Perempuan Dalam Lingkaran Industri Menurut Islam dan Barat

 Perempuan Dalam Lingkaran Industri; Perspektif Islam dan Barat

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Suatu hari ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Lelaki tersebut hendak menanyakan bagaimanakah seharusnya ia memperlakukan ibunya dalam hal berbakti. Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang istimewa dan porsi yang berbeda dibandingkan seorang ayah. Seorang ibu memiliki perbandingan tiga kali lebih utama dibanding ayah dalam prioritas kebaktian seorang anak kepada orang tua. Sekali lagi, Nabi menyebut kedudukan ibu hingga tiga kali baru kemudian kedudukan seorang ayah satu kali manakala lelaki tersebut menanyakan bagaimanakah hendaknya dia memperlakukan kedua orang tuanya. [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari). 

Kisah dari hadis masyhur tersebut membuktikan bahwa Islam sangat memuliakan kaum perempuan. Yang mana bentuk pemuliaan itu berbeda dengan yang dilakukan oleh Barat terhadap perempuan. Dalam besutan indah film-film Hollywood, Barat memang digambarkan seolah-olah menjunjung tinggi hak-hak perempuan dengan berbagai program mereka yang terangkum dalam proyek besar bernama kesetaraan gender dalam berbagai bidang. 

Dalam kesetaraan gender versi Barat, wanita diperbolehkan bahkan sangat didukung untuk masuk ke segala bidang kehidupan. Mereka bebas jadi kuli batu, jadi tentara, jadi sopir, jadi pelacur, bahkan jadi single parents sekalipun sah-sah saja. Intinya hampir segala bidang kehidupan yang mengandung maskulinitas dan kemandirian tanpa campur tangan lelaki hendak mereka galakkan pula bagi wanita. Dan hal ini dalam pandangan Feminisme Barat adalah sebuah kemuliaan dimana wanita bisa disejajarkan dengan pria di dalam segala aspek.

Jika di dalam Islam seorang wanita idealnya adalah berada di rumah untuk membangun keluarga yang baik dan peran mencari nafkah dibebankan pada lelaki (ayah), maka hal itu dianggap sebagai pengekangan oleh Barat. Barat menganggap penataan keluarga model Islam semacam itu kuno dan mencederai keadilan gender karena peran wanita dikesampingkan. Barat berdalih jika seorang wanita berada di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga maka potensi besar kaum perempuan akan tereduksi. Lelaki dan perempuan harus setara, sejajar berbanding lurus an sich dalam segala hal. Itulah pandangan Barat. Pertanyaan besar selanjutnya adalah apakah memang benar kesetaraan gender model Barat itu lebih berhasil daripada model keluarga Islami. Mari kita kaji bersama.

“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”

Ucapan di atas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, seorang ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam dan seorang Profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi. Menurutnya, anak yang pada kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran moral masih akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan dari ibu yang solehah. 

Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya karena teringat dengan petuah-petuah Rabbani yang pernah terekam dalam ingatannya. Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka ia  hanya akan mewariskan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. 

Sifat alami anak yang banyak meniru perilaku sang ibu akan membuka peluang penyaluran sifat alami ibu kepada anaknya. Dan hal ini pun dibuktikan dengan hasil penelitian yang pernah dipublikasikan oleh Jurnal Current Dirrections In Psychological Science, Amerika Serikat. Seperti yang dikutip Livescience, Selasa (20/12/11), dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa keterikatan ibu dan anak kecil dapat memprediksi perilaku romantis anak di kemudian hari. Anak-anak yang merasa aman dengan ibunya, ketika dewasa akan mampu memecahkan masalah hubungan secara lebih baik. Mampu pula mengatasi konflik dan menikmati hidup yang seimbang (Kompas, 24/12/11). Jika ditarik sebuah negasi dari pemaparan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kerusakan anak akan sangat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. 

Oleh karena itu, dalam bukunya Ma'rakah At Taqaaliid, Muhammad Quthb mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang terkait dengan arti kehadiran ibu dalam keluarga. Ia menulis,

“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”

Konsep inilah yang tidak terjadi di Negara Barat. Barat mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian dalam pengertian yang sangat primitif, yakni tidak lain konsep pemenuhan biologis semata. (Proyek Perusakan Kepada Wanita )

Fenomena kerusakan wanita Barat sudah lumrah kita ketahui baik itu melalui film-film Hollywood maupun pemberitaan media dan infotainment. Bagaimana jamak kita saksikan si selebriti A berselingkuh dengan artis B yang sudah berumah tangga. Tidak sedikit pula pemberitaan mengenai artis idola menghamili penggemarnya. Dan berbagai kelakuan amoral lainnya dari masyarakat Barat yang ironisnya di negeri kita mulai dianggap sebagai trend gaya hidup yang wajib dikiblati. 

Lantas mengapa wanita idealnya harus menjadi ibu rumah tangga? masih menurut Muhammad Quthb,

“Islam tidak menyukai wanita dilelahkan syarafnya dengan bekerja memeras tenaga. Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergeseran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria.”

Patut menjadi perenungan bersama bahwa fakta miris tersebut juga telah menjadi fenomena di dalam masyarakat kita saat ini. Dimana para wanita karier yang sibuk di tempat kerja saling  bersaing dengan suami mereka  yang juga sibuk. Dan yang menjadi korban tentu saja anak-anaknya. Meski dengan dalih mencari uang untuk menunjang kebutuhan hidup dan biaya agar anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, namun nyatanya tetap saja anak-anak tersebut merasa “terasing” dan “ditelantarkan”. Di rumah yang dia jumpai hanya pembantunya sebab kedua orang tuanya masih berkutat di kantor dan pabrik.

Dari sini patut ditanyakan kembali, apakah bekerja itu benar-benar untuk membahagiakan keluarga atau mencari uang dan prestise semata. Karena nyatanya uang yang berlimpah-limpah dari hasil kerja siang dan malam kedua orang tuanya dengan mengorbankan waktu buat anaknya tidak mampu membuat keluarga tersebut bahagia.

Buktinya? Fenomena tawuran remaja dan anak sekolah di kota-kota besar saat ini ternyata dilakukan bukan hanya oleh remaja dari keluarga marjinal namun juga dari kalangan berada yang miskin perhatian orang tuanya. Anak-anak mereka “diasuh” oleh YouTube, Tiktok, Instagram TV, majalah fashion, music dan sarana hedonis dan permisif lainnya. 

Islam sebenarnya bukan  melarang seorang istri bekerja,  Islam hanya mendelegasikan bahwa sekalipun perempuan bekerja harus dalam kondisi darurat dan pekerjaan bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama mencari nafkah ada pada pihak suami sedangkan istri memiliki beban yang lebih mulia yakni menyiapkan generasi Rabbani. 

Perihal peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam, Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid  menulis, “Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.” 

Kebenaran Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang seorang wanita menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian penelitian. Karena di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah terpikir meninggalkan kariernya dan memilih untuk berkonsentrasi di rumahnya.

Sebuah majalah wanita, Genius Beauty, pernah memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris menemukan bahwa 70% wanita Inggris menginginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama dengan pasangan mereka. Mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi wanita yang lebih dekat kepada anaknya, ketimbang dengan “bos” nya. 

Bahkan Kathy Caprino dalam bukunya “Breakdown, Breakthrough” juga memiliki kesimpulan hampir sama. Ia meneliti banyak wanita yang terjun ke dunia pekerjaan cenderung tidak bahagia. Lima alasan terpopuler mengapa mereka tidak bahagia akan pekerjaan yang disandangnya menurut Caprino adalah:

1. Merasa tidak akan bisa seimbang antara bekerja dan mengatur keluarga

2. Menderita Masalah Finansial parah

3.    Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati

4. Merasa tidak berharga dan dihormati

5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan (Proyek Perusakan Kepada Wanita II)

Di dalam buku Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, halaman 31-32, Dr. Irwan Abdullah dalam tulisannya yang bertajuk Kematian Perempuan : Tubuh Perempuan Dalam Iklan,  menulis bahwa perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki), tetapi musuh baru yang lebih perkasa, yakni Kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh Kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri.

Di Indonesia sendiri kekuasaan Kapitalisme kini kian kuat mencengkeram, salah satu buktinya adalah dengan disahkannya undang-undang cipta kerja (Omnibus Law) yang semakin mencekik rakyat dan memanjakan kepentingan Oligarki dan kapitalisme. Dan salah satu produk dari UU Ciptaker yang sampai hari ini selalu digugat oleh masyarakat terutama kaum buruh adalah masalah Outsourching alias Alih Daya yang berpotensi membuat para Buruh menjadi tenaga kerja kontrak selamanya. 

Dan dari sistem kerja kontrak inilah muncul celah bagi para oknum atasan di beberapa perusahaan untuk memperkuat relasi kuasa mereka kepada bawahan. Di Cikarang Bekasi Jawa Barat misalnya yang sedang ramai belakangan adalah kasus staycation, dimana seorang manajer perusahaan kosmetik mengajak bawahannya (perempuan) untuk menginap di sebuah hotel demi memuaskan nafsu birahinya jika ingin kontrak si karyawan diperpanjang di perusahaan tersebut. Inilah salah satu kebobrokan sistem kapitalisme yang sedang menghegemoni dunia saat ini. (Buruh Perempuan Dipaksa Staycation Bersama Bos)

Ada sebuah ungkapan klise: ada yang bekerja untuk hidup, kini banyak yang hidup untuk bekerja. Walaupun klise, ungkapan ini ada benarnya. Sistem pabrik kafir adalah sistem yang tidak manusiawi dan amat menghina. Sistem itu memperlakukan manusia sebagai bagian yang diperlukan sekaligus bisa dibuang begitu saja dalam proses produsen-konsumen. Peningkatan otomatisasi berarti peningkatan penghambaan manusia kepada mesin yang dijalankannya. Mereka diwajibkan untuk mengikuti lajunya mesin. Pada pabrik yang bekerja dua puluh empat jam per hari, pekerja diatur sedemikian rupa agar mesin tidak sampai berhenti dan mengganggu arus produksi. Kelahiran, pernikahan dan kematian, cenderung dianggap sebagai peristiwa kehidupan yang tidak penting. malahan dianggap berpotensi untuk mengganggu kelancaran proses produksi. Sekecil apa pun rasa aman pada pekerjaan, akan diluluhkan oleh pemberlakuan tawaran kontrak kerja jangka pendek dan ancaman PHK, dan ketakutan ini dijadikan sarana untuk menumbuhkan semangat kerja. Maka satu-satunya cara untuk bisa bertahan hidup di lingkungan semacam ini adalah dengan berlaku seperti robot, atau menjadi robot saja.

Dalam sistem pabrik, sukses diukur dari seberapa besar kekuasaan anda atas orang lain, dari sekecil apa kekuasaan orang lain atas diri anda, juga diukur dari seberapa besar uang yang anda peroleh. Semakin banyak barang yang mampu anda beli, semakin berhasillah anda. Semakin anda bisa mengejewantahkan citra ideal semu yang ditampilkan media massa dan ada banyak sekali citra ideal yang ditawarkan guna menciptakan pasar yang seluas-luasnya - maka semakin terkenallah anda sebagai seseorang yang sukses dalam permainan produsen-konsumen. (Ahmad Thomson, Sistem Dajjal hal 19 (terj.) penerbit Semesta Hadi Racana, Bandung, Agustus 1998).

La Rose  di sampul bukunya, Dunia Wanita, menulis,

"Masalah yang dihadapi kaum wanita kian hari semakin banyak semakin sulit, semakin rumit dan semakin kompleks, karena wanita harus ada dimana-mana, di pabrik, di kantor, di dalam organisasi sosial, bahkan di posisi penting pemerintahan; sementara letak dasar wanita paripurna harus tetap di dalam rumah tangga, di samping suami, di jangkauan anak-anak tercinta, di lingkungan keluarga, di ajang pergaulan sesama manusia. Justru di situ letak masalah, kian hari kian banyak persoalan yang dihadapi, wanita cenderung kian lalai pada fitrahnya."

Berbagai pemaparan di atas kiranya membuat para perempuan sadar terhadap hakikat dihadirkannya dirinya di dunia ini oleh Allah. Perempuan dihadirkan di dunia oleh Allah bukan sekedar untuk bersolek, berhubungan seksual, melahirkan, menjadi korban mode dan iklan, berlenggak-lenggok di depan mata manusia dengan dalih ratu-ratuan, dan segala hal remeh temeh lainnya. Lebih dari semua itu, perempuan dihadirkan di dunia ini agar dapat menumbuhkan generasi-generasi baru yang lebih baik bagi peradaban manusia berikutnya.

Dan semua harapan besar dari umat manusia itu ada di pundak wanita-wanita Muslimah karena hanya merekalah wanita terbaik yang dihadirkan Allah di dunia ini. Karena mereka lebih memilih mengikuti perintah “Langit” daripada perintah bos-bos mode , fashion, dan yang sejenisnya. 

Sebagai penutup penulis ingin kutipkan pernyataan R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902, yang berbunyi,

"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” Wallahu A'lam Bis Showab 

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

Dimuat Di :

https://hidayatullah.com/artikel/2023/05/12/251077/perempuan-dalam-lingkaran-industriantara-perspektif-islam-dan-barat.html

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama