Riwayat Para Sayyid Dan Gunung Berapi

 Riwayat Para Sayyid Dan Gunung Berapi

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

History Of Caravan

Memasuki awal Desember ini Indonesia kembali berduka. Tanah Nusantara yang berjuluk negeri Cincin Api (Ring Of Fire) ini kembali dilanda bencana gunung meletus yang kali ini adalah giliran gunung Semeru di Lumajang Jawa Timur. 

Setelah banjir di beberapa wilayah Nusantara yang mirisnya belum surut sepenuhnya di beberapa daerah, kini puncak tertinggi di pulau Jawa itu menggeliat dari tidurnya.

Banyak kisah menarik dari peristiwa meletusnya gunung Semeru kali ini. Mulai dari kisah mengharukan Rumini yang ditemukan meninggal dalam keadaan sedang berpelukan dengan ibunya (di informasi berbeda adalah nenek) yang sudah renta dan lumpuh. 

Ada pula seorang ibu-ibu yang viral sedang meminta mukenah kepada tim relawan karena alasan anaknya menjadi korban meninggal sehingga dia perlu mukenah untuk sholat dan mengaji guna mendoakan anaknya tersebut dan masih banyak kisah mengharukan lainnya.

Di lain sisi, ada kisah irasional yang juga banyak dibahas dalam peristiwa meletusnya gunung Semeru tersebut, diantaranya adalah ada satu rumah yang selamat dari terjangan erupsi Semeru di saat semua rumah rusak parah dilibas ganasnya erupsi. Yaitu rumah Pak Roh (Wadiman) yang konon rahasianya adalah karena sering bersedekah. (https://youtu.be/TdfdUaLc4xc).

Ada pula sebuah warung makan yang juga selamat di tengah terjangan lautan abu vulkanis Semeru karena wasilah memasang fotonya para Auliya’ Allah seperti Kyai Hamid Pasuruan, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid Tanggul Jember dan Tuan Guru Zaini Sekumpul. (https://youtu.be/5GAoaxN-N6U).

Khusus mengenai para Ulama terutama para Ahlul Bait Nabi, ada satu riwayat masyhur yang pernah terjadi di negeri ini yang melibatkan Ahlul Bait dan gunung. Tentu kita ingat bahwasanya Indonesia pernah menyumbang kisah besar yang merubah wajah sejarah dunia yaitu meletusnya Gunung Tambora di pulau Sumbawa pada April 1815.

Tambora yang merupakan Stratovolcano aktif adalah satu dari 452  gunung api yang membentuk Pacific Ring of Fire. Sabuk gunung api yang memagari Samudera Pasifik dari Selandia Baru, Indonesia ke utara menuju Filipina, Jepang, kemudian berbelok ke  Amerika dan berujung di Chili. 

Ledakan besar Tambora pada 12 April adalah klimaks yang menghancurkan segalanya. Volcanic Explosivity Index (VEI) mencatat ini adalah ledakan level tujuh, yakni ledakan super kolosal dengan muntahan material terbesar yang terekam sejarah peradaban manusia modern. 10 kali lebih besar dari Krakatau yang meledak di Selat Sunda 68 tahun kemudian.

Bagi masyarakat di Semenanjung Sanggar, Dompu dan Bima ada cerita rakyat yang menyebut ledakan dahsyat Tambora bukanlah peristiwa alam biasa melainkan azab  Allah terhadap Raja Tambora, Abdul Gafur dan rakyatnya kala itu.

Syair Kerajaan Bima yang ditulis Khatib Lukman sekitar tahun 1830 menceritakan hal tersebut. Kemudian penulis dan pemikir Belanda, PP Roorda van Eysinga, yang datang ke Sumbawa menulis ulang cerita ini tahun 1841. Penggalan kisah ini juga dapat dilihat dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra karya Henri Chambert-Loir.

Adalah Said Ahmad Al Idrus atau dikenal dengan nama lain Sayyid Idrus yang menjadi “lakon” dalam peristiwa ini. Bermula dari kisah Sayyid Idrus yang mengusir seekor anjing milik raja Tambora ketika hendak melakukan ibadah shalat. Peristiwa itu membuat Raja Tambora marah dan mengatur siasat agar Sayyid Idrus memenuhi undangan makan darinya dengan menu utama daging kambing dan daging anjing. 

Setelah acara makan selesai, Raja menyelidik alasan Sayyid Idrus tidak menyukai anjing. Dan ketika disebut bahwa daging yang barusan dimakan adalah daging anjing, maka Sayyid Idrus bersikeras bahwa yang dimakannya adalah daging kambing dan meminta raja memuntahkan semua makanan yang telah dimakan.

Dari muntahan Raja Tambora, menjelmalah seekor anjing yang berarti bahwa daging yang dimakan oleh Raja Tambora adalah daging anjing, sedangkan dari muntahan Sayyid Idrus menjelma seekor kambing yang berarti daging yang telah dimakannya hanyalah daging kambing.

Raja Tambora tidak bisa menerima bahwa siasatnya tidak berhasil, sehingga Sayyid Idrus dibawa ke puncak Gunung Tambora untuk dibunuh. Tak mempan diseligi, kepala Sayyid Idrus pun dikepruk batu. Sayyid Idrus pingsan dan dikira mati. Oleh para pelaut Bugis, Sayyid Idrus diselamatkan. Dan dari kapal yang membawanya pergi, Sayyid Idrus mengatakan biarlah Allah yang menghakimi Raja Tambora. Lantas tak lama berselang, dari Bugis dan Mengkasar (Makassar) suara gemuruh dari dalam perut Gunung Tambora pun dapat didengar. (Diolah Dari Berbagai Sumber).

Jauh dari kasus meledaknya Tambora itu, datuk para Ahlul Bait yakni Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam juga mengalami hal serupa. Seperti masyhur tertera di dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah dijelaskan bagaimana para Malaikat penjaga gunung bisa sangat marah kepada manusia yang menyakiti para kekasih Allah. 

Ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam disakiti di Thaif saat itu Malaikat penjaga gunung berkata, "Apa pun yang engkau perintahkan akan kulaksanakan. Bila engkau sukai, akan ku benturkan gunung-gunung yang ada di sekitar kota ini sehingga siapa saja yang tinggal di antaranya akan hancur binasa. Atau apa pun hukuman yang engkau inginkan." Begitulah tawaran malaikat yang akhirnya ditolak oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam.

Dari riwayat-riwayat tersebut menjadi wajar belaka saat delegasi Ulama dan Habaib dari Jawa Tengah di bawah nama Ulama Ahlussunah Wal Jamaah Jawa Tengah menyampaikan maklumatnya kepada para wakil rakyat saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 06 Desember 2021 lalu yang salah satu poinnya adalah agar para Habaib yang sedang dikriminalisasi dibebaskan karena khawatir malah akan mengundang bencana yang lebih besar lagi di Republik ini. (https://youtu.be/L6z5i5CYypM).

Hal ini makin dipertegas oleh Aliansi Ulama Madura yang tepat keesokan harinya juga melakukan audiensi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 07 Desember 2021. Mereka juga menyuarakan hal yang hampir sama yakni pembebasan Ahlul Bait Nabi yang sedang dikriminalisasi oleh kepentingan politik dan juga pengusutan kasus pelanggaran HAM berat pada enam jenazah pengawal Ulama yang dibantai di KM 50 beberapa waktu lalu.

Semua ini demi menyudahi rentetan bencana yang bisa jadi akan ada yang lebih dahsyat lagi jika tidak dihiraukan. Bahkan salah satu utusan mengisahkan cerita yang sedang viral mengenai “diusirnya” seorang Habib tiga hari sebelum erupsi Semeru yang selama ini jadi guru mengaji dari rumah waqaf yang ditinggalinya di lereng gunung Bromo. Anak dari Waqif yang sudah meninggal dunia yang mengusir sang Habib dikabarkan akhirnya hilang bersama beberapa orang yang ikut andil dalam pengusiran sang Habib. (https://youtu.be/stbZTkxh2r8)

Landasan Teologis Dalam Meredam Bencana

Di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman,

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (QS: Al Anfal : 33)

Berdasar ayat tersebut, Qodhi Abi Fadhl Iyadh dalam kitabnya menukil hadis bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Allah menurunkan dua keamanan bagi umatku,” yaitu disebutkan dalam firman-Nya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun. (QS. Al-Anfal: 33).

Selanjutnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Apabila aku telah tiada, maka aku tinggalkan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) di kalangan mereka sampai hari kiamat.”

Sebagian ulama mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam  adalah keamanan yang besar (agung) selama beliau hidup dan selama sunah-sunahnya masih hidup abadi dan ketika sunah-sunahnya mati (ditinggalkan) maka lihatlah oleh kalian berbagai bencana dan rupa macam fitnah.  (As Syifa’ Bi Ta’rifie Hukukil Mustofa Juz 1 Hal. 37).

Jadi selama Nabi  Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam masih hidup maka Allah tidak akan mengazab umat ini. Juga selama sunah-sunahnya masih hidup maka keamanan bagi umat ini akan tetap terjaga. Sebaliknya saat sunah-sunahnya ditinggalkan maka bencana dan fitnah akan bermunculan. 

Hari ini kita saksikan bukan hanya sunah-sunah Nabi yang ditinggalkan namun mirisnya malah kian dinistakan. Termasuk syiar-syiar Islam yang juga melekat sebagai identitas Nabi seperti pelecehan kepada yang  berbau Arab, kepada Ahlul Bait Nabi dan lainnya.

Solusi meredam bencana berikutnya adalah memuliakan dan mengikuti Ahlul Bait Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali Karomallahu Wajhah, beliau berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Bintang-bintang itu pengaman penduduk langit, dan ahli baitku pengaman penduduk bumi. Apabila ahli baitku hilang, maka penduduk bumi hilang. Dalam suatu riwayat lain disebutkan: “Apabila ahli baitku binasa, maka datanglah kepada penduduk bumi tanda-tanda yang telah dijanjikan kepada mereka.” (HR. Imam Ahmad).

Dari pemaparan tersebut harusnya kita bisa introspeksi diri bahwa banyaknya bencana di negeri ini ternyata bukan akibat rusaknya alam semata seperti pandangan kaum materialisme. Namun lebih dari itu, yakni akibat mulai matinya sunah-sunah Nabi, kemaksiatan yang difasilitasi agar merajalela dan banyaknya Ahlul Bait Nabi yang disakiti.

Sesungguhnya Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam telah bersabda sedangkan beliau di atas mimbar, “Apa keadaan kaum yang menyakiti aku dalam nasab dan kerabatku. Ingat, barangsiapa yang menyakiti keturunanku dan orang-orang yang mempunyai hubungan denganku, berarti ia menyakiti aku, dan barangsiapa menyakiti aku, maka ia benar-benar menyakiti Allah Ta’ala.”  (HR. at-Thabrani dan al-Baihaqi)

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda, “Allah sangat murka terhadap orang yang menyakiti aku (dengan cara menyakiti) keluargaku.”(HR. Ad-Dailami)

Dan inilah yang dikawatirkan oleh para Ulama yang rela jauh-jauh datang dari Jawa Tengah dan Madura dalam rangka menasihati para Umara tersebut yakni khawatir jika kemurkaan Allah itu akan terus terjadi selama para keturunan Nabi masih didzalimi sedemikian rupa. Wallahu A’lam Bis Showab.*


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama