Pulang Ke Jalan Fitrah

 PULANG KE JALAN FITRAH

Oleh: Dr. Kholili Hasib, M.Ud

Edward Burra- Blue Robed Figure Under a Tree 1937

Semua makhluk, termasuk manusia, adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156). Ciri khas orang beriman adalah dirinya merasa dimiliki Allah Swt. Hidupnya dalam kendali-Nya. Karena itu mereka tunduk. Sedangkan orang kafir ingkar karena dalam jiwanya memang tidak ada sama sekali perasaan dimiliki Allah Swt. Jadi, perasaan dimiliki Sang Khalik itu sangat penting.

Ketika manusia itu merasa dimiliki Allah, maka dia akan mencari jalan untuk kembali kepada-Nya. Itulah agama. Beragama bagi kaum Mukmin adalah perjuangan (jihad) untuk menemukan jalan kembali kepada Allah Swt. 

Prof. Sayid Muhammad Naquib al-Attas mengatakan bahwa kembali kepada Tuhan itu maknanya mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Menurutnya tujuan beragama adalah mengembalikan manusia kepada keadaan asalnya. Keadaan asal manusia itu suasana terikat oleh janji mengakui Allah sebagai Tuhan. 

Pada kondisi ini, manusia menyadari akan jati diri dan spiritualnya melalui pengetahuan manusia yang benar. Tujuan hidup di dunia sesungguhnya adalah proses kembali kepada Tuhan. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 13).

Manusia pada asalnya adalah suci, sebab ia pernah wujud dalam kondisi spiritual yang tinggi di alam yang disebut Prof Syed al-Attas sebagai alam “alastu”. Ketika kewujudannya tidak pada dalam bentuk fisik. Ketika lahir, manusia masih bersih ruhnya. Perubahan terjadi ketika manusia menjadi dewasa dengan segala lingkungannya.

Di alam “alastu” manusia berjanji kepada Allah Swt. Perjanjian tersebut dijelaskan di dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Pada jenis kewujudan ini manusia berada pada keadaan yang terbaiknya. Ketika Allah memanggil, mereka segera menjawabnya dengan cepat. Allah Swt memberi pengetahuan tentang diri-Nya dengan baik (Prolegomena to the Metaphysics of Islam,… hal. 179-178).

Kewujudan ini disebut terbaik, karena manusia dibuat oleh Allah Swt untuk bersaksi (asyhada) dengan penuh kesadaran dirinya. Di kondisi ini, manusia mengenal Allah Swt dengan baik, menyaksikan dengan langsung (syuhud) realitas tertinggi dan kebenaran (the Reality and Truth).

Maka, sesungguhnya beragama adalah dalam rangka membimbing manusia untuk menjadi dan kembali kepada kewujudan terbaiknya. Ketika lahir manusia dalam kondisi fitrah. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Tabrani).

Ketika persaksian itu manusia berbeda-beda keadaannya. Meskipun begitu, semua ruh manusia bersatu dalam penerimaan ketuhanan Allah Swt. Sehingga sejak awalnya, manusia menerima Allah Swt Tuhannya. Persaksian ini juga menunjukkan bahwa manusia telah menerima tanggungjawab peribadatannya kepada Allah Swt. 

Berdasarkan ini maka, ketika manusia beranjak dewasa tetapi kemudian menentang Allah Swt, maka diistilahkan dengan ghafil (lupa). Maknanya, manusia sesungguhnya dalam lubuk hati mengetahui fitrahnya menyembah Allah Swt, hanya karena menturuti hawa nafsu, manusia lupa terhadap penjanjian asali di zaman “alastu”.

Fitrah merupakan kedudukan ruhani manusia yang menjadi asal datangnya manusia ke dunia dan menjadi tempat pengembalian mereka. 

Kesaksian manusia di alam alastu sesungguhnya ikrar yang sebenarnya dari manusia yang menjadi rujukan segala bentuk persaksian (syahadah) yang lain di dunia. Keseluruhan kehidupan beragama manusia di dunia harus ditujukan kepada pengembalian diri manusia secara ruhnya kepada keadaan fitrahnya.  

Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan, kecenderungan manusia untuk berkhidmah kepada Allah Swt itu disebut fitrah. Setiap orang yang berprilaku sesuai dengan pola fitrah ini berarti mengikuti naluri dirinya atau mengikuti tuntutan dirinya yang sesungguhnya. Hamid mengatakan: “Naluri sebenarnya adalah berserah diri pada Tuhan atau menjalankan agama (din). Karena beragama itu adalah kecenderungan atau naluri maka beragama bukan paksaan dan tidak boleh dipaksakan. Dengan demikian pula taat dan berserah diri kepada Tuhan itu disebut aslama suatu sikap yang terbaik dalam memeluk din. (Hamid Fahmy Zarkasyi,Konsep Din al-Islam dalam Jurnal Islamia).

Penghambaan manusia kepada Allah Swt merupakan salah satu makna beragama yang dikaitkan dengan konsep mitsaq. Suatu perjanjian manusia untuk kembali kepada keadaan asalnya. Jadi, semakin dia kuat memegang janji itu, maknanya ia semakin dekat secara spiritual dengan Allah Swt. Kedekatan dengan Allah Swt ini dalam rangka kembali kepada keadaan terbaik manusia. Artinya, keadaan manusia di zaman alastu menjadi acuan manusia dalam beragama yang sesungguhnya. (Mohd Farid Mohd Shahran, Mithaq Sebagai Landasan Agama dan Akhlak, 126).

Manusia yang beragama dengan baik dan betul, bisa kembali lagi kepada kondisi spiritual itu (pra-eksistensi sebelum jiwa manusia menjadi makhluk berjasad). Manusia yang mampu kembali ke alam spiritual pra-eksistensi itu merupakan manusia yang telah mencapai kedudukan tinggi dalam spiritualnya, setelah melewati berbagai rintangan, riyadhah (olah jiwa) dan mujahadah (memerangi hawa nafsu). Keberhasilan mencapai kedudukan agung itu tergantung dari perkembangan intelektualnya, keadaan beragamanya, dan kemurahan Allah Swt (anugerah-Nya).

Pendekatan memahami agama dengan konsep ini bisa melahirkan suatu pandangan bahwa beragama bukan sekedar amalan ritualitas belaka. Justru ritualitas yang kosong dari ilmu pengetahuan yang benar, tidak akan membawa manusia pada tingkat tinggi. Beragama dalam pandangan ini berarti mencakup ritual, rasional dan spiritual. Ketiga unsur ini pun saling berkait. Definisi Prof. Al-Attas tentang tasawuf yaitu pengalaman syariah pada tingkat ihsan memberi kesan bahwa untuk mencapai spiritualtisa tinggi tingkat ihsan harus dengan mengamalkan syariah (yang di antaranya adalah ritual).

Jadi, beragama Islam menuntun manusia itu kembali kepada asal-muasalnya. Itulah fitrah manusia. Secara fisik tidak kembali, tetapi secara spiritual jiwanya bisa bersih seperti saat di zaman “alastu”. 

Riyadhoh (olah jiwa) para auliya’ itu tidak lain bertujuan mengembalikan jiwa kepada kondisi spiritual seperti zaman “alastu”. “Ma’rifah” kepada Tuhan berada pada tingkat sempurna. Karena pengamalan syariah juga telah sempurna. Jiwa para auliya itu jiwa-jiwa yang berpulang kepada fitrah kemanusiannya. 

Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf lahir dan batin. Semoga jiwa-jiwa kita suci.

Bangil, 29 Ramadhan 1443

*Direktur Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (INPAS) Surabaya; Dosen IAI Dalwa

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama