Hati-Hati Dalam Menimbang
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
وكان الحرث المحاسبي رحمه الله تعالى يقول: بلغنا أنه تاب كيال عن الكيل وأقبل على عبادة ربه عز وجل، فلما مات رآه بعض أصحابه في منامه، فقال له: ما فعل الله بك يا فلان؟ قال أحصى علي خمسة عشر قفيزا من أنواع الحبوب التي كنت أكتالها. فقال له: كيف ذلك؟ قال: كنت أغفل عن تعاهد الكيل بالنقص من الغبار، فتراكم في قعره من التراب , فكان كل كيلة تنقص بقدر ما في القعر من التراب، قال: وكذلك وقع لشخص كان لا يتعاهد الميزان بمسحها من الغبار. فكان يعذب في قبره ويسمع الناس صياحه في القبر، حتى شفع فيه بعض الصالحين رضي الله عنهم
Adalah Haris Al Muhasibi Rahimahullah, seorang pembesar ulama Sufi yang lahir di Basrah dan wafat di Baghdad, pernah sampai padanya sebuah riwayat bahwa ada seorang tukang penimbang barang yang bertobat lalu menghabiskan sisa usianya untuk fokus beribadah kepada Allah SWT. Ketika si tukang takar itu meninggal, sebagian sahabatnya melihatnya di dalam mimpi dan mereka bertanya kepadanya, “Bagaimana Allah memperlakukanmu? Lalu dia menjawab, Allah menghitung atasku lima belas qofiz (satuan berat) dari berbagai macam biji-bijian yang pernah aku timbang. Lalu para sahabatnya tadi berkata kembali, “Bagaimana bisa begitu?, Si tukang takar itu menjawab, “Sesungguhnya aku dulu lalai daripada mengawasi alat penimbang itu dari debu-debu yang menempel di bawahnya. Sehingga terkumpul tanah (dari banyaknya timbunan debu) di bawah timbangan tersebut. Maka setiap biji-bijian yang ditimbang di timbangan itu terkurangi beratnya seberat timbangan tanah tersebut. Dan demikianlah bagi siapapun yang tidak membersihkan timbangan daripada gumpalan debu (tanah) maka ia akan terjatuh pada keadaan sepertiku ini. Lalu dia akan diazab di dalam kubur dan manusia (sesama mayit) akan mendengar jeritannya di dalam kuburnya sampai ada sebagian orang Sholeh yang memberi syafaat atas dirinya.
Kisah yang dinukil oleh Imam Abdul Wahab As Sya’roni dalam kitab Tanbihul Mughtarin (pada hal. 53-54 cetakan Darul Kutub Islamiyyah Jakarta) itu tentu bisa jadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa ternyata perihal kelalaian dalam perkara timbang – menimbang bisa sedemikian besar konsekuensinya di akhirat kelak. Lelaki yang menjadi tokoh utama dalam ceritera tersebut dijelaskan adalah orang yang ahli ibadah pasca dia memutuskan untuk bertobat sepenuhnya. Namun bagaimanapun keadilan Allah tetap berjalan, kelalaian dalam hal yang bernilai merugikan pihak lain sekecil apapun tetap akan diperhitungkan oleh Allah di akhirat nanti sebagai bentuk kemaha- adilan Nya. Ini sesuai firman Allah SWT di dalam Al Qur’an yang berbunyi,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah : 7-8)
Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa,
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عِمْرَانُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ، عَنْ أَبِي عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Qatadah, dari Abdu Rabbihi, dari Abu Iyad, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Hindarilah oleh kalian dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bila menumpuk pada diri seseorang, niscaya akan membinasakannya.
Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah membuat suatu perumpamaan bagi dosa-dosa kecil yang terkumpulkan ini dengan suatu kaum yang turun beristirahat di suatu tanah lapang, lalu para juru masak mereka datang, dan masing-masing orang dari mereka pergi dan datang dengan membawa sepotong kayu bakar, hingga pada akhirnya terkumpulkanlah setumpuk kayu yang banyak jumlahnya. Lalu mereka menyalakan api dan membuat masak semua makanan yang dilemparkan ke dalamnya.
Membincang perihal kecurangan dalam timbangan saat jual beli, tentu ingatan kita tidak akan bisa lepas dari kisah penduduk Madyan yakni nama sebuah kaum dimana Nabi Syu’aib Alaihis Salam diutus. Al Qur’an mengisahkan bahwa mereka sangat gemar mengurangi takaran dalam menimbang.
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya yang berjudul Kisah Para Nabi (Qishosul Anbiya’), penduduk Madyan merupakan orang-orang yang kukuh dalam kekufuran. Banyak riwayat menyebutkan bahwa kaum Madyan adalah kaum yang suka menumpuk harta dan curang dalam timbangan dagang. Mereka kerap kali mengurangi timbangan bahkan mengganti dengan barang palsu. Kaum Madyan juga tidak mempercayai adanya Allah SWT. Hal itulah yang menyebabkan diutusnya Nabi Syu’aib Alaihis Salam untuk menyadarkan kaumnya tersebut.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an,
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥ ۖ قَدْ جَآءَتْكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ ۖ فَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ وَٱلْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا۟ ٱلنَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman." (Q.S Al-A’raf : 85).
Dua kisah mengenai keadilan dalam menimbang barang-barang dagangan itu harus dijadikan alarm pengingat terutama bagi para pelaku perdagangan dan pihak-pihak yang berkutat di bidang perdagangan. Jika mereka sengaja curang ketika menimbang maka ingatlah kisah kaum Madyan yang dihancurkan oleh Allah karena kecurangan mereka dalam menakar. Dan jika mereka tidak berniat curang namun karena kelalaian sehingga tidak sengaja ada hak-hak orang lain yang terambil alias tidak sesuai takaran yang seharusnya, maka ingatlah kisah yang diceritakan oleh Haris Al Muhasibi di atas. Intinya adalah tidak ada kedzaliman kepada makhluk Allah lainnya yang tidak dibalas meski sekecil apapun. Sebab Allah adalah sebaik-baik hakim yang akan mengadili (QS. At Thiin :8).
Sebagai orang beriman , beberapa penjelasan di atas hendaknya bukan sekedar menjadi kisah-kisah yang dituturkan di majelis pengajian belaka namun seyogyanya menjadi barometer bagi kita yang hidup jauh dari zaman generasi terbaik yakni generasi para Sahabat, Thabi’in, dan Thabiut Thabi’in. Sebab bukan rahasia lagi bahwa setiap terjadi perguliran zaman maka keburukan akan kian bertambah. Keburukan apa yang dimaksud? Tiada lain kecuali keburukan dalam perkara agama (akhlak).
Hal tersebut sedikit banyak tergambarkan dalam riwayat Ad Darimi yang menjelaskan bahwa,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنَ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ. أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ، وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ، وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ، ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا، وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ»
“Dari Abdullah Radiyallahu Anhu berkata: “Tidaklah akan datang suatu tahun kecuali tahun tersebut lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa suatu tahun lebih baik daripada tahun lainnya, dan seorang pemimpin lebih baik dari pemimpin lainnya. Akan tetapi ulama-ulama, orang-orang pilihan dan para ahli fikih kalian telah banyak yang wafat, kemudian kalian tidak mendapatkan ganti mereka, hingga datang orang-orang yang berhukum dalam masalah agama berdasarkan akal semata.” (HR. ad-Darimi).
عَنِ الزُّبَيْرِ يَعْنِي ابْنَ عَدِيٍّ، قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ، فَقَالَ: اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ أَوْ يَوْمٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Zubair bin ‘Adi mengatakan, pernah kami mendatangi Anas bin Malik, kemudian kami mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah al-Hajjaj. Maka dia menjawab; Bersabarlah, sebab tidaklah datang tahun-tahun atau hari melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Aku mendengar hadits ini dari Nabi kalian Shalallahu Alaihi Wa Sallam”. (HR. Ahmad).
Ibnu Batthal (449 H) dalam Syarhu Shahīh al-Bukhori mengatakan bahwa hadis ini merupakan salah satu bentuk mukjizat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam dimana beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini semakin hari semakin sulit dan banyak kerusakan. Dalam riwayat ini dijelaskan keadaan penduduk Baghdad sebelumnya sangat sejahtera saat berada di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun keadaan menjadi berubah drastis saat mereka dipimpin oleh Al-Hajjaj alias Ibnu Yusuf as-Tsaqofi yang terkenal dengan pemerintahan diktatornya itu.
Bagaimana dengan keadaan kita saat ini? Tentu sesuai hadis Nabi tersebut, kehidupan kita akan jauh lebih buruk dari kehidupan kaum sebelum kita. Lihat saja korupsi makin menggila, ekonomi rakyat dikuasai dan secara sistematis dikuasakan kepada segelintir elite saja, berbagai subsidi yang menjadi hak rakyat dicabut, berbagai harga bahan pokok dinaikkan sehingga ada anggapan negara sedang berjual beli dengan rakyatnya, dan hukum pun kini jadi mainan para penegak hukum belaka. Bahkan jika dibandingkan dengan kisah kecurangan dalam menakar timbangan di awal tulisan ini, nampaknya zaman kita lebih parah. Contoh nyatanya adalah Bantuan Sosial (Bansos) Covid 19 untuk rakyat yang notabene bukan dalam rangka jual beli pun diembat oleh Menteri Sosial dan beberapa jajarannya yang menjabat saat itu. Tentu ini merupakan kebobrokan yang sangat parah.
Melihat fenomena ini lantas timbul tanya dalam hati kita, bagaimana kita menyikapi itu semua. Jawaban sederhananya adalah, “Tetep eling lan waspada, sak bejo-bejone wong lali isih luwih bejo wong kang iling” yang bermakna tetap ingat kepada Allah dan selalu waspada karena seberuntung apapun orang yang lalai dari Allah masih lebih beruntung orang yang selalu ingat kepada Allah. Sadari bahwa dunia ini fana dan akhirat itu kekal. Maka menyikapi dunia dengan sifat Ghona’ah yang menjadi praktek nyata dari sifat Zuhud adalah solusi kita yang hidup di era resesi ekonomi ini. Ghona’ah akan menjadi rem supaya kita tidak turut terjerumus pada praktek-praktek kecurangan dalam menjalani kehidupan berekonomi. Sebab orang terkaya adalah mereka yang sudah kaya hati (Ghona’ah). Karena barangsiapa yang hidupnya selalu merasa kurang maka dia akan tergerak untuk berbuat curang. Dan diantara kecurangan itu adalah tidak adil dalam menakar timbangan seperti pembahasan dalam tulisan ini. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :