Di Balik Fenomena Arab-Phobia dan Islamphobia Lokal
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Rasisme Warisan Kolonialisme |
Beberapa pekan ini jagad media sosial Twitter kembali digegerkan oleh ujaran-ujaran kebencian bernada rasialis bahkan cenderung mengarah ke fasisme. Seperti yang sudah akrab di telinga, kadrun-isasi yang biasa dilontarkan oleh para pendengung bayaran (BuzzeRP) dan para kelompok pendaku paling Pancasilais belakangan kian marak disematkan kepada kelompok maupun individu di dunia maya yang mereka nilai berseberangan pemikiran.
Pada 21 April 2022 seorang politisi muda yang selama ini dikenal militan berada di barisan partai pembela penguasa dan awalnya memiliki ‘kartu anggota’ Kelompok paling Pancasilais mendadak dicap sebagai kadrun, sebuah stigma yang selama ini menjadi musuh nomor wahid dari barisan si politisi tersebut.
Bukan tanpa sebab dia mengalami hal itu, pasalnya dia telah dianggap ‘murtad’ dari barisan kaum toleran oleh beberapa orang yang selama ini sepemikiran dengannya setelah dia memutuskan keluar dari partainya dan tertangkap kamera saat acara perkawinannya sedang bersalaman dengan sosok Gubernur yang selama ini jadi fokus utama hujatan partainya. Akhirnya cap kadrun dan antek Yaman pun diberikan kepadanya.
Adalah sebuah akun bernama @xerias_marhaenisi yang menjadi pemicu kegaduhan tersebut. Akun itu menulis kicauan, “Diakan genitikanya ada bau gurun pasir jadi tidak betah dengan hal hal yang berbau nasionalis jadi dia kembali ke habitat aslinya ia itu kadrun. Jika saya yang memegang otoritas tertinggi di Indonesia saya akan mengeluarkan dekrit untuk memerintah angkatan bersenjata kita untuk mengirim seluruh para keturunan imigran arab yaman tanpa reserve yang ada di Indonesia untuk dikirim ke camp solusi final akhir dan saya pastikan akan jauh exstrim apa yang pernah dilakukan Nazi germany terhadap orang yahudi”
Menanggapi hal ini, si politisi perempuan itu ‘mencolek’ akun resmi Divisi Humas Polri untuk melaporkannya sembari berkata , “Ini keterlaluan, bukan nasionalisme, jelas fasisme...”
Belum reda kegaduhan itu, pekan ini publik kembali digegerkan oleh pernyataan yang tidak kalah sadis yang lagi-lagi bertitik tembak sama yakni, Islam atau hal yang berbau Arab. Kali ini pelakunya adalah seorang Rektor sebuah perguruan tinggi milik pemerintah yang beralamat di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam tulisannya itu, yang diunggah pada 26 April 2022, dengan nama akun Facebook Budi Santoso Purwokartiko, ia mengatakan, “Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8 dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145 bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita2nya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata2nya juga jauh dari kata2 langit:insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14,, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita tanpa karya teknologi. Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang membuat hal yang mudah jadi sulit bekerja dari satu rapat ke rapat berikutnya tanpa keputusan-mementingkan kulit daripada isi -menyembah Tuhan tapi lupa pada manusia-menerima gaji dari negara tapi merusak negaranya -ingin cepat masuk surga tapi sakit tetap cari dokter dan minum obat -menggunakan KPI langit sementara urusannya masih hidup di dunia. Semoga tidak tercemar.”
Dalam tulisannya itu nampak bahwa dirinya sedang menguji mahasiswa yang ikut beasiswa LPDP. Dalam seleksinya, ia mengagumi kepintaran para peserta dari nilai IPK, cita-cita, hingga penguasaan Bahasa Inggris. Di tengah memberikan pujian dengan sikap nasionalisme mereka, Rektor ini juga menyindir mahasiswi lainnya yang memakai tutup kepala ala manusia gurun yang mempunyai sikap sebaliknya. Mereka ini digambarkan mahasiswa yang membicarakan soal kehidupan setelah kematian dan juga seolah-olah mereka tidak nasionalisme serta tidak memberikan kontribusi kepada masyarakat dan negara.
Pernyataan bernada Islamphobia dan Xenophobia yang jadi trending topik di Twitter (10 ribu lebih percakapan per 30/04/22, pukul 20.38 WIB) itu sontak mendapat kecaman masyarakat. Ismail Fahmi, Pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, menulis dalam kicauannya, “Tulisan Prof Budi Santosa Purwokartiko ini bisa masuk kategori "rasis" dan "xenophobic". Rasis: pembedaan berdasarkan ras (manusia gurun, Arab). Xenophobic: benci pada orang asing (manusia gurun). Saya kira beliau contoh korban "firehose of kadrunisasi". Jangan dicontoh ya.”
Dia mengecam tulisan Rektor rasis itu dengan alasan karena yang bersangkutan adalah reviewer Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang merupakan satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang mengelola dana pendidikan, yang diambil dari pajak rakyat. Ismail Fahmi ingin reviewer tidak rasis berdasarkan baju dan kata-kata kepada siapapun. (Kicauan Twitter @ismailfahmi, 29 April 2022).
Bahkan untuk membantah pendapat biadab Rektor rasis yang menyatakan bahwa orang yang berjilbab sebagai manusia gurun yang pikirannya tertutup, Ismail Fahmi men-tweet profil dari Fatima binti Muhammad al-Fihriya al-Qurashiya, Muslimah taat pendiri masjid Al-Qarawiyyin tahun 859 M yang kemudian berkembang menjadi Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang merupakan universitas pertama di dunia. (https://nationalgeographic.grid.id/amp/132908969/fatima-al-fihri-perempuan-muslim-pendiri-universitas-pertama-di-dunia?page=2)
Dua kasus rasialis dari pihak yang selama ini gemar meng-kadrun-kan pihak lain itu memiliki sebuah arah yang jelas yakni permusuhan kepada sesuatu yang berbau Islam dan Arab. Rasialisme, Islamphobia, Xenophobia bahkan Fasisme adalah label yang tidak berlebihan untuk disematkan kepada kelompok yang ironisnya selama ini mentahbiskan dirinya secara sepihak sebagai barisan paling Nasionalis tersebut.
Dr. Mansour Fakih pada kata pengantar buku, People and Politics Fascism, menyatakan bahwa Fasisme sebagai gerakan politik berkembang dalam kehidupan politik di Eropa antara tahun 1919 sampai 1944. Yang menarik, yang menjadi ciri penting dari hampir semua gerakan fasisme adalah mereka meletakkan negara sebagai pengatur dan pusat seluruh sejarah dan kehidupan, serta pada otoritas imamah yang tak terbagi dari para imam dan pemimpin di mana rakyat sangat tergantung harapan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, terbebas dari disintegrasi. Jadi sebenarnya ada alasan yang sangat kuat dan absah ideologi fasisme sangat mungkin juga menghinggapi pikiran masyarakat manapun jika dihadapkan pada situasi yang diyakini sebagai mengancam kehancuran bangsa. Dengan kata lain Fasisme juga sangat mungkin akan timbul di Indonesia. Apalagi saat ini, dimana Indonesia tengah menghadapi krisis multi dimensional, krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik yang belum tuntas, dan yang lebih besar lagi krisis negara kesatuan. Jika tidak menemukan solusi yang tepat dan berhasil guna tidak mustahil akan menjadikan negara disintegrasi. Situasi seperti saat inilah merupakan situasi yang sangat memungkinkan tumbuh suburnya paham dan keyakinan fasisme atau paling tidak merestui atau membenarkan fasisme. Untuk itu selain mewaspadai bangkitnya Fasisme, sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk memikirkan dan menemukan suatu solusi yang demokratis, adil, dan damai dalam menghadapi krisis saat ini. (Hugh Purcell, People and Politics Fascism , terjemah, terbitan INSIST Press Yogyakarta tahun 2000, halaman xiii-ix).
Terkadang timbul pertanyaan di benak kita, mengapa yang selalu dijadikan sasaran kebencian oleh barisan rasialis itu adalah Arab bukan yang lain misal etnis cina atau Eropa, jawabannya adalah bisa jadi seperti yang ditulis oleh Arif Wibowo, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Surakarta. Dia menyatakan hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran para cendekiawan misionaris era kolonial, karena pasca Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro kalah, mereka tetap melihat Islam sebagai "the dark force" yang membawa masyarakat Jawa untuk terus melawan Belanda.
Menurut Arif, kesalahan utama pemikiran Kristen era itu, bahkan sampai saat ini ada yang masih bertahan dengan pendapat tersebut, bahwa Islam adalah agama Arab. Ketika perang salib pertama, kata Graham E Fuller dalam buku Dunia Tanpa Islam, gelora perangnya melawan agama Arab, bahkan kata Islam tidak disebutkan. Hal ini ditemukan juga dalam buku Sejarah Agama-Agama karya Prof. Alan Menzies cendekiawan ternama Eropa akhir abad 19, masa yang sama dengan kelahiran Darmogandhul, bahwa Islam adalah agama regional Arab.
Akan tetapi, ketakutan terhadap Arab di akhir abad 19 itu bukan sekedar kesalahan pemahaman saja, tapi juga politis. Sebab setelah dibukanya terusan Suez, rute Arab - Nusantara makin lancar dan dekat. Jumlah jama'ah haji meningkat, demikian juga jumlah santri yang menuntut ilmu di Arab. Dalam catatan Snouck, saat pura-pura masuk Islam dan berhaji, ada 5.000 santri asal Nusantara yang menjadi mahasiswa di sana. Dan itu berarti 50 %, dari total santri asing yang ada. Semangat pan Islamisme bergema keras di negara-negara terjajah.
Itu sebabnya, kemudian Snouck mengintensifkan politik etis, di bidang educatie. Sebab pendidikan modernlah yang akan melepaskan nusantara dari belenggu takhayul Islam. Dalam telusuran Ricklefs, spiritualitas anti Islam itu mulai ditanamkan di sekolah untuk para priyayi yang didirikan di Sidoarjo tahun 1870. Di sekolah inilah kemegahan Majapahit diideologikan dan pandangan Islam sebagai biang kemunduran dan kebodohan ditanamkan.
Dari sini pula, Babad Kadiri, Darmogandhul dan Gatholoco akhirnya dituliskan. Karya-karya sastra anonim yang membawa pesan bahwa kejayaan nusantara ada di era Majapahit, masuk Islamnya bangsa Jawa adalah sebuah kesalahan sejarah. Oleh karena itu bila bangsa Jawa ingin maju, maka harus kembali kepada spirit leluhur mereka, yakni orang-orang Majapahit yang diikuti belajar pengetahuan kepada orang-orang Belanda. Dan agama Kristenlah yang akan mengantar bangsa Jawa pada sikap demikian.
“Jadi, bila kemudian sobat rahayu konsisten berbicara tentang jeleknya Arab dan tidak berani ngrasani ras Cina ataupun Eropa, ya berarti mereka masih konsisten memegang khittah Kompeni, sebagai tuan mereka di masa lalu”, demikian kesimpulan aktivis dakwah asal Solo tersebut.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa dendam warisan para musuh Islam yang dilanjutkan oleh para kolonialis lewat para cendekiawan mereka, adalah akar utama kebencian kaum rasialis itu terhadap Islam dan Arab. Pemikiran mereka adalah sealur seirama dengan pikiran para kolonialis terdahulu dalam memandang Islam dan Arab.
Padahal Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam pernah berkata kepada Salman Al Farisi (orang Non Arab: Persia): “Hai Salman janganlah kamu membenciku yang menjadikanmu memisahi agamamu.” Salman berkata: “Bagaimana mungkin aku membencimu sedangkan melalui dirimulah saya mendapatkan hidayah?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Kamu membenci Arab dan kamu membenciku.” (Hadits riwayat Tirmidzi).
Dan juga hadis, "Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal : karena aku orang Arab, Alquran berbahasa Arab dan pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab”. (HR. At Tabrani, al Hakim, al Baehaqi).
Dua hadis tersebut menjelaskan betapa mencintai dan membenci Arab dilekatkan langsung kepada kepribadian Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Maka menghargai dan menghormati Arab secara proporsional adalah harga mati karena Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam sendiri yang menyuruhnya.
Bahkan dalam bingkai kenegaraan, sebagai bangsa yang tidak amnesia sejarah dan tahu cara membalas budi kepada orang lain, maka tak sepatutnya kita membenci pihak yang telah sangat berjasa kepada kita. Siapa itu, tentu umat Islam dan Arab. Karena Islam dan Arab tidak pernah menjajah bangsa ini.
Bahkan Islam dan Arab adalah pelopor perlawanan terhadap kolonialis kafir yang menjajah pribumi tempo dulu. Dan juga harap diingat bahwa bangsa-bangsa Arab lah yang pertama kali mengakui kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Mesir dan Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan negeri ini. Sebagai bangsa yang tahu berterima kasih pastinya kita akan selalu mengenang jasa mereka. Ingatlah kepada ancaman Nabi yang mengatakan "Tidak dikatakan bersyukur pada Allah, siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia."(HR. Tirmidzi dan Abu Daud; shahih).
Maka jika hari ini masih ada yang nyinyir kepada Islam dan Arab dapat dipastikan bahwa orang tersebut buta sejarah atau ada yang tidak beres dengan akal sehatnya. Dan lagi semakin benarlah firman Allah SWT yang berbunyi,
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ ۗ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاٰيٰتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
“...Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.” (QS. Ali Imran : 118).
Wallahu A’lam Bis Showab
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :