Sophisme dalam Pandangan Islam
Oleh : Abduh Rijal*
Barat memandang bahwa manusia adalah ukuran segalanya. Doktrin ini kemudian ditafsirkan bahwa setiap manusia adalah ukuran segala sesuatu, dan jika manusia saling berbeda pandangan maka tak ada kebenaran objektif sesuai dengan mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya muncullah keraguan dalam hakikat sebuah kebenaran.
Kebenaran dianggap bukan milik individu atau kelompok tertentu karena setiap orang berhak mengklaim kebenarannya sendiri – sendiri termasuk dalam ranah keagamaan. Dari kebingungan yang terjadi, akhirnya masyarakat Barat berkesimpulan bahwa mustahil bagi seorang manusia untuk sampai kepada kebenaran, atau lebih ekstrim lagi yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak ada. Golongan yang tidak percaya dengan kebenaran ini kemudian terkenal dengan sebutan kelompok Sophis.
Secara sistematis pemikiran Sophist dapat dikatagorikan sebagai berikut;
a. Kelompok al-Lā adriyyah (Agnostik)
Kelompok Sophist jenis ini selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan. Orang yang seperti ini, pada gilirannya juga akan meragukan sikapnya yang serba meragukan keberadaan segala sesuatu. Istilah yang demikian kemudian dikenal dalam Islam sebagai al- la adriyyah, disebut demikian karena mereka selalu bilang tidak tahu.
b. Kelompok al-‘Indiyyah (Relativis)
Mereka yang selalu bersikap subyektif. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok ini menerima kemungkinan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Tetapi menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (‘indī, yaitu “Menurut Saya”), bergantung pada pendapat masing-masing.
Kelompok ini kini sering disebut dengan kaum Relativis. Ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif dan tidak ada kebenaran yang hakiki. Semua orang boleh mengklaim kebenarannya sendiri – sendiri.
c. Kelompok al-‘Inādiyyah (Skeptis)
Kelompok Sophist ini adalah mereka yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan semata-mata. Paham ini dalam peradaban Barat disebut dengan paham Skeptisisme, paham yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai kebenaran, dan tidak dapat mengetahui realitas.
Salah satu ulama yang mencoba menjawab tantangan sophisme adalah Abu Hafs bin Muhammad bin Muhammad Nasafi atau yang dikenal dengan nama Abu Hafs 'Umar Najm al-Diin al-Nasafi (w 537) dalam karyanya Aqaid al Nasafi.
Kitab Aqaid al Nasafi ini merupakan naskah tertua yang ditemukan di kepulauan Melayu, Prof Naquib al Attas dalam buku beliau yang berjudul The Oldest Known Malay Manuscript beliau menjelaskan,
“Unlike some other statements of the creed in Islam, the Aqaid begins with philosophical statements on the real essences of things; on the possibility of knowledge; on the objectivity of knowledge; on the causes of knowledge; on the atomistic metaphysics of substance and accident and the continuous creation in explanation of the theory of the universe; on the nature of God and on man's self. Beginning the creed on definite statements about knowledge is most significant, for Islam is a religion based upon knowledge, and a denial of the possibility and objectivity of knowledge would involve the destruction of the fundamental basis upon which not only the religion, but all the sciences are rooted”.
Keistimewaan kitab Aqaid an Nasafi yang juga merupakan manuskrip tertua yang telah ditulis dalam bahasa Melayu, adalah kitab tersebut dimulai dengan pernyataan filosofis tentang esensi nyata dari segala sesuatu; tentang kemungkinan pengetahuan; pada objektivitas pengetahuan; tentang penyebab pengetahuan; tentang metafisika atomistik dari substansi dan kebetulan dan penciptaan terus menerus dalam penjelasan teori alam semesta; pada sifat Tuhan dan pada diri manusia.
Kitab Aqaid secara khusus dikarang untuk menjawab keraguan muslim terhadap ilmu. Karena dalam Islam perintah mencari ilmu adalah wajib dan merupakan bentuk peribadatan yang tinggi nilainya. Hanya saja karena pengaruh kaum sophis, banyak muslim kemudian meragukan tentang keabsahan ilmu pengetahuan dan otoritas para ulama.
Kitab Aqaid dimulai dengan pernyataan tentang kemungkinan sampainya manusia kepada pengetahuan karena segala sesuatu itu sifatnya tetap, yang mana hal ini berbeda dengan pandangan kaum sofisme.
Menurut Prof al-Attas, kitab ini berisi substansi dari ajaran-ajaran Islam menyangkut aqidah, terkhusus masalah epistemologi Islam yang menggambarkan posisi ahli kalam dalam penerimaan/ pembenaran (tasdiq) atas kemungkinan akan thabitnya (ketetapan) ilmu dan realitas akan sesuatu, penetapan atas indera persepsi dan pengamatan (observasi), otoritas 'aql sebagai sumber dan metode pengetahuan.
Kitab ini juga mewakili penolakan terhadap intuisi sebagai sumber pengetahuan yang dapat diandalkan bagi manusia secara umum (bagi tingkatan awam), pemahaman akidah yang membedakan antara Tuhan dan alam semesta serta segala ciptaan (mukhalafah) dan soal asal-muasal alam yang bersifat baharu, metafisika atom dan aksiden (‘aradh), yang kesemuanya berada dalam posisi menentang pendapat kaum sofis (sufasta‘iyah) yang pada saat itu ajaran kaum sofis dipegang oleh sebagian masyarakat dan dapat dikesan dalam kepercayaan sebagian kaum pseudo-sufi (sufi palsu) yang menyimpang dari pemahaman sufi ahlussunnah wal jama’ah. Kepercayaan pseudo sufi ini identik dengan pantheisme dan monisme (misalnya menganggap Tuhan dan alam semesta sebagai suatu kesatuan.
Muslim yang mengikuti arus sophisme akhirnya menyuarakan tentang liberalisasi pemikiran. Kemudian mulai banyak bermunculan cendekiawan yang kemudian bertujuan membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, bukan hanya pada ranah yang mutasyabihat namun juga pada ranah yang muhkamat.
Banyak pandangan para ulama yang dikritik. Mereka biasa mengutamakan semangat pembaharuan, mencoba menafsirkan ulang teks yang ada, mempercayai kebenaran yang relatif terbuka dan plural, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi dan sebagainya.
*Peserta Program Takhassus Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan