Keserakahan Yang Merajalela
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Pesta Mafia |
Apa yang terlintas dalam benak saat mendengar kata “Mafia”? Mungkin kebanyakan yang tergambar adalah Mafioso berjas hitam necis dari Italia dalam gambaran novel The God Father, atau Yakuza mafia dari Jepang, juga mungkin mafia Triad yang sering tampil di film Mandarin China, semua gambaran itu wajar belaka sebab memang demikianlah yang sudah tertanam dalam benak bawah sadar kita selama ini. |
Namun jika ada yang bertanya apakah di Indonesia juga ada mafia? Jawabannya adalah konon katanya ada. Sebab yang ngomong ada mafia bukan orang sembarangan, yakni Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Bahkan bukan hanya ngomong ada mafia, yang bersangkutan juga bilang akan memberantas para mafia itu. (Mafia Migor)
Mafia apakah yang dimaksud? Apakah sama seperti di film-film dimana mafia selalu berbuat keonaran dan teror di tengah masyarakat dengan kekerasan mereka? Mafia di Indonesia ternyata berbeda, karena pekerjaan mereka adalah menimbun minyak goreng sehingga stoknya menjadi langka di pasaran dan setelah subsidi harga dicabut oleh pemerintah, para mafia itu berbondong-bondong menjual produk mereka dengan harga selangit.
Kabarnya klaim adanya mafia minyak goreng itu dibantah oleh wakil ketua DPR RI dengan alasan yang ada hanyalah para pengusaha nakal. (Tak Ada Mafia).
Terlepas dari ada tidaknya mafia pada kasus langkanya minyak goreng tersebut, yang jelas masyarakat sudah merasakan sendiri kelakuan jahat para penimbun minyak goreng yang sampai detik ini tidak ada aktor intelektualnya yang berhasil diciduk. Padahal fenomena antrean masyarakat demi dua liter minyak goreng di sebuah negara penghasil sawit adalah sebuah paradoks yang harusnya tidak boleh terjadi. Apalagi sampai ada yang meninggal dunia dalam antrean tersebut. Ini bagaikan peribahasa tikus mati di lumbung padi.
Kasus penimbunan minyak goreng yang dilakukan oleh para konglomerat yang selalu bertengger dalam daftar orang terkaya di Indonesia itu menunjukkan betapa benarnya sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dalam perkara keserakahan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048).
Para taipan itu sebenarnya tidak akan jatuh miskin jika tidak menimbun dan menaikkan harga minyak goreng, karena laba masih bisa mereka panen. Namun keserakahan untuk mengeruk cuan yang lebih besar lah yang telah membutakan nurani mereka sehingga melakukan tindakan amoral tersebut.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.”
Seandainya semua anak bangsa bisa menahan diri untuk tidak serakah tentu negeri kaya bernama Indonesia ini tidak akan terpuruk seperti hari ini. Tidak akan ada rakyat hidup di kolong jembatan, bantaran kali, tanah sengketa dll serta tidak usah rakyatnya keluar dari negaranya untuk menjadi asisten rumah tangga di negeri jiran.
Namun gambaran ideal rakyat sejahtera di negara sekaya Indonesia belum terjadi sebab kekayaan bumi pertiwi nyatanya hingga kini masih dikuasai oleh segelintir orang. Tidak ada pemerataan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang dijalankan.
Dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya dinikmati oleh sebagian orang-orang tajir di negeri ini.
Kondisi ini juga menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi sehingga bisa menjadi masalah yang serius di kemudian hari. Di kawasan Asia, ketimpangan kekayaan Indonesia berada di urutan ketiga setelah Thailand dan India.
Di negeri Gajah Putih, 1% orang terkaya menguasai hampir 70% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara di India, 1% orang terkaya menguasai separuh total kekayaan penduduk dewasa. Sedangkan 1% orang terkaya di Jepang hanya menguasai 18% total kekayaan penduduk dewasa. Ini mengindikasikan meratanya kekayaan penduduk di Negeri Matahari Terbit. (1 orang terkaya Indonesia menguasai 46 persen kekayaan penduduk)
Data tersebut adalah berdasarkan laporan pada tahun 2018 alias empat tahun yang lalu. Sedangkan jumlah populasi orang terkaya atau Ultra High Net Worth Individuals (UHNWIs) Indonesia tercatat naik satu persen selama pandemi Tahun 2021. Sebelumnya pada tahun 2020, UHNWIs Indonesia sebanyak 1.390 orang. Tahun 2021 menjadi sejumlah 1.403 orang. Kategori UHNWIs adalah mereka yang memiliki kekayaan lebih dari 30 juta dollar AS atau ekuivalen dengan Rp 432 miliar. (Kekayaan Konglomerat Naik Saat Pandemi).
Dan seperti diketahui bahwa setiap tahun orang-orang yang berada di daftar terkaya di Republik ini adalah orang itu-itu saja. Artinya kesenjangan antara si kaya dengan si miskin tentu kian menganga setiap waktunya. Dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kiat Agar Tidak Menjadi Serakah
Lucius Annaeus Seneca pernah berkata, "Maka manusia yang menahan dirinya untuk hidup dalam batas yang ditetapkan Alam, tidak akan merasakan miskin. Sebaliknya, manusia yang melewati batas-batas ini akan terus menerus dikejar kemiskinan, tak peduli betapa kayanya dia,"(On Shortness of Life).
Filsuf Stoik yang juga negarawan dan penulis drama Romawi pada Zaman Perak sastra Latin tersebut percaya bahwa kebutuhan hidup manusia menurut yang ditetapkan alam tidaklah besar, tetapi ketidakpuasan manusialah yang ingin mengejar hal-hal yang lebih banyak lagi. Sesungguhnya, segala harta benda ini tidak penting dan tidak berpengaruh bagi kebahagiaan kita. Ironisnya, mereka yang kaya raya, tetapi tidak pernah puas mengejar lebih banyak lagi harta benda, justru dikatakan terus-menerus dikejar kemiskinan.
Dalam bukunya yang lain, Letters from a Stoic, Seneca berkata, "Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apa pun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima."
Di dalam Islam, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam telah mengajari umatnya mengenai makna kekayaan hakiki. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ: «ﻟَﻴْﺲَ اﻟﻐﻨﻰ ﻋَﻦْ ﻛَﺜْﺮَﺓِ اﻟﻌَﺮَﺽِ، ﻭَﻟَﻜِﻦَّ اﻟﻐِﻨَﻰ ﻏِﻨَﻰ اﻟﻨَّﻔْﺲِ»
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hakikat kaya bukan dari banyaknya harta. Namun kekayaan hati.” (HR Bukhari).
Lantas bagaimanakah cara agar bisa mendapatkan kekayaan yang hakiki itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam memberi jawaban yakni,
ﻭاﺭﺽ ﺑِﻤَﺎ ﻗَﺴَﻢَ اﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻚَ ﺗَﻜُﻦْ ﺃَﻏْﻨَﻰ اﻟﻨَّﺎﺱِ
"Ridhalah dengan pemberian Allah, maka kamu adalah hamba yang paling kaya." (HR Tirmidzi).
Kemudian lihatlah kepada orang lain yang nasibnya berada di bawah kita seperti yang diperintahkan oleh Nabi dalam sabdanya,
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ، ﻗَﺎﻝَ: ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: «اﻧْﻈُﺮُﻭا ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ، ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﻈُﺮُﻭا ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﻓَﻮْﻗَﻜُﻢْ، ﻓَﻬُﻮَ ﺃﺟﺪﺭ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺗَﺰْﺩَﺭُﻭا ﻧِﻌْﻤَﺔَ اﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ»
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: "Lihatlah orang yang ada di bawah kalian. Dan janganlah melihat kepada orang yang di atas kalian. Hal itu lebih pantas untuk tidak meremehkan nikmat dari Allah kepada kalian." (HR Muslim)
Dari wejangan Filsuf Seneca dan juga titah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa kekayaan itu letaknya pada rasa neriman (Qona’ah) dan bersyukur pada apa yang kita miliki. Bukan melulu pada banyaknya harta benda.
Islam tidak melarang seseorang menjadi kaya. Yang dilarang oleh Islam adalah manakala seseorang menjadi kaya dengan jalan memiskinkan orang lain. Atau menjadi konglomerat dengan membuat pihak yang lain menjadi melarat.
Islam tidak mengenal istilah latin yang masyhur berbunyi, “Homo homini lupus est,” yang berarti “Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya” seperti yang kini dijalankan oleh kaum Kapitalis.
Islam mengajarkan umatnya agar menjaga keadilan sosial diantara mereka seperti dalam konsep zakat yang dikenal dengan adanya relasi antara Muzakki dan Mustahik. Yang mana hal itu pula yang diamanatkan oleh para Founding Fathers negeri ini dalam sila ke lima Pancasila. Dan yang pasti Islam sangat mengutuk segala bentuk keserakahan duniawi. Hal ini dibuktikan dengan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam yang berbunyi,
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ
حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.” (HR. Tirmidzi)
Dan segala bentuk keserakahan yang kini dipertontonkan oleh para penyembah dunia tidaklah lain merupakan gambaran kian dekatnya hari kiamat seperti yang digambarkan di dalam hadis,
: اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
Hari Kiamat semakin dekat, dan tidak bertambah (kemauan) manusia kepada dunia melainkan semakin rakus, dan tidak bertambah (kedekatan) mereka kepada Allâh melainkan semakin jauh. (HR. Al Hakim). Wallahu A’lam Bis Showab
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/2022/03/29/227476/keserakahan-yang-merajalela.html