Urgensi Tarbiyah Abawiyah Di Negara Yang Kehilangan Sosok Ayah
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Ada kabar kurang bagus tentang Indonesia. Diwartakan bahwa baru-baru ini Indonesia masuk dalam peringkat ketiga kategori fatherless country di dunia, atau negara yang "kehilangan" peran ayah. Peran ayah Indonesia dalam pengasuhan anak rupanya dinilai masih sangat minim. Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, menyampaikan bahwa fenomena fatherless ini perlu diperhatikan. Pasalnya, dampak dari minimnya peran ayah cukup besar bagi anak. “Fatherless ini menjadi fenomena yang sudah dirasakan bersama di mana peran ayah bisa dikatakan minim,” tuturnya dilansir dari laman UGM.
Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM tersebut mengatakan bahwa dalam pengasuhan anak, membutuhkan keterlibatan kedua orang tua yaitu ayah dan ibu secara berimbang. Artinya, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja, tetapi juga dilakukan oleh ayah. “Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” terangnya.
Mengapa di Indonesia masih banyak ayah yang jarang mengasuh anak? Menurutnya, hal ini karena kentalnya budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak. Sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik. Padahal, pengasuhan ayah nyatanya tidak dimaknai hanya sebagai pencari nafkah saja. Peran ayah juga dibutuhkan dalam fase tumbuh kembang seorang anak. Anak bisa mengalami fatherless karena orang tua yang terlalu sibuk. Karena kesibukan bekerja, menjadikan ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan. “Faktor orang tua yang fly in fly out, terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih sulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang,” paparnya.
Diana mengatakan hal itu disebabkan karena sosok ayah, bisa tidak mengerti bagaimana mengasuh anak yang baik. “Fatherless karena tidak tahu cara mengasuh anak, tidak ada model yang bisa ditiru dan tidak ada ilmunya, ”ucapnya. Ada banyak dampak yang muncul saat seorang ayah kurang waktu mengasuh anak. Persoalan yang bisa muncul antara lain:
1. Hambatan dalam pembentukan identitas gender dan peran seksual
2. Penurunan performa akademis
3. Kesulitan penyesuaian psikososial
4. Kontrol diri rendah, dan self esteem rendah.
Diana mengatakan, kurangnya peran ayah menyebabkan anak memiliki emosi yang tidak matang sehingga tidak mampu meregulasi emosi baik mengekspresikan maupun mengendalikan emosi. Ketidakmampuan anak mengendalikan emosi ini akan mendorong cemas dan depresi (perilaku internalisasi) dan kontrol diri rendah, berperilaku berlebihan serta agresif (eksternalisasi). Salah satunya kecanduan terhadap zat ataupun aktivitas yang menimbulkan kesenangan seperti kecanduan gadget, game online, napza, rokok dan lainnya.
“Bisa juga memunculkan gangguan perilaku menyimpang, perilaku seksual dan gangguan mood serta bunuh diri,” pungkasnya. Diana mengatakan ada banyak cara agar ayah bisa ikut berperan dalam mengasuh anak. Keterlibatan ayah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti melakukan kegiatan bersama, komunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak dan lainnya. Ayah harus ikut beraktivitas bersama anak karena kegiatan bersama ikut menstimulasi perkembangan kognitif.
Termasuk cara berkomunikasi antara ayah dan ibu, ikut berperan. Misalnya, seperti ayah yang cenderung lebih mengarahkan, lebih singkat. Cara berkomunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan bahasa yang lebih tinggi sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak. Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Fungsi eksekutif berkaitan dengan kemampuan merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan atensi.
Cara mengasuh anak, tentu melibatkan kehadiran ayah secara tatap muka. Pola pengasuhan juga memengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang. Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban yang dimiliki ibu sehingga turut memengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.
Dalam perkembangan moral, ayah berperan penting dalam penanaman nilai individu karena sikap cenderung lebih tegas dan maskulin daripada ibu. Diana menyebutkan banyak penelitian yang menunjukkan hilangnya peran ayah menyebabkan anak tidak memiliki moral yang baik dan terlibat dalam kenakalan remaja. Peran ayah ikut membentuk identitas seksual anak. Keterlibatan ayah memberikan gambaran mengenai perbedaan gender, terutama pada anak laki-laki ayah menjadi role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Sikap hangat dan positif ayah terhadap anak terutama laki-laki dapat membentuk maskulinitas. “Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan anak yang kehilangan figur ayah,”pungkasnya.(Indonesia Negara Urutan 3 Fatherless Country)
Melihat fakta mencengangkan tersebut, sebagai bangsa yang saat ini memasuki era bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif, Indonesia harus serius memperhatikan fenomena “Fatherless” ini sebab jika bonus demografi ini dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah, kondisi ini akan menjadi modal penting untuk membangun untuk menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045. (Bonus Demografi Indonesia). Bonus demografi usia emas (anak-anak muda) ini adalah anugerah di saat negara-negara lain mengalami resesi seks yang berpotensi pada berkurangnya populasi mereka. Namun akan menjadi bencana manakala negara gagal mengelolanya.
Fenomena Fatherless tersebut kian menunjukkan bahwa peran seorang ayah dalam pola pengasuhan anak sangatlah besar. Bahkan di pembukaan kitabnya yang berjudul Adabul Alim Wal Muta’alim, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menukil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiallahu Anha yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, "Hak anak terhadap orang tuanya (ayah) adalah agar si anak diberikan nama-nama yang bagus, diberikan air susu yang bagus (Yakni Ibu kandung yang berakhlak baik yang memberikan ASI pada si anak), dan diberi pendidikan adab yang bagus.” (KH. Hasyim Asy’ari , Adabul Alim Wal Muta'alim Hal. 09, Cetakan Maktabah Turats Al Islami Ma’had Tebuireng Jombang Jawa Timur)
Melihat hadis di atas nampak jelas bagaimana seorang ayah memiliki tanggung jawab besar yang mana jika perihal tersebut tidak dilaksanakan maka dia telah melanggar hak paling dasar dan paling awal dari seorang anak yakni sebelum menikah si calon ayah harus bisa memilih seorang calon ibu yang berakhlak baik yang kelak bisa menyusui calon anaknya, lalu memberi nama yang bagus (dalam pandangan Islam) dan mendidik anak dengan pelajaran adab yang bagus.
Namun tidak bisa dipungkiri kini zaman telah berubah dan tantangan menjadi ayah kian berat sedangkan kesiapan menjadi ayah tetap rendah. Rendahnya kesiapan menjadi ayah selaras dengan kurangnya kesadaran membangun pernikahan. Konsekuensi bahwa pernikahan kemungkinan besar menghasilkan keturunan yang menuntut tanggung jawab lahir dan batin belum sepenuhnya dipahami apalagi disiapkan. Sebab pasangan muda lebih fokus menyiapkan hari pernikahan, dan kurang memikirkan perencanaan membangun keluarga serta cara menjalaninya. Demikian kata psikolog hubungan romantis fakultas psikologi universitas bina Nusantara Jakarta, Pinkan CB Rumondor di Jakarta Senin (13/ 11/17).
Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor Diah Krisnatuti, menambahkan, masyarakat masih ragu memperkenalkan peran ayah kepada anak laki-laki yang akan menikah. Pesan pernikahan lebih banyak diberikan kepada anak perempuan agar mereka mampu jadi istri dan ibu yang mengurus anak dan rumah tangga. Menurutnya, untuk anak laki-laki, pesan umumnya hanya terkait aspek ekonomi agar mereka bertanggung jawab memberi nafkah materi, tidak termasuk di dalamnya nafkah kasih sayang untuk anaknya kelak.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang kualitas pengasuhan anak Indonesia 2015 menunjukkan hal itu. Hanya seperempat calon ayah yang mencari informasi pengasuhan anak sebelum menikah. Saat jadi ayah, mereka yang mau belajar pengasuhan pun kurang dari 40 persen. Dan itupun umumnya berasal dari kelompok terdidik dan kelas ekonomi menengah.
Tantangan menjadi ayah saat ini jauh berbeda dengan beberapa dekade yang lalu. Di masa lalu ayah adalah sosok yang ditakuti, tetapi kini ayah dituntut jadi sahabat anak. Menguatnya kesetaraan gender yang membuat peran ibu di masyarakat makin kuat menuntut ayah lebih banyak ikut terlibat dalam urusan domestik. Perubahan budaya itu terjadi di tengah meningkatnya tuntutan ekonomi keluarga, ketidakstabilan kondisi sosial ekonomi, kelelahan akibat bekerja, dan perjalanan bekerja hingga banjirnya informasi yang membuat pilihan makin banyak.
Dengan segala tantangan itu, ayah dituntut lebih banyak meluangkan waktu berbincang dengan anaknya agar anak punya ikatan emosi lebih kuat. “Ayah perlu menyediakan waktu mengobrol hangat dan bermain dengan anak,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani.
Namun, mengobrol dengan anak sepertinya masih jadi persoalan besar banyak ayah. Survei KPAI 2015 menyebut hampir separuh ayah hanya punya waktu berbincang dengan anaknya selama satu jam sehari. Materi perbincangan pun umumnya sangat terbatas, tidak menyentuh substansi, seperti menanyakan sudah makan atau belum, pelajaran dan teman di sekolah, pekerjaan rumah, atau nilai ujian. Menyikapi kondisi itu, Diah menilai, negara perlu campur tangan, “Negara harus berperan besar kurangnya peran ayah dalam pengasuhan berimbas besar bagi bangsa,” katanya. (Kompas, 14/11/17).
Tarbiyah Abawiyah Adalah Solusi
Terminologi Tarbiyah Abawiyah ini penulis kutip dari Habib Abubakar Al Adni bin Ali Al Masyhur yang jika ditafsirkan secara bebas artinya adalah metode pendidikan yang menjadikan ayah sebagai sosok utama sang pengajar (Murobbi) yang berperan dominan sebagai teladan bagi anak-anaknya.
Di dalam Al Qur’an Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[QS. at-Tahrim/66:6]
Allah juga berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”[QS. Toha /20: 132]
Dan semakna dengan ayat di atas adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” (HR. Ahmad)
Jika melihat khitob dari dua ayat Al Qur’an dan hadis di atas dapat dilihat bahwa Allah dan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada para orang tua terutama kepada ayah agar menjaga keluarganya dari api neraka. Bagaimana caranya, tentu dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Dan sebelum menyuruh keluarganya tentu si ayah harus menjadi teladan sebagai orang pertama yang melaksanakan ketaatan kepada Allah di keluarganya agar dicontoh oleh anak-anaknya. Inilah salah satu Tarbiyah Abawiyah yang kini kian darurat untuk digalakkan.
Lihatlah di dalam Al Qur’an bagaimana dikisahkan keteladanan para ayah dalam mendidik anaknya seperti kisah Lukman Al Hakim, Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail Alaihimu Salam, kisah Nabi Ya’qub saat berwasiat agar mempertahankan akidah Islamiyah kepada para anaknya saat menjelang wafat dll. Itu semua adalah contoh terbaik dari Tarbiyah Abawiyah yang diabadikan di dalam Al Qur’an yang kini menjadi kedaruratan nyata untuk segera diterapkan di negara yang semakin “kehilangan sosok ayah” ini.
Di dalam salah satu bab dalam kitabnya, Sayyid Muhammad Al Maliki mendorong para orang tua agar memberi perhatian kepada anak-anaknya tentang tata krama. Beliau mengutip pesan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kWh agar senantiasa mengajari dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Sebab di dalam Tarikh Bukhari disebutkan ada hadis marfu’ yang menyatakan bahwa orang tua tidak membekali anaknya dengan sesuatu yang lebih utama daripada adab yang baik. Dan hadis dari Jabir bin Samurah Radiyallahu Anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda bahwa seseorang yang mengajar anaknya itu lebih baik daripada ia bershadaqah sebanyak satu Shaa’. (Prof. Sayyid Muhammad Al Maliki, Etika Islam dalam Membina Rumah Tangga (Terj.), Hal. 45)
Sebagai penutup agar kita kian bersemangat untuk menjalankan metode Tarbiyah Abawiyah dalam menanggulangi fenomena “Fatherless” ini, penulis ingin mengutip hadis yang berbunyi,
رحم الله والدا أعان والده على بره
“Semoga Allah memberi Rahmat kepada orang tua yang membantu anaknya untuk berbakti kepadanya “ (HR. Abu As Syaikh dengan sanad Dhoif). Wallahu A’lam Bis Showab
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :