MEMIMPIN DIRI
Oleh: Dr. (Cand.) Kholili Hasib, M.Ud*
Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata, “Berilah aku nasihat. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Janganlah engkau marah.” Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, maka beliau selalu menjawab: “Janganlah engkau marah.”(HR. Abu Hurairah).
Nasihat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam tersebut adalah pesan agar Sahabat tersebut bisa memimpin jiwanya sendiri. Bagaimana seseorang itu memimpin jiwanya sendiri? Tandanya telah dijelaskan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam, yaitu, “mampu mengendalikan nafsunya ketika marah“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Uraiannya dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Dalam diri manusia ada potensi kehewanan, potensi setan, dan potensi Malaikat. Orang yang berbuat jahat, atau berperilaku bejat berarti jiwanya dipimpin oleh sifat setan dan sifat kehewanan. Ketika potensi Malaikat berhasil memimpin jiwanya, maka orang itu menjadi baik, sholeh, berakhlak dan beriman kepada Allah Swt (Imam al-Ghazali, Kimiya’ As-Sa’adah).
Dalam istilah lain, Imam Ghazali menyebut diri manusia ada dua jenis; jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa rasional (an-nafs an-natiqah). Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan, orang baik itu apabila jiwa rasionalnya memimpin jiwa hewaninya. Jiwa hewani di bawah kontrol dan kendali jiwa rasional.
Manusia yang paling baik kontrol dan kendalinya terhadap jiwa hewani adalah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Oleh sebab itu, Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam menjadi model manusia terbaik. Disebut al-insan al-kamil.
Jiwa rasional itu adalah ruh manusia yang harus diasah agar bisa menjadi raja dalam dirinya. Jiwa hewani, tentu saja tidak bisa dibunuh, tetapi harus ditundukkan. Seperti rakyat yang tunduk kepada rajanya. Jiwa rasional adalah semestinya yang menjadi raja dan perlu menggunakan kekuasaannya untuk mengatur dan memerintah jiwa hewani agar patuh dan berserah diri kepada jiwa rasional. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 56).
Jadi, manusia ini ibarat kerajaan. Rajanya adalah hati. Hati bisa baik, tapi bisa juga jahat. Bahkan hati sangat cepat berbolak-balik. “Hati dinamakan qalb karena sifatnya yang cepat berubah” (HR. Ahmad).
Raja itu bisa diperebutkan antara jiwa rasional dan jiwa hewani. Perebutan ini merupakan “peperangan” diri. Maka, jihad nafsu, yang kata Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam adalah perang paling besar, adalah peperangan antara jiwa rasional dengan jiwa hewani.
Oleh sebab itu, agar jiwa rasional manusia memenangkan dalam jihadnya, maka harus memiliki pengetahuan atau ilmu. Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa jiwa yang tidak tersentuh ilmu selema tiga hari, maka jiwa itu akan mati. Jiwa yang mati maksudnya, jiwa rasionalnya tidak memiliki “amunisi” untuk berjihad melawan jiwa hewani. Bila berterusan, maka jiwa rasionalnya bisa benar-benar mati. Sehingga yang menjadi raja adalah jiwa hewani.
Maka, agar jiwa rasional itu bisa memimpin diri manusia, langkah pertama adalah memperbanyak “amunisi”. Memberi ‘makan’ dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat (ilm nafi’). Langkah kedua, imam al-Ghazali memberi petunjuk bahwa sifat baha’im dan sifat setan itu kesukaannya adalah banyak memakan dan minum-minuman yang lezat, seks dan marah kepada manusia. Oleh sebab itu, cara menaklukkan jiwa hewani adalah dengan mengurangi kesukaan sifat baha'im tersebut, atau dikendalikan sesuai kebutuhan yang tidak berlebihan (Imam al-Ghazali, Kimiya’ as-Sa’adah).
Jiwa harus dilatih dengan cara mengendalikan keinginan-keinginan sifat hewani secara berlebihan itu. Latihan itu bernama riyadhoh. Misalnya, tidak makan dan minum kecuali dari sumber yang halal. “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya” (HR. Tabrani). Daging dan tulang yang tumbuh dari makanan haram akan mendorong jiwa hewani berkuasa menyerang jiwa rasionalnya.
Di tempat lain Imam al-Ghazali menjelaskan dalam diri manusia terdapat potensi fikrah, syahwah dan ghadab (marah). Ketiga potensi ini harus dikendalikan oleh jiwa rasional. Sebab jiwa ketiga potensi ini liar, jika tidak dipimpin dengan baik, maka manusia bisa menjadi jahat. Tetapi, jika jiwa fikrah dapat dikendalikan maka sifat yang dominan yang muncul adalah hikmah, bijak dalam berperilaku. Jika potensi syahwah dapat dikenalikan maka sifat yang dominan adalah iffah. Sedangkan jika potensi ghadab dikenalikan maka yang dominan muncul adalah sifat adil (Imam al-Ghazali, Mizanul ‘Amal).
Jadi, memimpin diri itu merupakan kemampuan untuk mengenali jiwa sendiri. Jika manusia diberi kemampuan ini, maka manusia akan “mengangkat” jiwa rasionalnya sebagai raja bagi dirinya.
Sehingga, sebelum seseorang itu menjadi pemimpin bagi masyarakat atau orang banyak, maka dia harus terlatih memimpin dirinya. Jika saja diri tidak mampu dipimpin, maka dia tidak akan berhasil memimpin diri-diri yang lain. Bagaimana memimpin orang lain, sedangkan memimpin dirinya tidak mampu.
Banyak pemimpin itu salah tindakannya, keliru keputusannya, tidak tepat bicaranya karena kemungkinan ada problem dalam “kerajaan dirinya”. Sifat-sifat hewani menjadi raja bagi kerajaan dirinya. Maka, tindakan, keputusan dan cara bicaranya tidak benar-benar manusiawi, tapi ‘hewani’.
Itulah pentingnya manajemen jihad nafsu. Menyiapkan pemimpin sejak dini berarti menyiapkan manusia itu ‘perang’ dengan nafsu hewaninya. Latihan secara terus-menerus. Siapkan ‘amunisi’ sebanyak-banyaknya. Jangan sampai kalah ‘perang’ sebelum jadi pemimpin.
*Dosen INI Dalwa Bangil ; Direktur Institut Peradaban Islam Surabaya (Inpas Surabaya)