang sama.(CNN Indonesia Online, Rabu, 04 Okt 2023)

Kasus dokter gadungan berikutnya adalah yang menimpa induk Sepak Bola Indonesia yakni PSSI. Dokter abal-abal itu bernama Elwizan Aminudin yang ditangkap di rumahnya di Cibodas, Bogor, Jawa Barat, pada 24 Januari yang lalu. Diberitakan bahwa ia menjadi dokter selama 8 tahun sejak 2013-2021 dengan modus memalsukan ijazah kedokteran dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, PSSI dan juga sejumlah klub pernah dikelabui dokter gadungan tersebut. Pihak-pihak yang terkena korban di antaranya adalah Persita Tangerang, Barito Putra, timnas U-19, Bali United, Madura United, Sriwijaya FC, kembali ke timnas U-19, Kalteng Putra, dan terakhir PSS Sleman. (Antara News, 02 Februari 2024)

Setidaknya dua kasus itu sangat merugikan para korban baik secara materi dan yang lainnya. Dokter yang merupakan profesi keilmuan terhormat adalah rujukan utama bagi manusia yang mencari wasilah untuk mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit. Jadi tidak ada toleransi dari masyarakat bagi siapapun yang mencoba menyaru menjadi profesi “Wakil Tuhan” di muka bumi tersebut mengingat sangat vitalnya peran mereka di dalam kehidupan manusia. Karena dokter palsu bisa membawa kepada kematian sebab dia yang tidak berilmu dan tidak paham resep alih-alih menyembuhkan malah akan membunuh pasien.

Dari pembahasan dokter abal-abal itulah penulis ingin menarik sebuah keterkaitan dengan tema yang hendak dibahas yaitu pemimpin palsu. Apa keterkaitan yang dimaksud? Yaitu kesamaan dalam hal kebahayaan bagi masyarakat. Jika dokter adalah rujukan utama manusia untuk mencari wasilah kesembuhan dari Tuhan, maka para pemimpin adalah rujukan utama yang diberikan amanah kepercayaan dari masyarakat untuk melayani segala hajat hidup mereka di dunia ini. Jadi jika kebahayaan dokter abal-abal bisa berakibat kepada kematian fisik manusia belaka, maka efek dari kemudharatan para pemimpin palsu adalah sebuah bencana maha dahsyat yang lebih besar sebab kebahayaan mereka bisa menyapu segala lini kehidupan masyarakat. Bahkan kerugian masyarakat itu bisa berlanjut pula pada kehidupan akhirat mereka kelak. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Al Qur’an,

إِذۡ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُواْ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ ٱلۡعَذَابَ وَتَقَطَّعَتۡ بِهِمُ ٱلۡأَسۡبَابُ ١٦٦ وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ لَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةٗ فَنَتَبَرَّأَ مِنۡهُمۡ كَمَا تَبَرَّءُواْ مِنَّاۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡ حَسَرَٰتٍ عَلَيۡهِمۡۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ ١٦٧

”(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. al Baqarah : 166 – 167)

Setelah mafhum bahwa kebahayaan para pemimpin palsu sedemikian besarnya lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mereka bisa muncul dan bagaimana cara menanggulanginya. Jika pertanyaan ini diajukan kepada Syed Muhammad Naquib Al Attas maka jawabannya adalah karena dua perkara, yakni sebab luaran (eksternal) dan sebab dalaman (internal). Di dalam bukunya, Islam dan Sekularisme, dijelaskan bahwa kedua faktor itu memiliki dampak kerusakan yang sama-sama besar bagi masyarakat dan umat.

Menurut Al Attas, penyebab kerusakan terbesar yang berasal dari internal umat Islam hari ini yang paling mencolok adalah keruntuhan adab (loss Of Adab). Di dalam Magnum Opusnya, Islam dan Sekularisme, beliau menyatakan,

“Mengenai sebab dalaman permasalahan yang kita hadapi sekarang menurut saya, masalah asasi dapat disimpulkan pada suatu krisis yang nyata yang saya sebut sebagai keruntuhan adab (the loss of adab). Di sini saya merujuk kepada hilangnya disiplin, disiplin raga, disiplin fikiran dan disiplin jiwa – disiplin yang menuntut pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi seseorang dalam hubungannya dengan diri, masyarakat dan umatnya: pengenalan dan pengakuan atas tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan kekuatan jasmani, intelektual dan ruhaniah seseorang itu; pengenalan dan pengakuan atas hakikat bahawa ilmu dan wujud itu tersusun secara hierarki. Oleh kerana adab merujuk kepada pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan kepada disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranannya sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan mencerminkan keadaan keadilan. Keruntuhan adab mengisyaratkan hilangnya keadilan, dan seterusnya menzahirkan kekeliruan dalam ilmu. Dalam hubungannya dengan masyarakat dan umat, kekeliruan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islám menciptakan suatu keadaan yang memungkinkan pemimpin-pemimpin palsu muncul dan berkembang serta menimbulkan ketidakadilan. Mereka melestarikan keadaan ini kerana hal itu menjamin keberlanjutan munculnya pemimpin seperti mereka untuk menggantikan mereka setelah mereka pergi, dan mengekalkan pengaruh mereka ke atas urusan umat. Kerana itu, untuk merumuskan dengan urutan yang tepat permasalahan umum kita sekarang ini disebabkan oleh :

1. Kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu yang menyebabkan keadaan:

2. Keruntuhan adab di kalangan Umat. Keadaan yang muncul daripada (1) dan (2) adalah:

3. Kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak layak untuk kepemimpinan yang sah bagi umat Islam, yang tidak memiliki taraf moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang disyaratkan untuk kepemimpinan Islam, yang melestarikan keadaan pada (1) di atas dan menjamin penguasaan urusan umat yang berkelanjutan oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai semua bidang. Semua akar permasalahan umum kita di atas adalah saling bergantung dan merupakan suatu lingkaran yang ganas. Tetapi sebab utama adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu, dan bagi mematahkan lingkaran ganas tersebut dan menyelesaikan masalah ini, pertama-tama kita mesti menangani masalah hilangnya adab, kerana tidak ada ilmu yang benar dapat diperolehi tanpa pra-syarat adab pada diri penuntutnya dan kepada siapa ilmu itu diberikan. Sebagai suatu contoh terbaik, Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri memerintahkan bahawa kitab suci Al Qur’an, sumber semua ilmu yang benar, bahkan tidak dapat disentuh oleh manusia kecuali melalui adab penyucian diri yang diperintahkan. Sesungguhnya ibadah dalam keseluruhannya adalah tidak lain suatu bentuk lain daripada adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Syed Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, hal 134-135).

Pendapat Al Attas tersebut menarik manakala menyebutkan keterkaitan antara keruntuhan adab di tengah masyarakat dengan munculnya para ‘pemimpin palsu’ yang sampai hari ini menjadi sebuah lingkaran setan yang ganas yang belum bisa diputus. Di Indonesia sendiri kini banyak bermunculan para ‘pemimpin palsu' yang dipilih masyarakat untuk mengurusi hajat hidup mereka. Dan seperti yang sudah diduga,  para pemimpin palsu yang tidak punya kapabilitas itu memimpin secara dzalim lewat kebijakan mereka yang banyak merugikan kehidupan masyarakat.

Di dalam Al Qur’an dijelaskan,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (Qs. Al An’am: 129).

Imam Ar Razi mengatakan, “Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan jika rakyat suatu negara itu zalim  (gemar maksiat, korupsi, mau menerima money politics dll) maka Allah akan mengangkat untuk mereka penguasa yang zalim semisal mereka. Jika mereka ingin terbebas dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka juga meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga berkata,

“Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka.”

Penjelasan di atas menggambarkan secara sederhana bahwa ketika umat di suatu negeri melakukan kemaksiatan kepada Allah maka Allah akan kirimkan kepada mereka para pemimpin yang dzalim sebagai balasan di dunia. Dan harap diingat bahwa kemaksiatan yang bisa mengundang bala’ dari Allah bukan hanya berkisar pada masalah korupsi, pergaulan bebas, pelanggaran konstitusi negara dan sejenisnya belaka, sebab ada kemaksiatan yang lebih besar daripada itu yang sering luput dari radar kewaspadaan kita hari ini yakni perbuatan tidak beradab kepada Allah. Dan ciri utama gejala hilangnya adab dalam kehidupan umat -menurut Al Attas- adalah proses penyamarataan yang ditanamkan dari waktu ke waktu dalam fikiran orang Islam dan diamalkan dalam masyarakat.

Al Attas menyatakan, “Penyamarataan yang saya maksudkan adalah penyamarataan setiap orang, dalam fikiran dan sikap, pada tingkat yang sama dengan tingkat orang yang menyamaratakan. Proses mental dan pengambilan sikap ini yang berpengaruh pada tindakan, dilakukan melalui dorongan pemimpin palsu yang ingin menghancurkan autoriti yang sah dan hierarki yang benar sehingga mereka dan orang yang sama dengan mereka dapat kekal, dan orang yang memberikan tauladan menurunkan orang yang besar ke tingkat yang lebih rendah, dan kemudian ke tingkat yang lebih rendah lagi. Tanda jahiliyah ini dalam bentuk individualisme, kesombongan batin dan keras kepala serta kecenderungan untuk menentang dan meremehkan autoriti yang sah, nampaknya telah berlaku dalam setiap zaman sejarah Islam, meskipun hanya di kalangan ekstrimis dalam berbagai ragam. Apabila Umat Islam menjadi keliru dalam ilmu tentang pandangan alam (worldview) Islam, golongan ekstrimis ini cenderung untuk menyebar di kalangan mereka dan mempengaruhi pemikiran mereka dan menyusup ke dalam kedudukan kepemimpinan agama, kemudian kepemimpinan mereka dalam segala bidang kehidupan cenderung memperlihatkan tanda yang berbahaya ini dan mendorong amalan tersebut di kalangan orang Islam seakan akan ia sesuai dengan ajaran Islam. Mereka yang mendorong sikap ini, berpura-pura bahawa apa yang didorong tidak lain daripada prinsip persamaan Islam, padahal sebenarnya jauh daripada itu dan apa yang disebarkan malah membawa ke arah kehancuran,  atau setidaknya merendahkan autoriti yang sah dan hierarki dalam susunan manusia – ia adalah penyamarataan semua orang pada tingkat mereka, dan ia adalah ketidakadilan. (Islam dan Sekularisme, hal 140-141)

Penyamarataan pada setiap orang kini mulai menjadi gejala global yang kian ganas menjangkit tidak terkecuali pada umat Islam di berbagai negeri yang hari ini mayoritas menganut sistem Demokrasi. Bahkan disadari atau tidak bahwa rakyat Indonesia yang memiliki dasar negara berupa Pancasila pun ironisnya mulai dijauhkan dari nilai luhur Pancasila itu sendiri. Pancasila yang berketuhanan yang maha esa (Tauhid) memiliki nilai luhur berupa sistem musyawarah mufakat. Di dalam sila keempat disebutkan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan”.

Pernyataan tersebut mirip dengan pepatah Arab yang berbunyi رأس الحكمة المشورة  yang bermakna kurang lebih ‘pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah’. Pepatah Arab inilah yang konon digunakan oleh Haji Agus Salim untuk mengusulkan kosakata hikmah (kebijaksanaan) dan musyawarah dalam sila keempat Pancasila itu. Namun ironisnya kini sistem musyawarah yang dipimpin oleh hikmah mulai ditinggalkan. Sebab mayoritas negeri-negeri Islam termasuk Indonesia kini menganut demokrasi Liberal yang kebablasan.

Jargon dalam sistem demokrasi yang berbunyi, Vox Populi Vox Dei alias suara rakyat adalah suara Tuhan kini lebih sering digunakan daripada sistem Musyawarah Mufakat yang dipimpin oleh para ahli hikmah. Dan cara termudah untuk meraih jumlah suara rakyat terbanyak agar bisa dianggap sebagai representasi suara Tuhan adalah dengan sistem coblosan One Man One Vote yaitu satu orang satu suara. Sistem inilah yang menyamaratakan semua suara dari berbagai strata sosial.

Sistem One Man One Vote ini jugalah  yang merupakan lahan basah untuk ajang jual beli suara. Para pemimpin yang terpilih akhirnya adalah hasil politik transaksional. Transaksional dengan partai pengusung, transaksional dengan para cukong dan para sponsor yang memiliki tujuan politis lainnya. Dan lingkaran setan yang dipelihara ini akhirnya terus memproduksi para ‘pemimpin palsu' yang mengurusi hajat rakyat. Maka jelas sekali bahwa sistem demokrasi transaksional itu sangat bertentangan dengan Pancasila terutama sila ke empat. Di dalam sistem One Man One Vote jelas ada pelanggaran terhadap adab karena di situ ada tindakan penyamarataan kepada semua manusia. Ada Hirarki Otoritas yang diterabas secara serampangan.

Di dalam Islam ada dikenal sebuah istilah المَرتَبَة (urutan/hirarki) yang selalu dijaga keberadaannya. Bahkan Allah sendiri yang mengajarkan pentingnya hirarki otoritas seperti dijelaskan di dalam Al Qur’an,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Ali Imron : 18).

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasanya yang pertama menyatakan bahwa itu Maha Esa adalah Allah sendiri kemudian para Malaikat dan selanjutnya para Ulama (Ahli Ilmu). Ini adalah sebuah pelajaran yang dicontohkan oleh Allah bahwa di dalam kehidupan ini terutama dalam tatanan kehidupan harus ada sebuah Hirarki Otoritas. Sebab diantara satu orang dengan orang lain ada pembeda yang memisahkan derajat mereka dalam pandangan agama seperti dari sisi keilmuan dan ketakwaan dan keilmuan.

Di dalam kehidupan duniawi, lumrahnya manusia tidak berkenan disamaratakan dan kehidupan memang membutuhkan hirarki semacam itu untuk tetap melanjutkan siklus keberlangsungannya. Contohnya orang cerdas harus menjadi pemimpin di atas orang bodoh, sopir harus menjadi tukang kemudi bagi penumpang, Ulama harus menjadi pemimpin umatnya dan lain sebagainya. Hirarki semacam itu secara alamiah dibutuhkan dalam kehidupan dunia agar kehidupan manusia tetap terselenggara dan hajat mereka terlaksana.

Jika di dalam kehidupan duniawi saja manusia enggan disamaratakan lalu bagaimana pula penyamarataan itu hendak dipaksakan dalam urusan ubudiah dan kenegaraan. Ibarat batu safir dengan batu kali, memang benar sama-sama batu namun ada nilai jual yang sangat jauh diantara keduanya sebab ada nilai atau sifat yang berbeda yang menempel pada keduanya. Demikian pula ulama dengan orang awam, atau profesor (Guru Besar) ahli hukum dengan tukang kicau bayaran, tentu tidak bisa disamaratakan kedudukannya karena adanya derajat keilmuan yang berbeda jauh diantara mereka.

Maka wajar jika ada yang menganggap jargon Vox Populi Vox Dei sangat berbahaya sebab ia adalah gerbang awal tempat masuknya ketidakadilan yang awalnya berpangkal pada keruntuhan adab. Ketika umat atau sistem politik yang berlaku tidak menerapkan pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan alias tidak beradab maka di situlah muncul ketidakadilan. Dan dari sinilah akan muncul para ‘pemimpin palsu’ dan lingkaran setan pencipta para ‘pemimpin palsu’ berikutnya.

Secara akal sehat saja kita bisa menilai apakah mungkin kita bisa menyandingkan ‘aspirasi’ para Ulama, akademisi, para guru besar universitas, pegiat anti korupsi, aktivis lingkungan hidup, ibu-ibu majelis taklim dengan aspirasi koruptor, cukong, pengusaha perusak lingkungan, pengedar narkoba, pelacur, pelaku LGBT, tukang survey politik musiman dsj. Tentu aspirasi kedua kubu itu tidak akan bisa bertemu karena adanya perbedaan pemikiran yang akan melatar belakangi aspirasi dua kutub berbeda itu. Artinya jika suara terbanyak adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei) diterapkan dan kebetulan yang menang adalah kelompok yang mengusung aspirasi yang batil maka dapat disimpulkan bahwa di dalam negeri itu mayoritas rakyatnya adalah orang tidak baik. Dan jikalau suara orang-orang tidak baik itu yang menang dianggap sebagai suara Tuhan, pertanyaannya apakah mungkin Tuhan berubah jadi pembela kebatilan.

Akhirnya jika Indonesia ingin memutus lingkaran setan pencipta para ‘pemimpin palsu’ dan mendapatkan para pemimpin rakyat yang amanah maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah adab karena dengan beradab lah akan tercipta keadilan. Sebab orang beradab tahu cara menempatkan sesuatu sesuai kedudukan yang layak bagi sesuatu itu yang dari situlah muncul keadilan. Orang beradab juga tidak akan menabrak etika, mengotak-atik hukum dan mengakali undang-undang konstitusi negaranya demi kepentingan pribadi apalagi keluarga.

Dan salah satu cara beradab rakyat Indonesia kepada peninggalan leluhurnya (Founding Fathers) adalah mengamalkan Pancasila sesuai dengan khittahnya, terutama sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi asli Bangsa Indonesia bukan demokrasi bar-bar seperti hari ini. Sebab sudah nyata bahwa mereka yang mendaku sebagai para pengamal DemoKrasi kini tidak lebih dari pejuang DemiKursi belaka yang dari sistem Iblis inilah siklus kemunculan para pemimpin palsu 5 tahunan akan selalu ada. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan

Dimuat Di : 

Majalah Suara Hidayatullah Edisi 12| XXXV Ramadhan 1445 H / April 2024


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama