Beradab Terhadap Pancasila
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Apa sebab utama yang menjadi masalah besar bagi kita (Umat Islam) hari ini. Jika pertanyaan ini diajukan kepada Syed Naquib Al Attas maka jawabannya adalah karena dua perkara, yakni sebab luaran (eksternal) dan sebab dalaman (internal). Di dalam bukunya, Islam dan Sekularisme, dijelaskan bahwa kedua faktor itu memiliki dampak kerusakan yang sama-sama besar bagi masyarakat dan umat.
Menurut Al Attas, penyebab kerusakan terbesar yang berasal dari internal umat Islam hari ini yang paling mencolok adalah keruntuhan adab (loss Of Adab). Di dalam Magnum Opusnya, Islam dan Sekularisme, beliau menyatakan,
“Mengenai sebab dalaman permasalahan yang kita hadapi sekarang menurut saya, masalah asasi dapat disimpulkan pada suatu krisis yang nyata yang saya sebut sebagai keruntuhan adab (the loss of adab). Di sini saya merujuk kepada hilangnya disiplin, disiplin raga, disiplin fikiran dan disiplin jiwa – disiplin yang menuntut pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi seseorang dalam hubungannya dengan diri, masyarakat dan umatnya: pengenalan dan pengakuan atas tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan kekuatan jasmani, intelektual dan ruhaniah seseorang itu; pengenalan dan pengakuan atas hakikat bahawa ilmu dan wujud itu tersusun secara hierarki. Oleh kerana adab merujuk kepada pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan kepada disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranannya sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan mencerminkan keadaan keadilan. Keruntuhan adab mengisyaratkan hilangnya keadilan, dan seterusnya menzahirkan kekeliruan dalam ilmu. Dalam hubungannya dengan masyarakat dan umat, kekeliruan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islám menciptakan suatu keadaan yang memungkinkan pemimpin-pemimpin palsu muncul dan berkembang serta menimbulkan ketidakadilan. Mereka melestarikan keadaan ini kerana hal itu menjamin keberlanjutan munculnya pemimpin seperti mereka untuk menggantikan mereka setelah mereka pergi, dan mengekalkan pengaruh mereka ke atas urusan umat. Kerana itu, untuk merumuskan dengan urutan yang tepat permasalahan umum kita sekarang ini disebabkan oleh :
1. Kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu yang menyebabkan keadaan:
2. Keruntuhan adab di kalangan Umat. Keadaan yang muncul daripada (1) dan (2) adalah:
3 Kemunculan pemimpin-pemimpin yang tidak layak untuk kepemimpinan yang sah bagi umat Islam, yang tidak memiliki taraf moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang disyaratkan untuk kepemimpinan Islam, yang melestarikan keadaan pada (1) di atas dan menjamin penguasaan urusan umat yang berkelanjutan oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai semua bidang. Semua akar permasalahan umum kita di atas adalah saling bergantung dan merupakan suatu lingkaran yang ganas. Tetapi sebab utama adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu, dan bagi mematahkan lingkaran ganas tersebut dan menyelesaikan masalah ini, pertama-tama kita mesti menangani masalah hilangnya adab, kerana tidak ada ilmu yang benar dapat diperolehi tanpa pra-syarat adab pada diri penuntutnya dan kepada siapa ilmu itu diberikan. Sebagai suatu contoh terbaik, Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri memerintahkan bahawa kitab suci Al Qur’an, sumber semua ilmu yang benar, bahkan tidak dapat disentuh oleh manusia kecuali melalui adab penyucian diri yang diperintahkan. Sesungguhnya ibadah dalam keseluruhannya adalah tidak lain suatu bentuk lain daripada adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Syed Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, hal 134-135).
Pendapat Al Attas itu menarik karena menyebutkan keterkaitan antara keruntuhan adab di tengah masyarakat dengan munculnya para ‘pemimpin palsu’ yang hingga hari ini menjadi sebuah lingkaran setan yang ganas.
Di Indonesia sendiri kini banyak didapati para ‘pemimpin palsu' mengurusi hajat umat secara tidak adil sehingga banyak kebijakan yang mereka keluarkan malah mendzalimi rakyat.
Padahal di dalam Al Qur’an dijelaskan,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (Qs. Al An’am: 129).
Ar Razi mengatakan, “Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan jika rakyat suatu negara itu zalim (gemar maksiat, korupsi dll) maka Allah akan mengangkat untuk mereka penguasa yang zalim semisal mereka. Jika mereka ingin terbebas dari kezaliman penguasa yang zalim maka hendaknya mereka juga meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga berkata,
“Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka.”
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa ketika umat di suatu negeri melakukan kemaksiatan kepada Allah maka Allah akan kirimkan kepada mereka para pemimpin yang dzalim sebagai balasan di dunia.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa kemaksiatan yang bisa mengundang bala’ dari Allah bukan hanya berkisar pada masalah korupsi, pergaulan bebas, dan yang sejenis belaka, sebab ada kemaksiatan yang lebih besar daripada itu yang sering luput dari radar kewaspadaan kita hari ini yaitu perbuatan tidak beradab kepada Allah.
Dan ciri utama gejala hilangnya adab dalam kehidupan umat -menurut Al Attas- adalah proses penyamarataan yang ditanamkan dari waktu ke waktu dalam fikiran orang Islam dan diamalkan dalam masyarakat.
Al Attas menyatakan, “Penyamarataan yang saya maksudkan adalah penyamarataan setiap orang, dalam fikiran dan sikap, pada tingkat yang sama dengan tingkat orang yang menyamaratakan. Proses mental dan pengambilan sikap ini yang berpengaruh pada tindakan, dilakukan melalui dorongan pemimpin palsu yang ingin menghancurkan autoriti yang sah dan hierarki yang benar sehingga mereka dan orang yang sama dengan mereka dapat kekal, dan orang yang memberikan tauladan menurunkan orang yang besar ke tingkat yang lebih rendah, dan kemudian ke tingkat yang lebih rendah lagi. Tanda jahiliyah ini dalam bentuk individualisme, kesombongan batin dan keras kepala serta kecenderungan untuk menentang dan meremehkan autoriti yang sah, nampaknya telah berlaku dalam setiap zaman sejarah Islam, meskipun hanya di kalangan ekstrimis dalam berbagai ragam. Apabila Umat Islam menjadi keliru dalam ilmu tentang pandangan alam (worldview) Islam, golongan ekstrimis ini cenderung untuk menyebar di kalangan mereka dan mempengaruhi pemikiran mereka dan menyusup ke dalam kedudukan kepemimpinan agama, kemudian kepemimpinan mereka dalam segala bidang kehidupan cenderung memperlihatkan tanda yang berbahaya ini dan mendorong amalan tersebut di kalangan orang Islam seakan akan ia sesuai dengan ajaran Islam. Mereka yang mendorong sikap ini, berpura-pura bahawa apa yang didorong tidak lain daripada prinsip persamaan Islam, padahal sebenarnya jauh daripada itu dan apa yang disebarkan malah membawa ke arah kehancuran, atau setidaknya merendahkan autoriti yang sah dan hierarki dalam susunan manusia – ia adalah penyamarataan semua orang pada tingkat mereka, dan ia adalah ketidakadilan. (Islam dan Sekularisme, hal 140-141)
Penyamarataan pada setiap orang kini mulai menjadi gejala global yang kian ganas menjangkit tidak terkecuali pada umat Islam di berbagai negeri yang hari ini mayoritas menganut sistem Demokrasi.
Bahkan disadari atau tidak bahwa rakyat Indonesia yang memiliki dasar negara berupa Pancasila pun ironisnya mulai dijauhkan dari nilai luhur Pancasila itu sendiri.
Pancasila yang berketuhanan yang maha esa (Tauhid) memiliki nilai luhur berupa sistem musyawarah mufakat. Di dalam sila keempat disebutkan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan”.
Pernyataan tersebut mirip dengan pepatah Arab yang berbunyi رأس الحكمة المشورة yang bermakna kurang lebih ‘pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah’. Pepatah Arab inilah yang konon digunakan oleh Haji Agus Salim untuk mengusulkan kosakata hikmah (kebijaksanaan) dan musyawarah dalam sila keempat Pancasila itu.
Namun ironisnya kini sistem musyawarah yang dipimpin oleh hikmah mulai ditinggalkan. Sebab mayoritas negeri-negeri Islam termasuk Indonesia kini menganut demokrasi Liberal yang kebablasan.
Jargon dalam sistem demokrasi yang berbunyi, Vox Populi Vox Dei alias suara rakyat adalah suara Tuhan kini lebih sering digunakan daripada sistem Musyawarah Mufakat yang dipimpin oleh para ahli hikmah (Ulama). Dan cara termudah untuk meraih jumlah suara rakyat terbanyak agar bisa dianggap sebagai representasi suara Tuhan adalah dengan sistem coblosan One Man One Vote yaitu satu orang satu suara.
Padahal seperti yang diketahui bahwa sistem One Man One Vote sering kali hanyalah menjadi ajang jual beli suara. Para pemimpin yang terpilih adalah hasil politik transaksional. Transaksional dengan partai pengusung, transaksional dengan para taipan dan para sponsor yang memiliki tujuan politis lainnya. Dan lingkaran setan yang dipelihara ini akhirnya terus memproduksi para ‘pemimpin palsu' yang mengurusi hajat rakyat.
Maka sangat jelas bahwa sistem demokrasi yang demikian itu sangat bertentangan dengan Pancasila terutama sila ke empat. Di dalam sistem One Man One Vote jelas ada pelanggaran terhadap adab karena di situ ada tindakan penyamarataan kepada semua manusia. Ada Hirarki Otoritas yang diterabas secara serampangan.
Di dalam Islam ada dikenal sebuah istilah المَرتَبَة (urutan/hirarki) yang selalu dijaga keberadaannya. Bahkan Allah sendiri yang mengajarkan pentingnya hirarki otoritas seperti dijelaskan di dalam Al Qur’an,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Ali Imron : 18).
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasanya yang pertama menyatakan bahwa itu Maha Esa adalah Allah sendiri kemudian para Malaikat dan selanjutnya para Ulama (Ahli Ilmu). Ini adalah sebuah pelajaran yang dicontohkan oleh Allah bahwa di dalam kehidupan ini terutama dalam tatanan beragama harus ada sebuah Hirarki Otoritas. Sebab diantara satu orang dengan orang lain ada pembeda yang memisahkan derajat mereka dalam pandangan agama seperti dari sisi keilmuan dan ketakwaan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para Nabi.” (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda Radhiyallahu ‘Anhum).
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa sepeninggal beliau maka penerus dakwah para Nabi adalah Ulama. Ini menunjukkan bahwa Hirarki Otoritas adalah sebuah keniscayaan yang wajib ada demi berjalannya ketersinambungan sanad.
Di dalam kehidupan duniawi saja manusia enggan disamaratakan lalu bagaimana pula penyamarataan itu hendak dipaksakan dalam urusan ubudiah. Ibarat batu safir dengan batu kali, memang benar sama-sama batu namun ada nilai jual yang sangat jauh diantara keduanya sebab ada nilai atau sifat yang berbeda yang menempel pada keduanya. Demikian pula ulama dengan orang awam, atau profesor ahli hukum dengan tukang kicau bayaran, tentu tidak bisa disamaratakan kedudukannya karena adanya derajat keilmuan yang berbeda jauh diantara mereka.
Maka sangat wajar jika ada yang menganggap jargon Vox Populi Vox Dei sangat berbahaya sebab dari sinilah kelak akan muncul ketidakadilan yang awalnya berpangkal pada keruntuhan adab.
Ketika umat atau sistem politik yang berlaku tidak menerapkan pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan alias tidak beradab maka di situlah muncul ketidakadilan. Dan dari sinilah akan muncul para ‘pemimpin palsu’ dan lingkaran setan pencipta para ‘pemimpin palsu’ berikutnya.
Secara akal sehat saja kita bisa menilai apakah mungkin kita bisa menyandingkan ‘aspirasi’ para Ulama, akademisi, pegiat anti korupsi, aktivis lingkungan hidup, ibu-ibu majelis taklim dengan aspirasi koruptor, cukong, pengusaha perusak lingkungan, pengedar narkoba, pelacur, pelaku LGBT dsj. Tentu aspirasi kedua kubu itu tidak akan bisa bertemu karena adanya perbedaan pemikiran yang akan melatar belakangi aspirasi dua kutub berbeda itu.
Artinya bahwa jika suara terbanyak adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei) diterapkan dan kebetulan yang menang adalah kelompok yang mengusung aspirasi yang mungkar maka dapat disimpulkan bahwa di dalam negeri itu mayoritas rakyatnya adalah orang tidak baik. Dan jikalau suara orang-orang tidak baik itu yang menang dianggap sebagai suara Tuhan, pertanyaannya apakah mungkin Tuhan berubah jadi pembela kemungkaran.
Wal hasil jika Indonesia ingin memutus lingkaran setan pencipta para ‘pemimpin palsu’ dan mendapatkan para pemimpin rakyat yang amanah maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah adab karena dengan beradab lah akan tercipta keadilan. Sebab orang beradab tahu cara menempatkan sesuatu sesuai kedudukan yang layak bagi sesuatu itu yang dari situlah muncul keadilan.
Dan salah satu cara beradab rakyat Indonesia kepada peninggalan leluhurnya (Founding Fathers) adalah mengamalkan Pancasila sesuai dengan khittahnya, terutama sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Apa itu hikmat, menurut Abu Ismail Al Harowy,
الحِكْمَة اسم لإحكام وضع الشيء في موضعه
“Hikmah adalah sebutan (nama) untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya”
Menurut Ibnul Qayyim,
الحِكْمَة: فعل ما ينبغي، على الوجه الذي ينبغي، في الوقت الذي ينبغي
“Hikmah adalah melakukan apa yang harus dilakukan, dengan cara yang seharusnya, pada waktu yang seharusnya”
Dan menurut Imam Nawawi,
الحِكْمَة، عبارة عن العلم المتَّصف بالأحكام، المشتمل على المعرفة بالله تبارك وتعالى، المصحوب بنفاذ البصيرة، وتهذيب النَّفس، وتحقيق الحقِّ، والعمل به، والصدِّ عن اتِّباع الهوى والباطل، والحَكِيم من له ذلك
“Hikmah adalah ilmu yang bercirikan hukum-hukum, termasuk ilmu tentang mengenal Allah Yang Maha Esa, yang disertai dengan wawasan, disiplin diri, realisasi kebenaran, mengamalkannya, dan mencegah seseorang dari mengikuti hawa nafsu dan kebatilan, dan Bijaksana adalah orang yang memiliki itu.”
Mengapa tafsiran sila ke empat tersebut itu nampak sangat Islam sentris ? jawabannya adalah karena panitia sembilan yang berunding dalam sidang BPUPK dan “membidani” lahirnya Pancasila yang kita warisi saat ini, didominasi oleh para tokoh Islam.
Bahkan frasa kata “hikmah/hikmat” sendiri adalah istilah Qur’ani, maka tiada alasan untuk tidak menafsirkan sila ke empat khususnya dan Pancasila umumnya dengan tafsiran historisnya. Dan inilah bentuk beradab kepada Pancasila dan keadilan dalam menafsirkan Pancasila karena dengan itu semua artinya kita mampu meletakkan Pancasila sesuai dengan maqom layaknya berdasar riwayat historisnya. Dan barangsiapa siapa yang mampu beradab kepada Pancasila maka dialah yang paling layak disebut sebagai Pancasilais sejati. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan