HIJRAH DARI SEKULARISME
Oleh: Dr. Kholili Hasib, M.Ud
Hijrah Pemikiran |
“Ketika individu mengabdi pada otoritas pemimpin kharismatik ajaran tertentu, agama dapat dengan mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan.”
Teori di atas ditulis oleh Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama Universitas Oklahoma, dalam bukunya “When Religion Become Evil” (Edisi Indonesia Kala Agama Jadi Bencana, 2013: Mizan).
Charles Kimball termasuk salah satu ilmuan penganut teori bahwa agama adalah bencana bagi manusia dan pemimpin agama adalah penjahat. Itu produk sekularisme. Pertama-tama tidak menyeru untuk meninggalkan agama. Silahkan beribadah. Tetapi jangan bawa-bawa agama dalam urusan publik. Agama dibuatkan “ruang sendiri”. Sempit. Setelah itu orang tidak peduli lagi dengan agama. Hingga puncaknya benci pada agama dan agamawan.
Pemuka agama divisualisasikan sebagai penjahat. Tempat ibadah dianalogikan dengan ‘rumah hantu’. Pengikutnya disebut kaum fanatik. Istilah fanatik pun oleh media massa diberitakan sebagai sifat buruk, jahat, bahaya dan anti modern.
Wajah dunia sedang didominasi alam sekularisme. Di sekolah, kampus, pasar, kantor, istana, hingga rumah. Atraksi budaya hedon di jalanan dipuji. Itu seni – yang kreatif. Gaya hidup. Biarkan. Contohnya pertunjukan Citayam Fashion. Memalukan.
Dengan mencermati budaya sekularisme tersebut, maka dalam konteks keindonesiaan, jelas sekali bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45. Khususunya sila pertama dan pasal 29 UUD 1945.
Pendiri negara ini menginginkan agama mengatur kehidupan bernegara. Karena itulah maka dulu telah dibentuk hingga sekarang Kementrian Agama, pengadilan Agama, UU tentang perkawinan, zakat dan lain-lain. Demikian ini sebagai wadah untuk mengamalkan agama dalam konteks kenegaraan.
Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan pertama kali. Nama Allah disebut dalam ikrar kemerdekaan. Menandakan Indonesia ini religius. Bukan anti agama.
Jika hampir semua ruang hidup direbut oleh sekularisme, maka solusinya adalah Islamisasi. Menghadirkan Islam dalam tiap ruangan. Khususnya dalam ruang fikir kita. Jika Friedrich Wilhelm Nietzsche “membunuh” Tuhan. Maksudnya kosongkan fikir dari Tuhan. Maka hadirkan Allah Swt dalam setiap fikiran kita.
Allah Subhanahu Wata’ala merupakan realitas tertinggi yang menjadi acuan setiap aktifitas kaum Muslim. Seorang Muslim dinilai kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Subhanahu Wata’ala. Apapun aktivitas, profesi dan kegiatan manusia merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Menjadikan tauhid sebagai tonggak tertinggi dalam melakukan aktifitas adalah kewajiban setiap Mukmin. Jika seseorang dalam hati memiliki keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala mengawasi setiap perbuatan kita dan tiap aktivitas kita ada tanggung jawabnya kepada Allah Swt, maka kita tidak akan meninggalkan Allah Swt dalam berbagai aspek. Di mana pun dan kapanpun pikiran kita harus tetap pikiran yang Islam. Di kampus, kantor, masjid, pasar dan lain-lain Islam dan nilai ketuhanan menjadi dasar penggerak aktivitas.
Seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wassallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya (HR. Abu Syuraih al-Khuza’i).
Hadits Nabi tersebut menunjukkan urutan kebaikan. Setelah bertauhid, maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang baik. Dan perilaku sosial tetapi dasarnya adalah diniyyah. Inilah maksud hijrah pemikiran. Dari alam sekularisme, menuju alam yang diridhai Allah Swt. Hijrah secara fundamental. Bukan sekedar ritual. Selamat Tahun Baru Hijriyah!
Bangil, 1 Muharram 1444 H
* Dosen IAI Dalwa Bangil