Tata (Lagi) Tata Krama
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Adab Di Atas Ilmu |
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا. رواه الحاكم
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak-haknya para Ulama.” (HR. Al-Hakim).
Hadis tersebut adalah sebuah pelajaran di dalam agama Islam tentang bagaimana seorang Muslim diwajibkan beradab kepada Muslim lainnya yang lebih tua darinya baik dari segi ilmu maupun usia. Ini penting diketengahkan kembali mengingat hari ini nilai-nilai tata krama dalam pergaulan sudah mulai pudar di dalam interaksi sosial masyarakat kita.
Unggah-ungguh (dalam bahasa Jawa) yang jadi ciri khas budaya ketimuran bangsa Islam terbesar ini diakui atau tidak sudah mulai terkikis. Mirisnya hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awamnya, bahkan kepada oknum-oknum yang dinisbatkan gelar-gelar sosial pada dirinya, baik sebagai akademisi, intelektual, bahkan agamawan.
Belum hilang di dalam ingatan bagaimana kejadian viral seseorang yang digelari sebagai Gus berlaku kurang sopan di depan seorang Habib. Meskipun si Habib tidak mempermasalahkan hal tersebut namun masyarakat yang melihat secara Dhohir kejadian itu tetap tidak bisa menerima bahasa tubuh yang diperagakan oleh si Gus. Jangankan kepada seorang Habib, kepada orang biasa pun yang usianya lebih tua, berbicara sambil merokok adalah sebuah hal yang berlawanan dengan unggah-ungguh (tata krama) di dalam budaya bangsa ini. Apalagi dari sisi agama.
Kemudian yang terbaru, bagaimana seorang anggota sayap kepemudaan dari sebuah ormas besar membentak-bentak dan berkata kasar kepada orang yang lebih tua darinya baik dari segi usia maupun kontribusi pada ormas tersebut.
Kejadian yang terjadi di Surabaya (17/06/2022) ini juga menjadi trending topik di jagad maya. Terlepas masalah benar salahnya prosedur yang konon dilanggar oleh pihak yang kegiatannya dibubarkan paksa oleh sayap kepemudaan ormas besar tersebut, setidaknya ada peristiwa yang membuat masyarakat mengelus dada yaitu cara pendekatan yang dipakai oleh anggota sayap kepemudaan itu kepada pihak yang notabene adalah seniornya sendiri di dalam organisasi yang sama.
Ada kalimat yang membuat kurang laik didengar oleh telinga dalam kejadian tersebut yakni saat salah satu anggota sayap kepemudaan ormas itu memaksa melepas seragam salah seorang tokoh utama dalam acara itu sambil berkata kurang lebih, “Gak Ngurus Wong Tuek” (Tidak peduli orang tua), “Iki sing nggarai koen” (Ini yang membuat gara-gara adalah kamu).
Nada emosi yang demikian sungguh menunjukkan bagaimana tata krama itu sudah tidak ada sama sekali. Bahkan di dalam bahasa Jawa Timuran, kalimat panggilan “Koen” itu hanya boleh ditujukan kepada orang yang usianya sebaya atau di bawah usia orang yang memanggil. Sedangkan untuk orang yang lebih tua baik dari segi usia maupun keilmuan maka panggilan yang dipakai adalah “Sampean” atau lebih sopan lagi adalah “Panjenengan”.
Sekali lagi, terlepas dari siapa yang benar ataupun salah dalam acara tersebut, yang jelas tayangan video kekerasan viral itulah yang jadi perhatian masyarakat terutama non anggota ormas yang bersangkutan.
Sebab dengan melihat tayangan arogansi semacam itu tentu publik akan teringat dengan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam yang berbunyi,
إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللَّهِ إِكْرَامَ ذِى الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ
“Sesungguhnya termasuk dalam pengagungan terhadap Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah tua”. (HR. Abu Dawud).
Sikap memuliakan tentu salah satunya dengan tetap memperlakukan orang yang lebih tua daripada kita dengan sepantasnya meski dalam posisi bertentangan paham dengan kita. Ingat Allah senantiasa mengingatkan kita perihal berbuat adil pada situasi apapun di dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah : 8).
Ayat tersebut secara jelas memerintahkan orang beriman untuk berlaku adil meskipun kepada kelompok yang berseberangan, dimusuhi atau dibenci. Dan seseorang baru bisa bersifat adil manakala dia sudah memiliki adab. Sebab -mengutip Al Attas- adab merujuk kepada pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan kepada disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranannya sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan mencerminkan keadaan keadilan. (Syed Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, hal 134).
Ini berarti orang harus tahu adab dulu baru bisa menghadirkan apa yang disebut sebagai keadilan. Dan tentunya kita berbaik-sangka bahwa anggota ormas yang membentak-bentak seniornya itu telah membaca kitab-kitab adab semisal Adabul Alim Wal Muta’alim nya KH. Hasyim Asy’ari dan yang semisalnya, hanya kebetulan saja lupa mengamalkannya.
Disebutkan di dalam kitab Adabu Fi Dien karya Imam Al Ghazali dalam salah satu babnya yakni adab seorang pemberi nasihat bahwa bagi mereka yang memberi nasihat hendaknya tidak memiliki rasa takabur saat melakukannya, melihat orang yang dinasihati dengan pandangan selamat bukan amarah kebencian dan disertai welas asih. Sebab bagaimanapun juga sesama Muslim adalah saudara dan seyogyanya bagi sesama saudara selalu berada dalam wilayah saling menasihati saat ada yang dinilai salah.
Maka dari beberapa kejadian yang dinilai masyarakat sarat akan aroma arogansi dan nir etika tersebut kita dapat meraba kembali sejauh mana nilai tata krama dan unggah-ungguh pada masyarakat kita saat ini.
Tentu pengajaran tata krama kepada generasi milenial jauh berbeda dengan generasi 90 an. Sebab generasi milenial adalah sebuah generasi yang banyak “terdidik” oleh tayangan media sosial. Maka apa yang mereka lihat akan lebih terserap di pikiran dibandingkan kisah teladan lewat pitutur lisan. Mungkin ini juga momentum yang tepat bagi kita untuk menata lagi pengajaran tata krama bagi generasi hari ini. Wallahu A’lam.
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2022/06/22/232106/232106.html