Jejak Darah Partai Merah Chapter I
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Bulan September telah berjalan menuju akhir di almanak tahun ini. Sebagai bangsa yang terbentuk dari susunan sejarah pergolakan yang panjang tentu Indonesia masih terikat dengan sejarah masa lalunya. Apalagi jika sejarah tersebut mengandung jejak traumatis yang besar. Tentunya ingatan akan “luka” sejarah itu pasti sulit dihilangkan begitu saja.
Dan jejak berdarah paling besar dalam sejarah Republik ini adalah pemberontakan G30S PKI. Maka September ini bisa dikatakan bahwa kita sedang memperingati 55 tahun tragedi tersebut.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka luka lama bangsa namun sebagai napak tilas ingatan yang bisa dijadikan Ibroh agar generasi penerus bangsa ini tidak mengalami kejadian yang sama dengan para pendahulunya.
Apalagi kini para pegiat Komunis (Aktivis Kiri) terutama yang sudah masuk ke parlemen sedang gencar-gencarnya merevisi sejarah mengenai PKI yang semula sebagai pelaku pemberontakan hendak dibalik sebagai korban pembantaian oleh Negara melalui TNI dan umat Islam.
Embrio PKI
Adalah Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet atau lebih dikenal sebagai Henk Sneevliet atau dengan nama samaran Maring yang lahir pada 13 Mei 1883 dan meninggal pada 13 April 1942 pada usia 58 tahun.
Dia seorang Komunis Belanda, yang aktif di Belanda dan di Hindia Belanda. Sneevliet dilahirkan di kota Rotterdam, Belanda dan dibesarkan di kota ‘s-Hertogenbosch. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia mulai bekerja di perusahaan kereta api Belanda pada tahun 1900 dan menjadi anggota dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat – SDAP) serta serikat buruh kereta api.
Sneevliet tinggal di Hindia Belanda sejak tahun 1913 hingga 1918 dan pada tahun 1914 ia ikut mendirikan Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia (ISDV) yang anggotanya mencakup orang-orang Belanda dan Indonesia. Ia juga kembali ke dalam kegiatan serikat buruh, menjadi anggota dari VSTP, Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel (Serikat Buruh Kereta Api dan Trem), sebuah serikat buruh yang kelak menjadi basis bagi gerakan komunis Indonesia.
Menyelinap Ke Dalam Sarikat Islam
Pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah–kemudian menjadi Sarekat Dagang Islam–di Bogor, pada 1909. Dr. Moh. Hatta dalam Permulaan Pergerakan Nasional menyatakan, “Maka R.M Tirto Adisuryo berkelilinglah seluruh Jawa tapi yang dikunjunginya hanya kota-kota besar saja. Di kota-kota besar itu masing-masing dianjurkan mendirikan Sarekat Dagang Islam. Akhirnya dia sampai di Solo,”
Apa yang diceritakan Bung Hatta sesuai dengan surat rahasia Residen Surakarta, F.F. van Wijk pada Gubernur Jenderal Idenburg, 11 Agustus 1912:
Perhimpunan Sarekat Dagang Islam didirikan di sini (Solo) beberapa bulan yang lalu oleh redaktur kepala Medan Prijaji yang terkenal itu; Raden Mas Tirtoadisurjo. Juga di Buitenzorg sudah berdiri perhimpunan seperti itu juga pada 1909. Dalam waktu dekat jumlah anggota membengkak cepat.
Nama Sarekat Dagang Islam (SDI) tidak lama. Merujuk pasal I Peraturan Dasar yang disusun Tirto tanggal 9 November 1911, “Perkumpulan Sarikat Islam akan didirikan pada tiap-tiap tempat di mana terdapat anggota sekurang-kurangnya 50 orang…kalau anggotanya kurang dari 50 orang, tidak diadakan.” Setahun kemudian, persisnya 10 September 1912, Sarekat Islam dicatatkan di notaris. “Sifat perkumpulan itu disebutnya nasional demokratis. Ini berbau politik,” kata Bung Hatta.
Kemudian pada tanggal 2 hingga 6 Maret (versi Semaoen adalah tahun 1921 sedangkan versi Lembaga Sejarah PKI adalah tahun 1920), keduanya menggunakan tanggal yang sama, hanya beda tahun, Kongres Sarikat Islam (SI) V diadakan di Yogyakarta.
Dalam kongres itu, dua kader terkemuka SI, Semaoen dan Haji Agus Salim menyusun dasar baru organisasi. Dan disimpulkan bahwa kapitalisme-lah pangkal dari penjajahan di lapangan kebangsaan dan perekonomian. Dan ini harus dilawan. Dengan mengusung semangat yang sebetulnya sama, sama-sama melawan kapitalisme, Semaoen, Komisaris SI Daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, mendirikan dan terpilih menjadi ketua PKI pada 23 Mei 1920. Dan Ini membuat Abdul Muis, tokoh SI Bandung berang. Dia menyoal masalah rangkap keanggotaan.
Maka pada Kongres SI VI, 10 Oktober 1921 di Surabaya, setelah melalui perdebatan sengit, diputuskan anggota SI yang komunis dan pro komunis harus keluar dari SI. Namun kubu komunis tidak begitu saja menyerah. Mereka membentuk SI Merah dan mempengaruhi kongres SI pada tahun 1923 di Madiun. Ratusan bendera merah bergambar palu arit bergantungan di dinding dan di meja podium.
“Kongres ini berjalan dalam suasana ribut dan kacau, dimana podium digulingkan,” tulis Busjarie Latif dalam Manuskrip Sejarah PKI (1920-1965). Kongres ini betul-betul memisahkan PKI dan SI. Dan diputuskan mengubah SI menjadi Partai Sarikat Islam Hindia Timur, lalu di kemudian hari berubah lagi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Dalam perkembangan lain, berdiri pula Sarekat Rakyat (SR) yang dipimpin Aliarcham di Semarang yang cepat sekali berkembang dan meluas. Dan pada Maret 1923 PKI dan SR menggelar konferensi di Sukabumi. Dua hal yang diputuskan, pertama, di mana terdapat cabang SI Merah di sana harus didirikan PKI dan kedua, SI Merah diubah dan digabungkan kepada Sarekat Rakyat. Setelah itu, menurut Busjarie, sekitar 30 hingga 35 ribu anggota SI masuk PKI.
Pemberontakan PKI
PKI adalah partai Komunis terbesar ke 3 di dunia setelah partai Komunis yang ada di Uni Soviet dan China. Partai ini setidaknya tercatat beberapa kali melakukan pemberontakan di Indonesia baik setelah RI merdeka maupun ketika masih di bawah penjajahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa PKI di Indonesia tampaknya memiliki ‘tradisi berontak’.
Term dan arti (harfiah) kata berontak dalam bahasa Indonesia adalah ‘melawan/tidak mau menurut perintah, atau melawan (kekuasaan) pemerintah. Berikut beberapa rekam jejak pemberontakan mereka.
Pada tanggal 3-9 Maret 1946, PKI Langkat-Sumatera di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan dengan gerakan massa atas nama ‘revolusi sosial’ menyerbu Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura dan membunuh Sultan bersama keluarganya serta menjarah harta kekayaan Sultan.* (Bersambung)
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/2020/09/28/192793/jejak-darah-partai-merah-1.html