Tauhid Adalah Identitas Kita
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. ((Inggris) Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel (2009). Communication Between Cultures. Cengage Learning. hlm. 154-161)
Identitas adalah sesuatu yang paling melekat dengan jati diri seseorang karena ia merupakan pendefinisian paling dasar secara dhohir yang bisa digunakan oleh pihak lain untuk mengenalinya. Di dalam sistem sosial manusia modern identitas paling sederhana terangkum di dalam sebuah kartu berupa KTP, SIM dan yang sejenisnya.
Identitas ini penting adanya, sebab Allah sendiri telah berfirman di dalam Al Qur’an mengenai adanya identitas masing-masing manusia secara umum ,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat : 13)
Untuk apa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku padahal mereka berasal dari satu orang tua yang sama (Adam dan Hawa), tiada lain agar mereka saling mengenal. Namun jika dilacak lebih jauh ke belakang sebelum menjadi manusia yang disematkan berbagai identitas duniawi semisal kebangsaan, kesukuan, ras dan sejenisnya, sebenarnya secara lebih khusus dinyatakan bahwa identitas kita adalah sebagai seorang Muslim. Ini seperti yang dijelaskan di dalam Al Qur’an ,
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰه
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia berada di atas (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)
Allah juga menjelaskan tentang penamaan “Muslim” secara gamblang dalam firman Nya,
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (Al-Hajj: 78)
Kalimat “sejak dahulu” dalam ayat tersebut maksudnya adalah sejak masa Nabi-Nabi terdahulu sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, sebab tidaklah Nabi dan Rasul semuanya diutus melainkan untuk menyeru manusia di setiap zaman kepada penyembahan kepada Allah semata. Ini seperti yang dijelaskan Al Qur’an,
وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami mewahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)
Juga di dalam firman Nya yang lain,
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu.” (An-Nahl: 36)
Kemudian dijelaskan pula di dalam sebuah hadis qudsi dimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’ (Islam) semuanya. Kemudian setan datang. Lalu memalingkan mereka dari agama mereka, mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya.” (HR. Muslim no. 2865)
Allah Ta’ala mengabarkan dalam hadis qudsi tersebut bahwa manusia pada asalnya diciptakan dalam keadaan hunafa’ yang bermakna dalam “keadaan Islam” sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah (lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 247). Kemudian setan dari kalangan jin dan manusialah yang menjadikan manusia berubah fitrahnya.
Di antara faktor paling dominan yang menjadikan seorang manusia menjadi kafir alias keluar dari fitrahnya adalah faktor orang tua seperti yang dijelaskan di dalam sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam yang berbunyi,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah. Maka, bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, atau menjadikannya Nasrani, atau menjadikannya Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)
Lebih jauh lagi disebutkan secara detail mengenai identitas manusia paling mendasar oleh Allah semenjak di alam Ruh di dalam Al Qur’an yang berbunyi,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
‘Dan (ingatlah), ketika Rabb mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).’” (QS. Al-A’raf: 172)
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap manusia yang lahir, maka dia lahir dalam keadaan Islam, mengenal Allah sebagai Tuhan semesta alam, dan mengakui Nya sebagai Tuhan yang berhak disembah. Jadi identitas paling dasar (fitrah) sebagai Muslim inilah yang harus kita sandang dalam kondisi apapun. Baik itu dalam kondisi berkepribadian, berumahtangga, bertetangga, bermasyarakat, berpolitik dan bernegara. Maka sangat tidak benar “akidah” kaum Sekuler dan Liberal yang menyatakan bahwa agama harus berada di ruang privat semata. Tidak boleh diumbar di ruang publik.
Mengapa penulis mengangkat tema identitas, sebab ihwal ini tengah ramai menjadi sasaran serangan kaum liberal yang berkamuflase sebagai pejuang demokrasi. Mereka didominasi oleh kaum yang selama ini hobi membinatangkan (kadrunisasi) orang lain baik lewat postingan maupun ucapan mereka. Mereka mengatakan jangan melakukan politik identitas untuk memecah-belah bangsa demi meraih kursi kekuasaan.
Perkara meraih kekuasaan dengan memecah-belah persatuan anak bangsa tentu kita semua menolak dengan keras baik itu lewat politik, ekonomi atau cara-cara kotor lainnya. Namun melarang orang Islam berpolitik dengan menunjukkan identitas keislaman mereka, tentu adalah sesuatu yang salah pula sebab sekali lagi identitas keislaman seorang Muslim tidak boleh ditanggalkan apalagi ditinggalkan di dalam kondisi apapun baik itu dalam berpolitik dan sebagainya.
Dan lagi bagi orang yang selama ini mengagungkan demokrasi dengan melarang orang berpolitik identitas bercorak keislaman itu merupakan bentuk muka dua (hipokrasi) mereka. Karena konon di dalam alam demokrasi semua pendapat bebas diperjuangkan. Lalu mengapa mereka alergi dengan politik beridentitas keislaman.
Perlu diingat bahwa negara ini pun tidak malu menyatakan identitas keislaman di dalam konstitusinya. Di dalam pembukaan UUD 1945 para Founding Fathers negara ini dengan tawadhu’ menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah “Atas Berkat Rahmat Allah...” dan juga di alinea lain disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian pada sila pertama Pancasila yang menyatakan bahwa negara ini menjunjung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini semua menunjukkan bahwa identitas bangsa ini adalah bangsa bertauhid. Mata dan hati nurani anak bangsa yang masih berakal sehat tentu tidak akan bisa menafikan hal ini.
Dan terakhir, sebagai umat Islam yang wajib mengangkat identitas keislaman dalam setiap sendi kehidupan termasuk dalam hal berpolitik, kita juga dituntut untuk tidak boleh memperjuangkan aspirasi Islam dengan melanggar ajaran Islam itu sendiri seperti memaksakan kehendak, mengintimidasi, mencaci-maki baik lewat ucapan dan tulisan, dan merendahkan orang yang berlainan paham.
Ingat bangsa ini pernah punya Mohamad Natsir sang arsitek pemersatu NKRI. Meski beliau ulama zuhud, pendiri partai Islam terbesar pada 1950, beliau tidak memaksakan pandangannya mengenai Islam kepada yang berbeda paham. Ini sesuai pengakuan dari Chris Siner Key Timu, bekas Pembantu Rektor III Universitas Atma Jaya, Jakarta yang beragama Katholik. Sekali waktu Natsir berkata kepada Chris yang Katolik, "Bagi saya nilai-nilai Islam itu inspirasi. Akan saya perjuangkan nilai-nilai itu secara demokratis." (Seri buku Tempo; Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan; Natsir, Politik Santun Di Antara Dua Rezim; Berpetisi Tanpa Caci Maki).
Bagi Mohamad Natsir dan harusnya bagi kita semua umat Islam, Islam adalah nafas utama perjuangan. Maka tidak boleh ada keraguan untuk menunjukkan identitas ketauhidan kita kepada siapapun, Isyhaduu Bi Anna Muslimun (اشهدوا بأنا مسلمون). “Saksikanlah wahai kalian bahwa kami adalah orang-orang Islam. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/2022/09/29/237486/tauhid-adalah-identitas-kita.html