Menyembah Allah Tuhan Semesta Alam
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Bulan Desember telah tiba. Di penghujung tahun ini seperti yang sudah-sudah selalu saja ada kegaduhan khas dari negeri ini yang berkutat pada ranah akidah. Mulai dari mencuatnya fenomena tahunan yang selalu berulang berupa kontroversi ucapan selamat hari raya kepada non Muslim dan yang sejenisnya.
Berbeda dengan yang dulu-dulu, pada akhir tahun ini kegaduhan yang terjadi lebih dahsyat lagi yakni berupa desakan pembubaran MUI pasca dua anggotanya ditangkap dalam dugaan terlibat terorisme. Kemudian kegaduhan berikutnya adalah pernyataan kontroversial dari seorang petinggi institusi negara dalam acara podcast seorang YouTuber terkenal pada Selasa (30/11) lalu.
Seperti yang sudah viral di dunia maya, si tokoh yang baru naik pangkat itu melontarkan sebuah kalimat ngawur yakni ketika berdoa dia biasa menggunakan bahasa Indonesia karena menurutnya Tuhan bukan orang Arab.
Pernyataan tidak berdasar ilmu itu tentu sangat berbahaya jika dilontarkan oleh seorang pejabat publik yang tidak otoritatif dalam bidang agama sebab hanya akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan baru yang tidak akan ada ujungnya.
Di dalam perkara duniawi, seseorang yang bukan ahli di bidangnya tentu secara kode etik tidak boleh menyampaikan pandangannya dalam bidang tersebut karena dia bukan sosok otoritatif yang bisa diambil pendapatnya. Apalagi di dalam ranah agama, tentu penekanan pada otoritas ilmu sangat diutamakan.
Di dalam agama Islam ada kaidah yang berbunyi,
الإسناد من الدين لولاه لقال من شآء ما شآء
“Sanad Guru adalah bagian dari Agama. Tanpa adanya sanad, maka setiap orang akan berbicara semaunya.” (Imam Abdullah Ibnul Mubarak).
Orang tersebut yang tidak jelas sanad keilmuannya dan lagipula bukan tupoksinya membahas perihal agama entah mengapa tiba-tiba melontarkan pernyataan keblinger seperti itu. Sebagai seorang militer tentu otoritasnya adalah berbicara mengenai kemiliteran, pertahanan negara, membasmi separatis teroris seperti KKB OPM dan sejenisnya. Bukan malah membahas sesuatu yang tidak dia kuasai dan apalagi sangat sensitif bagi rakyat Indonesia yang merupakan bangsa beragama.
Kalimat berdoa memakai bahasa setempat dengan alasan karena Allah bukan orang berbangsa Arab tentu adalah sebuah pernyataan yang melecehkan. Setidaknya ada dua hal penting dari pernyataan tersebut yang akhirnya menjadi sorotan banyak pihak yaitu sinisme kepada sesuatu yang berbau Arab dan pelecehan kepada akidah Ahlussunah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa Allah itu Kholiq yang tidak serupa dengan makhluk (Laitsa Kamislihi Syai’un).
Untuk masalah Arab, terlepas apakah orang tersebut memiliki alergi dengan sesuatu yang berbau Arab atau tidak, yang jelas Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda,
أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ : لأَنِّي عَرَبِيٌّ ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ
“Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal: karena aku orang Arab, Alquran berbahasa Arab dan pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab”. (HR. At Tabrani, al Hakim, al Baihaqi)
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk mencintai Arab setidaknya karena tiga hal tersebut. Jadi kalau ada orang yang merendahkan Arab maka secara tidak langsung dia telah menghinakan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam.
Bahkan ada peringatan keras dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam kepada sahabatnya yang non Arab agar berhati-hati jangan sampai memiliki rasa sedikitpun untuk membenci Arab karena muaranya akan berujung kepada membenci Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
يا سلمان ! لا تبغضني ، فتفارق دينك ، قلت : كيف أبغضك و بك هداني الله ؟ قال
: تبغض العرب فتبغضني “
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam berkata kepada Salman Al Farisi (orang Non Arab: Persia): “Hai Salman janganlah kamu membenciku yang menjadikanmu memisahi agamamu.”
Salman berkata: “Bagaimana mungkin aku membencimu sedangkan melalui dirimulah aku mendapatkan hidayah?” Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam menjawab: “Kamu membenci Arab maka kamu membenciku.” (Hadits riwayat Tirmidzi)
Tentu hadis tersebut sudah cukup jelas dalam menggambarkan bagaimana bahayanya membenci Arab hingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam memperingatkan kepada Sahabat Salman Al Farisi Radiyallahu Anhu agar jangan sampai melakukannya.
Padahal seperti diketahui bahwa kedudukan Sahabat Salman sangat dekat di sisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam hingga beliau bersabda bahwa Salman adalah bagian dari keluarga beliau (Ahlil Bait) meskipun ungkapan itu hanya sebagai gambaran saja mengenai bagaimana dekatnya kedudukan Sahabat Salman. Karena hakikatnya Sahabat Salman adalah bukan dari keluarga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam.
Mengenai berdoa dengan bahasa Indonesia dan bukan bahasa Arab sebenarnya kurang bijaksana jika diucapkan sebagai sebuah opsi (pilihan) atau bahkan komparasi (perbandingan). Sebagai opsi yaitu dengan disediakan kesempatan untuk memilih memakai bahasa lokal atau bahasa Arab. Dan sebagai komparasi adalah dengan cara membandingkan mana yang lebih layak dipilih antara berdoa dengan bahasa lokal atau bahasa Arab.
Sebab ada wilayah tertentu dalam agama ini yang memang mengharuskan umat Islam untuk melafalkannya dalam bahasa Arab yang sudah dipilih sebagai bahasa Al Qur’an dan bahasa yang digunakan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Seperti mengucapkan Al Fatihah sebagai rukun dalam sholat, bersholawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, membaca syahadatain baik di dalam sholat maupun di luar sholat semisal bagi para muallaf dan yang lainnya.
Sebenarnya bisa dimaklumi bagi orang yang belum terlalu mendalami agama Islam seperti para muallaf, anak kecil dan orang yang baru belajar agama saat berdoa dengan bahasa lokal di luar bacaan yang menjadi rukun sholat seperti Al Fatihah misalnya.
Namun kondisi itu tidak boleh didiamkan terlalu lama sebab orang tersebut harus terus berusaha meningkatkan ilmu keislamannya dan dituntut sampai akhir hayatnya kelak untuk senantiasa menyempurnakan keislamannya yang salah satunya adalah dengan belajar membaca Al Qur’an dan doa-doa yang mau tidak mau harus dilafalkan dalam bahasa Arab.
Dan menjadi dosa besar jika ada orang Islam yang berada pada kondisi belum bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban ibadah namun tidak mau belajar dan malah merasa cukup pada kondisinya tersebut. Apalagi jika mengatakan bahwa cara beribadahnya itu sudah cukup baginya karena Allah bukan dari bangsa tertentu yang berbahasa tertentu pula.
Memang benar bahwa Allah pasti paham dengan bahasa apapun yang digunakan manusia namun perlu diingat bahwasanya di dalam Islam ada adab-adab yang perlu ditunaikan saat melaksanakan ibadah. Dan salah satunya adalah adab dalam berdoa. Bahkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي… [رواه البخاري]
… “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat” … [HR al-Bukhari]
Bagaimanakah sholat Nabi, tentu memakai bahasa Arab. Dan bagaimanakah Nabi berdoa, pasti menggunakan bahasa Arab. Lalu apakah sebagai umatnya kita tidak malu manakala mengaku mencintai beliau namun tidak berusaha mengikuti beliau secara total. Kenapa kita tidak bisa “seradikal” anak-anak remaja zaman sekarang yang bisa meniru para idolanya baik dari ranah K-Pop maupun Barat dalam hal totalitas ittiba’ pada yang dicintai.
Bayangkan bagaimana orang di pelosok desa Nusantara hari ini bisa berdandan, menari dan berbahasa ala artis Korea karena saking gandrungnya mereka pada idolanya tersebut. Padahal mereka tidak bisa memberi syafaat di akhirat kelak.
Lalu dengan logika yang sama apakah kita tidak boleh meniru bahasa yang dipakai Nabi, meniru cara berpakaian dan apapun dari Nabi sebagai bukti kecintaan kita kepada beliau. Seorang manusia pilihan Tuhan yang tentu saja atribut apapun yang berada di bersama beliau adalah pilihan pula, termasuk bahasa Arab yang jadi bahasa keseharian beliau.
Mengenai keunggulan bahasa Arab dibandingkan bahasa lain di dunia, Syed Muhammad Naquib Al Attas dalam Islam dan Sekularisme menuliskan, “Kita juga telah menegaskan bahawa Islamisasi pertama-tama menyangkut Islamisasi bahasa, hakikat ini ditunjukkan oleh kitab suci Alquran sendiri ketika pertama kali diwahyukan kepada orang Arab. Bahasa, pemikiran, dan akal saling berhubung erat dan memang saling bergantung dalam menayangkan kepada manusia pandangan alam (Worldview)nya atau tilikan terhadap realiti. Maka Islamisasi bahasa menyebabkan Islamisasi pemikiran dan akal, tidak dalam pengertian sekular, tetapi dalam pengertian seperti yang telah kita jelaskan. Islamisasi bahasa Arab dengan tuntutan Allah melalui Wahyu, telah mengubah kedudukan bahasa Arab menjadi satu-satunya bahasa yang diilhami Allah dan masih hidup diantara bahasa-bahasa manusia, oleh itu bahasa Arab menjadi ‘baru’ dan tersempurnakan sampai tingkat yang sangat unggul -khususnya kosakata Islam yang asasi- maka ia tidak berubah dan berkembang serta tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial, seperti halnya semua bahasa-bahasa lain yang berasal daripada budaya dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa yang dengannya Allah subhanahu Wa ta’ala mewahyukan kitab suci Al-Qur’an kepada manusia, menjadikan bahasa itu terpelihara daripada mengalami perubahan, tetap hidup dan terus-menerus kekal sebagai bahasa Arab baku yang agung sebagai kriteria linguistik, dari segala segi ia dapat memperlihatkan ungkapannya yang paling tinggi dan paling unggul. Berkaitan dengan ma’na ma'na perkataan yang berhubungan dengan Islam, setiap ma’na daripada perkataan-perkataan tersebut ditentukan oleh perbendaharaan- kata semantik daripada kitab suci Al-Qur’an, dan bukan oleh perubahan sosial. Sehingga ilmu yang memadai tentang Islam dapat wujud untuk sepanjang masa dan untuk setiap generasi, kerana ilmu tersebut termasuk norma-norma etika, aksiologi, estetik dan logik, merupakan suatu perkara yang mapan dan bukannya sesuatu yang berkembang...”(Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, (RZS-CASIS, Kuala Lumpur, 2020), Hal. 66).
Ada pesan khusus bagi orang-orang seperti tokoh yang kita bahas ini dan yang sepemikiran dengannya yang terindikasi - secara sadar atau tidak- bahwa mereka sedang menjalankan proyek membenturkan Islam dan Arab dan lebih mengunggulkan kelokalan yang dalam hal ini nusantara, yaitu hendaklah mereka berkaca diri terlebih dahulu agar bisa jernih dalam berpendapat. Sebab ada adagium yang menyatakan bahwa, “Orang yang tidak mau ngaca itu biasanya ngaco.”
Bukankah masyarakat Nusantara bisa menjadi manusia beradab juga lewat peranan dai-dai Islam (Walisongo) yang mayoritas berasal dari Arab. Tanpa wasilah mereka mungkin hari ini masyarakat Nusantara masih memuja bebatuan, menyembah pohon, menuhankan binatang, bahkan bisa tetap memakan sesama manusia (kanibal) seperti sebagian kebiasaan masyarakat kuno Nusantara.
Wal hasil peristiwa ini bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang kita tidak memiliki otoritas di dalamnya. Apalagi jika yang melakukannya adalah seorang pejabat publik. Di dalam Islam sanad adalah harga mati karena tanpa adanya sanad maka tatanan agama ini akan semrawut akibat semua orang bisa berbicara sesuai pendapatnya masing-masing.
Kemudian hendaknya seorang pejabat publik bisa lebih arif dalam menyampaikan pesan maupun pandangan kepada khalayak apalagi jika yang disampaikan adalah perkara sensitif seperti akidah. Sebab urusan agama tidak sesederhana urusan membongkar baliho di jalanan. Ini urusan maha berat karena menyangkut urusan ukhrawi umat.
Sebagai penutup, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali Rahimahullah berkata,
لو سكت من لا يدري، لقلّ الخلاف بين الخَلق . أبو حامد محمد الغزالي
“Seandainya orang yang tidak paham (suatu urusan) itu diam, maka akan sedikit perselisihan diantara makhluk (umat).”
Dan harus diakui kini bahwa perkataan Imam Ghazali tersebut benar adanya. Karena semua kegaduhan ini adalah buah daripada ramainya orang awam yang tidak mau diam alias mudah berkomentar. Dan sekali lagi perlu ditegaskan di sini bahwa Allah itu Tuhan bukan makhluk. Dan kita umat Islam menyembah Allah sebagai Tuhan semesta alam bukan Tuhan yang khusus bagi bangsa Arab semata. Wallahu A’lam Bis Showab.
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/artikel/opini/2021/12/06/221221/menyembah-allah-tuhan-semesta-alam.html