Jejak Darah Partai Merah (2)
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
PKI adalah partai Komunis terbesar ke 3 di dunia setelah partai Komunis yang ada di Uni Soviet dan China. Partai ini setidaknya tercatat beberapa kali melakukan pemberontakan di Indonesia baik setelah RI merdeka maupun ketika masih di bawah penjajahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa PKI di Indonesia tampaknya memiliki ‘tradisi berontak’.
Term dan arti (harfiah) kata berontak dalam bahasa Indonesia adalah ‘melawan/tidak mau menurut perintah, atau melawan (kekuasaan) pemerintah. Berikut beberapa rekam jejak pemberontakan mereka.
Pada tanggal 3-9 Maret 1946, PKI Langkat-Sumatera di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan dengan gerakan massa atas nama ‘revolusi sosial’ menyerbu Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura dan membunuh Sultan bersama keluarganya serta menjarah harta kekayaan Sultan
Pada tanggal 19 Agustus 1948, PKI Surakarta membuat kerusuhan dengan membakar pameran HUT RI ke-3 di Sriwedari-Surakarta, Jawa Tengah. Beberapa minggu setelah itu, yaitu pada 10 September 1948, Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Kedunggalar-Ngawi dan dibunuh dan jenazah mereka dibuang begitu saja di dalam hutan.
Pada tanggal 17 September 1948, PKI menculik para Kyai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Dalam sumur tersebut ditemukan 108 kerangka jenazah korban hasil pembunuhan PKI. Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng.
Dalam kurun waktu tanggal 18-21 September 1948 itu, PKI menciptakan 2 ‘ladang pembantaian (LP) dan 7 ‘Sumur Neraka’ (SN) di Magetan untuk membuang semua jenazah korban yang mereka siksa dan bantai.
Pada tahun 1963, atas desakan dan tekanan PKI terjadi penangkapan sejumlah tokoh-tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama anti PKI, antara lain, Buya Hamka, KH. Yunan Helmi Nasution, KH. Isa Anshari, KH. Mukhtar Ghazali, KH. EZ. Muttaqien, KH. Soleh Iskandar, KH. Ghazali Sahlan dan KH. Dalari Umar.
Setahun kemudian, yaitu pada bulan Desember 1964, Chaerul Saleh, Pimpinan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didirikan oleh Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan ‘Kudeta’. Sebulan kemudian, tepanya tanggal 6 Januari 1965, atas desakan dan tekanan PKI, terbitlah Surat Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang ‘Pembekuan’ Partai MURBA, dengan dalih telah memfitnah PKI.
Dan pada tanggal 21 September 1965, atas desakan dan tekanan PKI, terbit pula Keputusan Presiden RI No.291 tahun 1965 tertanggal 21 September 1965 tentang ‘Pembubaran’ Partai MURBA.
Beberapa riwayat tindakan PKI seperti tersebut di atas, akhirnya memuncak pada tanggal 30 September 1965, dengan terjadinya peristiwa penculikan yang kemudian sering disebut sebagai G’30S/PKI. Peristiwa inilah yang kemudian mengakhiri riwayat PKI di Indonesia, sekaligus menjadi awal “pengganyangan” keji yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap PKI dan simpatisan PKI di seluruh wilayah Indonesia. ‘(PKI Dan Riwayat Pemberontakannya, Indonesiakoran.com, 22-09-2017).
Sejarah Adalah Guru
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tersengat racun dari lubang (binatang berbisa) yang sama sebanyak dua kali.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu].
Racun komunisme yang dulu pernah menjalar di Republik ini kini mulai disebarkan lagi. Itu sudah kentara dengan makin kuatnya daya tawar kaum kiri dalam ranah kekuasaan pasca reformasi di Republik ini.
Buku-buku berpaham kiri mulai marak kembali, simposium ex PKI beberapa kali diadakan, berhasil dihapuskannya label PKI pada frasa G30S, anak keturunan PKI banyak yang masuk pemerintahan, desakan kepada Presiden untuk meminta maaf pada PKI, dan juga kriminalisasi Ulama. Adalah alarm awal re-eksistensi mereka.
Dulu Buya Hamka dibui oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI karena menolak NASAKOM dan kini beberapa Ulama dan aktivis anti Komunis juga ada yang mengalami hal serupa. Berbagai riwayat tersebut harusnya sudah bisa membuka mata kita tentang bahayanya komunisme.
Sahabat Muawiyah Bin Abi Sufyan Ra. Mengatakan, “Tidak ada orang yang bijaksana kecuali telah memiliki pengalaman.” [Diriwayatkan Al-Bukhari].
Nah, dari berbagai pengalaman di masa lalu harusnya bangsa ini bisa lebih bijaksana karena sudah belajar banyak bahwa Komunisme adalah bahaya laten bagi negeri ini.
Sebab ajaran pertentangan kelas yang bermuara pada persamaan kelas ala Komunisme dalam ranah sosial NKRI sangat tidak sesuai. Karena Pancasila sebagai falsafah negara dalam sila ke 5 menjelaskan bahwa Indonesia bukan negara yang menganut sistem masyarakat tanpa kelas sosial melainkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan di dalam Islam juga dikenal konsep Muzaki dan Mustahik yang mengindikasikan bahwa diperbolehkan bagi seorang individu memiliki kepemilikan harta yang berbeda alias tak harus sama antar mereka, asalkan ada keadilan sosial di dalamnya.
Berbeda dengan kapitalisme yang muara ajarannya berakibat yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Islam mengontrol keadilan sosial dengan instrumen zakat, infak, dan sedekah dan Negara mengendalikannya dengan instrumen pajak. Jadi bisa disimpulkan bahwa Kapitalisme dan Komunisme adalah virus perusak yang memang tidak sesuai dengan Indonesia.
Komunisme ala Karl Marx dan Kapitalisme ala Adam Smith yang seolah bagaikan 2 kutub yang berseberangan nyatanya dilahirkan dari rahim yang sama, yaitu hasil olah pikir pemikir Yahudi Illuminati yang merupakan paham perusak agama dan kemanusiaan. Dan Indonesia sebagai negara berketuhanan yang maha esa tentu tidak akan bisa menerima konsep pemikiran merusak seperti itu. Wallahu A’lam.* (Diolah dari berbagai sumber).
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/2020/09/28/192796/jejak-darah-partai-merah-2.html