Berdikari Bersama Allah

 Berdikari Bersama Allah

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*


ولقي سالم بن عبد الله بن عمر هشام بن عبد الملك وهـو أمير، في جوف الكعبة،

 فقال هشام : اطلب مني حاجة

فقال: أستحي أن أطلب غيره وأنا في بيته

فلما خرجا من البيت، قال له : الآن قد خرجت فاسأل.

 فقال : يعني من حوائج الدنيا أو من حوائج الآخرة ؟

 فقال له هشام  : ما أملك سوى الدنيا

فقال له سالم : لم أسأل الدنيا ممن حلقها، فكيف أسألها من غيره؟

Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Abdul Malik seorang Amir (Penguasa) bertemu Salim bin Abdullah bin Umar di dalam Ka’bah. Kemudian Hisyam bin Abdul Malik berkata kepada Salim bin Abdullah, “Mintalah kepadaku kebutuhan (mu).”

Salim bin Abdullah menjawab, “Aku malu untuk meminta kepada selain Nya sedangkan aku sedang berada di dalam rumah Nya.”

Ketika mereka berdua sudah keluar dari dalam Ka’bah, Hisyam bin Abdul Malik berkata kepada Salim bin Abdullah, “Sekarang engkau telah keluar dari dalam Ka’bah maka mintalah hajatmu kepada ku.”

Salim bin Abdullah berkata, “Dari kebutuhan-kebutuhan duniawi atau dari kebutuhan- kebutuhan akhirat?”

Hisyam menjawab, “Tidaklah aku memiliki melainkan hal duniawi.”

Kemudian Salim berkata kepada Hisyam bin Abdul Malik, “Tidaklah (pernah) aku meminta kebutuhan duniawi kepada Dzat yang menciptakan dunia, maka bagaimana (mungkin) aku meminta perkara duniawi tersebut kepada selain Nya?”  (Kitab Al Washoya An Nafi’ah Lil Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, hal. 40).

Kisah teladan tersebut mengajarkan kepada umat di zaman ini tentang bagaimana cara menjaga Muru’ah dan gambaran seorang Mukmin sejati yang berciri khas selalu menggantungkan semua kebutuhan duniawi dan ukhrawinya kepada Allah semata. Tidak mudah silau dengan iming-iming manusia lainnya entah itu orang kaya maupun pejabat negara.

Ini penting diketengahkan terutama di kala sebuah negeri telah memasuki musim kampanye dimana banyak pengemis suara mulai berkeliaran mencari dukungan dari rakyat. 

Para “serigala demokrasi” yang sering kali bermuka dua itu mencari sasaran yang berpotensi menjadi sumber suara saat musim coblosan kelak. Dan cara termudah untuk menaklukkan masyarakat adalah dengan bagi-bagi uang, sembako, kaos, sepeda, alat kebutuhan sekolah dll yang mana semua itu bersifat hajat-hajat duniawi.

Ironisnya, seperti yang sudah-sudah, masih banyak masyarakat negeri ini yang masih mau menggadaikan muru’ah (harga diri) mereka demi hal-hal tersebut padahal sudah nyata setelahnya masyarakat sering dibalas dengan kebijakan-kebijakan jahat saat para pengemis suara itu berkuasa.

Sebuah paradoks besar di negeri yang mayoritas beragama Islam ini bahwasanya umatnya masih bisa “dibeli” muruahnya. Hal ini  bisa menjadi catatan koreksi bagi para juru dakwah  agar tidak mengendurkan ghirah dakwah mereka. 

Sebab dakwah yang harusnya mampu mendidik umat tentang keharusan bergantung kepada Allah semata dan bermuamalah sewajarnya dengan sesama manusia serta berhati-hati terhadap pemberian penguasa yang semua itu dibarengi dengan selalu menjaga muru’ah ternyata masih belum dijalankan sepenuhnya oleh umat.

Di dalam kitabnya Al Adabu Fi Dien, Hujjatul Islam Imam Al Ghazali menjelaskan ada beberapa adab bagi rakyat terhadap penguasa yakni, “Hendaknya seminimal mungkin mendatangi pintu penguasa, tidak mencari bantuan penguasa kecuali pada hajat hidup yang mengharuskan mendatangi fasilitas pelayanan dari penguasa, senantiasa menjaga kewibawaan terhadap penguasa jika si penguasa memiliki sifat murah hati, lembut jika penguasa lembut, meminimalisir meminta-minta kepada penguasa jika mereka suka mengabulkan permintaan...” (Al Adabu Fi Dien Lil Imam Al Ghazali)

Menurut Imam Ghazali, umat harusnya menjauhi semaksimal mungkin pintu penguasa, hal ini berbeda dengan yang terjadi di zaman ini dimana kian banyak umat dan bahkan oknum Ulama yang antre mendaftar sebagai pendengung (BuzzeRP) dan jubir bahkan jurkam penguasa. 

Imam Ghazali juga berpesan agar umat tidak mencari bantuan atau menyandarkan kebutuhannya kepada penguasa kecuali kepada perkara yang tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa seperti perihal pelayanan publik. Inilah cara rakyat menjaga muru’ah nya di depan penguasa.

Dan bagi penguasa pun ada adabnya saat menghadapi rakyat yakni, “Menggunakan kelembutan, tidak mencela atau kasar pada rakyat, berfikir sebelum memerintah (membuat kebijakan), tidak jumawa kepada kaum Ulama dan cendikiawan (golongan khusus) serta tidak memusuhi mereka, berkasih sayang kepada rakyat biasa (golongan umum) dengan tetap menegakkan ketegasan, hormat dan  berlapang hati kepada Ulama serta kepada murid dan keluarganya...”(Al Adabu Fi Dien Lil Imam Al Ghazali)

Adab-adab penguasa kepada rakyat tersebut nampaknya sangat urgen untuk dipelajari serta dilaksanakan hari ini. Bagaimana tidak, jika Al Ghazali mengatakan penguasa harus lembut kepada rakyat, kini mau diakui atau tidak mulai banyak penguasa yang bertindak otoriter dan berlaku represif kepada rakyat. 

Contoh kasus nyata yang masih hangat terjadi misalnya kekerasan para kaki tangan penguasa kepada rakyat di desa Wadas Jawa Tengah, penembakan oknum aparat kepada pendemo penolak tambang di Sulawesi, pemenjaraan beberapa aktifis dan Ulama yang kritis kepada kebijakan penguasa dll.

Kemudian pada poin berikutnya Imam Ghazali mengatakan bahwa penguasa harus berfikir sebelum memerintah. Ini juga perlahan-lahan mulai dilanggar, sebab kini kian banyak peraturan penguasa melalui Undang-undang dan kebijakan publiknya yang kian tidak bisa dimengerti oleh rakyat. 

Contoh kasus, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diputuskan sepihak meskipun sangat ditolak oleh jutaaan buruh dan masyarakat. Kemudian peraturan Jaminan Hari Tua yang sempat memanas meskipun akhirnya dibatalkan. Dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat kecil lainnya yang seolah-olah tidak dipikirkan terlebih dahulu sebelum memutuskannya.

Pada poin selanjutnya disebutkan bahwa penguasa harusnya hormat dan tidak memusuhi Ulama. Namun hari ini mulai muncul gerakan caci maki dan memusuhi para Ulama dan cendikiawan yang kritis dengan labelisasi radikal dan tidak Pancasilais dll namun di sisi lain menyanjung setinggi langit Ulama dan Intelektual yang bersikap mendukung penguasa dengan memberi predikat toleran, berakhlak baik, paling Islami dan nasionalis dll. Semua itu dilakukan oleh para BuzzeRP di sosial media dan diperkuat dengan pernyataan para penguasa sendiri dalam beberapa pidato mereka di depan khalayak.

Tentu semua ini harus jadi perhatian serius bagi rakyat negeri ini. Dan untuk menyeimbangkan keharmonisan kehidupan bernegara maka adab rakyat kepada penguasa harus ditegakkan dan sebaliknya adab penguasa terhadap rakyatnya juga mesti dilaksanakan oleh masing-masing pihak. 

Dan khusus bagi rakyat kecil hendaklah selalu menjaga muru’ah nya di depan siapapun terutama kepada para penguasa. Jangan menyandarkan “nasib” kepada mereka baik itu masalah hajat dunia apalagi hajat akhirat yang tentunya tidak akan mampu ditunaikan oleh penguasa. 

Mari berdikari dengan semampunya dan bersandar kepada Allah semata. Karena hanya dengan bersandar kepada Allah lah kedamaian hidup akan selalu membersamai (QS. Ar Ra’d : 28),  sebab Allah adalah dzat yang  tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya yang beriman. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” Maka untuk menghindari kepahitan-kepahitan hidup tidak bisa tidak caranya adalah tidak berharap kepada makhluk. Wallahu A’lam Bis Showab.

Dimuat Di : 

https://hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/2022/03/14/226549/menjaga-muruah-berdikari-bersama-allah.html



BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama