Keadilan Pemimpin Islam Menyikapi Penggusuran Tanah
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Dalam salah satu bukunya yang bertajuk 30 Kisah Teladan, KH. Abdurrahman Arroisi pernah menuliskan tentang keteladanan Khalifah Umar Bin Khatab Radiyallahu Anhu.
Ketika itu sang Khalifah didatangi oleh seorang Yahudi tua asal Mesir yang mengeluh kepadanya tentang masalah penggusuran rumahnya. Kediamannya terancam digusur oleh penguasa demi kepentingan umum, ketertiban, dan keindahan.
Si Yahudi dengan keras memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash, yang konon akan memperluas bangunan Masjid yang melintas di atas tanah miliknya. Yahudi tua yang miskin itu mengaku lahan tanah miliknya memang sebagian masih berawa-rawa. Dan dia tinggal di situ dengan menempati sebuah gubuk reyot yang hampir roboh.
Dia menceritakan kepada Khalifah Umar, bila Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepadanya agar meninggalkan rumahnya karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah.
Demi melaksanakan cita-citanya, maka Amr bin Ash kemudian memanggil si Yahudi tua itu agar menghadapnya untuk merundingkan besaran uang dan kompensasi yang akan diterimanya. Sampai akhir pertemuan, kepada Khalifah Umar dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut. Si Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual rumahnya yang reyot tersebut karena hal itu adalah harta berharga satu-satunya.
Meski demikian, seusai pertemuan tanpa kesepakatan itu, Gubernur Amr bin Ash memutuskan melalui “undang-undang” untuk tetap membongkar rumah si Yahudi dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan yang sama, yakni demi “kepentingan negara” dan memperindah infrastruktur kota.
Kakek Yahudi sang pemilik tanah dan rumah reyot itu kemudian mengatakan kepada Khalifah Umar bin Khatab bila tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Meski begitu ia tidak putus asa dengan tetap terus berusaha memperjuangkan haknya.
Maka dia pun bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Untuk itu dia pun berangkat mengarungi panjangnya jalur jalan di gurun pasir yang panas menyengat, menuju ke Madinah demi menuntut haknya kepada atasan Amr bin Ash, yakni Khalifah Umar bin Khatab.
Setelah mendengar aspirasi dari salah satu rakyatnya itu, Khalifah Umar lalu mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Khalifah Umar lantas menyerahkan tulang itu pada si Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Khalifah Umar, si Yahudi tetap menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Khalifah Umar. Wajah Amr bin Ash mendadak pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduganya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah si Yahudi yang digusurnya.
Melihat sikap gubernur Amr bin Ash yang berubah drastis itu dengan terheran-heran, si Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash tentang apa yang terjadi. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Betapa takjubnya si Yahudi tersebut dengan keadilan yang dijamin di dalam sebuah negara yang mengikatkan segala kebijakannya kepada ajaran mulia Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Berbagai kisah keadilan pemerintahan Islam di berbagai catatan sejarah bahkan membuat PM Inggris keturunan Yahudi, Benyamin Disraeli berpendapat bahwa sejarah umat Yahudi di bawah kekuasaan pemerintah Islam kala itu diwarnai romantisme dan kemesraan.
Jika umat Islam hari ini menapak tilasi kisah keadilan pemerintahan Islam terhadap warga negaranya baik yang Muslim maupun Kafir Dzimmi, tentu satu hal yang akan muncul di benak mereka, yakni betapa gambaran ideal berupa keadilan zaman Khalifah Umar mungkin hanya akan jadi romantisme masa lalu belaka. Di tengah gempita politik transaksional dan jeratan Oligarki yang kian menggurita saat ini, keadilan penguasa seperti Sayyidina Umar kian menjadi Utopia belaka dan nampak bak “dongeng” di buku-buku sejarah.
Khalifah Umar seorang penguasa yang adil berkenan mendengarkan keluhan satu warganya yang bahkan tidak sejalan dalam Iman dengannya, bandingkan dengan hari ini yang bukan hanya satu orang saja, tetapi ribuan orang di beberapa daerah yang tanahnya diambil paksa oleh “negara” seolah tidak didengar suaranya.
Kita tentu ingat para ibu-ibu desa yang rela mengecor kakinya karena tanah mereka diambil “negara” dan protes mereka tidak didengar. Ada lagi yang sedang hangat, di sebuah desa puluhan warganya diambil paksa oleh aparat di rumahnya bahkan ibu-ibu yang sedang berlindung dan berdoa di Masjid pun dikepung.
Berbagai aksi ambil paksa tanah oleh pihak yang mengatasnamakan negara memang selalu menyisakan luka yang mendalam. Sebab yang diambil bukan hanya perkara segunduk tanah melainkan lebih dalam dari hal itu yakni akar sosial, budaya, memori dan bahkan kehidupan si penghuni tanah itu sendiri. Dan jika boleh jujur tentu tidak ada seorang anak manusia pun yang berkenan dipisahkan dari akar kehidupannya.
Jika pembahasan yang menjadi hal utama dalam pembebasan tanah adalah demi kepentingan “negara”, maka pendekatan kemanusiaan dan keadilan sosial yang mestinya dikedepankan. Bukan dengan pendekatan kekerasan sehingga muncul celetukan dari warganet di dunia maya yang menyatakan bahwa mengukur tanah itu harusnya dengan meteran bukan dengan aparat berseragam yang dikerahkan berkompi-kompi, demikian sindiran warganet di sosial media.
Menarik jika kita boleh meminjam ungkapan dari sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer yang pernah berkata, "Orang yang tak pernah mencangkul justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain."
Nampak sekali jika penulis yang pernah berseteru keras dengan Buya Hamka itu sangat keras menyindir para “kaum berdasi” yang tidak pernah turun ke sawah (kehidupan rakyat kecil) yang kerjanya membuat undang-undang di parlemen dan otaknya dipenuhi gambaran cuan dari berbagai proyek besar yang tidak jarang diatasnamakan demi proyek nasional. Entah mereka disebut penguasa yang sedang berusaha atau pengusaha yang sedang berkuasa, karena saat ini kian sulit ditarik garis pembeda di antara mereka.
Padahal tidak selamanya mereka yang gemar berteriak atas nama negara adalah mereka yang paling cinta negaranya dan tidak mesti pula mereka yang selama ini luput dari sorotan malah mereka lah yang hakikatnya paling cinta negara yang mereka buktikan dengan kerja-kerja nyata seperti menggarap sawah dan laku khas masyarakat kecil lainnya.
Ingat bahwa Nelson Mandela pernah berkata, “Penjahat itu tak pernah membangun Negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak Negara.”
Dan kalimat Presiden anti Apartheid itu nampak benar adanya kini terjadi di berbagai belahan bumi tidak terkecuali di negeri tercinta ini. Hal itu terbukti dengan perlakuan istimewa yang masih terjadi kepada para maling uang rakyat dan cukong perusak lingkungan serta pengusaha hitam yang bermandi cuan selama pandemi ini. Padahal merekalah yang selama ini merusak negara dengan atas nama negara.
Walhasil sebagai sesama anak bangsa sudah seharusnya rakyat dan wakil rakyat bisa saling memahami dan menyelesaikan segala sesuatu dengan kepala dingin dan pendekatan musyawarah khas negeri Pancasila.
Semangat mendahulukan kepentingan rakyat hendaknya dinomor-satukan di atas kepentingan Konglomerat. Dan jangan ada pihak yang sedang diamanahi kuasa bermain-main dengan kepentingan pribadi atau golongannya dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Ingat Tuhan tidak tidur, semua akan dipertanggung-jawabkan kelak di hadapanNya.
Semoga kisah keadilan Sayyidina Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu di atas bisa menjadi pengingat dan cermin bagi mereka yang sedang diamanahi mengurusi hajat hidup rakyat saat ini. Islam adalah agama yang terdepan dalam melawan kedzoliman, dan tentunya para pemimpin beragama Islam harusnya menjadi garda terdepan dalam melawan kedzaliman dan bukan malah menjadi pelaku kedzaliman itu sendiri. Ingat, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi." (HR. Bukhari). Wallahu A’lam Bis Showab.
Dimuat Di :
BACA JUGA
Kategori:
agrarian conflict in Indonesia
indonesia today
Justice In Islam
justice of omar
keadilan Umar bin Khattab
land reform
opini
Wadas Melawan