Cara Uzlah Di Akhir Zaman
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Siapakah orang paling bahagia di akhir zaman? Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada para pemuja syahwat dunia tentu jawabannya adalah mereka yang punya harta, tahta, dan dikelilingi wanita cantik di sisinya.
Namun jika hal itu ditanyakan kepada para kekasih Allah (Auliya’ Allah) pasti akan lain jawabannya. Menurut Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, orang paling bahagia adalah mereka yang beruzlah dari manusia di akhir zaman. Beliau menyatakan dalam kitabnya,
فالسعيد من اعتزل أهل العصر، واشتغل بربه عنهم، وما هم فيه، وصبر على ذلك حتى يأتيه اليقين،
“Orang yang paling bahagia adalah mereka yang menjauhkan diri (uzlah) dari manusia pada zaman tersebut. Dan sibuk dengan Tuhannya daripada dengan mereka dan apa-apa yang ada pada mereka. Dan bersabar atas keadaan itu hingga datang Al Yaqin.” (Al Washoya Al Nafi’ah Lil Imam Al Hadad, hal.24).
Mengapa dikatakan uzlah dari manusia di akhir zaman merupakan jalan kebaikan, sebab kebaikan di tiap masa menuju akhir zaman kian sulit didapat. Dan manusia di saat itu juga makin didominasi oleh orang-orang bodoh (dalam perkara agama) sehingga apa yang mereka ucapkan, lakukan dan kampanyekan tidak lepas dari urusan duniawi yang banyak mudharatnya.
Dan semua hal itu bagi orang-orang beriman adalah sesuatu yang sangat mengganggu kehidupan dan kenyamanan interaksi mereka dengan Tuhannya yakni Allah.
Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda,
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi).
Sebagai seorang Muslim, tolak ukur kebaikan yang paten adalah tentu dalam perkara agama. Dan inilah pandangan alam (worldview Islam). Tidak peduli sekemilau apapun produk manusia entah itu pemikiran, produk budaya, trend, dan sebagainya jika semua itu dalam kacamata agama adalah buruk maka wajib ditolak bahkan mesti dilawan. Karena dalam benak umat Islam sudah tertancap kalimat Al Islam Ya’lu Wa La Yu’la Alaihi alias Islam itu tinggi dan tiada yang lebih tinggi daripadanya.
Namun ironisnya kini banyak umat Islam yang mengekor kepada para pembenci Islam tanpa paham apa tujuan jahat dari propaganda mereka. Umat Islam mudah silau dengan konten para YouTuber, kagum pada Influencer sosial media, terpukau pada tokoh masyarakat yang followernya banyak dan mudah termakan propaganda media. Yang mana tidak jarang pemikiran mereka itu justru merendahkan Islam.
Masih hangat dalam ingatan bagaimana lantunan suci adzan dijadikan intro bernilai pelecehan pada sebuah program tayangan TV di Korea Selatan.(www.pikiran-rakyat.com).
Meskipun banyak warganet Indonesia yang mengecam hal itu namun ironisnya tidak sedikit muda-mudi Islam di negeri ini yang karena sudah kadung dimabuk budaya K-Pop anteng-anteng saja tidak muncul ghirahnya dalam membela Islam. Seolah-olah adagium Right Or Wrong Is My Idol sudah menjadi slogan hidup mereka.
Kemudian ada anak jenderal yang berada di lingkaran istana menyebutkan bahwa para santri Tahfidzul Qur’an yang serentak menutup telinganya dari lantunan musik di tempat vaksin sebagai generasi yang salah didikan bahkan bisa mengarah pada radikalisme. Dan pendapat ini ironisnya diamini oleh salah satu YouTuber nomor satu di Indonesia.
Tentu ini menjadi sebuah hal yang mengusik hati orang-orang beriman. Bagaimana bisa cara berfikir sedungu itu muncul dari kalangan yang biasa melabeli dirinya dengan Smart People alias orang cerdas (terdidik). (tempo.co)
Bukankah menjadi sebuah paradoks saat tokoh-tokoh yang selama ini mendaku paling toleran, Pancasilais dan Smart People tersebut nyatanya tidak bisa menghargai pilihan pendapat pihak lain. Mereka merasa terganggu dengan perbedaan pendapat dan bahkan seolah memaksakan sudut pandangnya yang paling benar.
Padahal seharusnya itikad baik para santri untuk ikut vaksinasi yang diselenggarakan oleh negara tersebut wajib diapresiasi sebagai bentuk kepatuhan kepada Ulil Amri. Bukan malah mencibir hal di luar kegiatan vaksin itu.
Dan bukankah memilih menutup telinga dari musik lebih moderat daripada memaksa mematikan musik di saat itu. Bayangkan jika santri memaksa penyelenggara vaksin mematikan musik pada waktu itu, tentu media akan menggorengnya lebih pedas dengan labelisasi ekstrem, radikal, Taliban dsb.
Smart People harusnya paham bahwa toleransi bukan berarti memaksakan kehendak kita kepada orang lain. Ibarat ada wanita memakai pakaian sangat terbuka lalu ada lelaki yang tidak mau pandangannya terganggu, bukankah cukup bagi lelaki itu untuk menundukkan pandangannya tanpa harus memaksa si wanita memakai hijab saat itu juga. Dan si wanita juga tidak boleh memaksa si lelaki agar mau melihatnya seolah berkata, “Kenapa aku yang sudah memakai pakaian seksi ini tidak kau lihat, ah radikal kau.” Nah inilah gambaran yang sederhana tentang toleransi itu.
Berbagai kegaduhan itulah yang akhirnya membuat orang-orang beriman tersibukkan dari mengingat Allah serta membuat kehidupan makin menjemukan dan bikin stress. Maka ber-uzlah dari manusia di akhir zaman adalah sebuah solusi.
Jika timbul pertanyaan, bagaimanakah kita bisa melakukan uzlah sedangkan kita adalah makhluk sosial yang masih butuh berinteraksi kepada sesama manusia. Berikut ada tips menarik yang dituliskan oleh Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam kitabnya,
وقال بعض الصالحين لبعض الأبدال : أرشدني إلى عمل أجد قلبي فيه مع الله على الدوم. فقال ؛ لا تنظر إلى الخلق، فإن النظر إليهم ظلمة. فقال : لا أستطيع. فقال له : لا تسمع كلامهم، فإن سماعه قسوة. فقال لا أقوى على ذلك. فقال : لا تعاملهم فإن معاملتهم وحشة. قال: كيف وأنا بين أظهرهم؟ فقال : لا تسكن إليهم وتأنس بهم. فقال : هذا عسى. فقال له : يا هذا تنظرإلى الغافلين، وتسمع كلام الخاطئين، وتعامل البطالين، وتريد أن تجد قلبك مع الله على الدوم !
Berkata sebagian Sholihin kepada sebagian wali Abdal : Beritahu aku kepada amalan yang aku bisa mendapati hatiku di dalamnya bersama Allah secara terus-menerus. Maka berkata si Abdal, “Janganlah melihat kepada manusia karena melihat kepada mereka menyebabkan kegelapan.” Si Sholihin menjawab, “Aku tidak mampu.” Kemudian si Abdal berkata lagi, “Jangan mendengar percakapan mereka karena mendengarkannya menyebabkan kerasnya hati.” Si Sholihin menjawab, “Aku tidak kuat atas hal itu.” Si Abdal berkata lagi, “Jangan berinteraksi dengan mereka karena bisa menyebabkan keterasingan (dari Allah).” Kemudian si Sholihin menjawab, “Bagaimana bisa sedangkan aku berada bersama mereka?” Lalu Si Abdal berkata, “Jangan merasa nyaman dan senang ketika sedang bersama dengan mereka.” Kemudian si Sholihin berkata, “Semoga saya bisa.” Maka si Abdal berkata kepadanya, “Hai (bagaimana) kamu ini, engkau melihat kepada orang-orang lalai, mendengar percakapan orang-orang salah (tukang maksiat), dan berinteraksi dengan para pengangguran, dan engkau ingin mendapatkan hatimu senantiasa bersama Allah?!” (Washoya Al Nafi’ah Lil Imam Al Haddad, Hal. 29).
Dalam percakapan itu si wali Abdal memberi amalan kepada si orang sholeh agar bisa membuat hatinya senantiasa bersama Allah melalui jalan “beruzlah” dari makhluk.
Pertama jangan melihat kepada makhluk. Hal tersebut jika diterapkan di zaman ini bisa juga diaplikasikan dengan membatasi semaksimal mungkin melihat kepada konten sosial media para influencer dan selebritas yang mayoritas didominasi oleh hal ihwal duniawi semata bahkan tidak jarang berisi penistaan kepada agama.
Kedua jangan mendengar percakapan mereka. Di zaman sosial media penerapan dari hal tersebut bisa dilakukan dengan cara membatasi mendengar obrolan masyarakat yang tidak ada manfaatnya bagi agama dan akhirat kita. Baik percakapan itu melalui forum ilmiah, mimbar umum, diskusi publik, percakapan media sosial dan sejenisnya.
Kenapa ini penting dilakukan di akhir zaman, agar supaya hati tidak menjadi keras dimana jika hati sudah mengeras maka itulah alamat dari rusaknya manusia karena hati adalah tempat menerima nasihat.
Bisa jadi ini pula alasan mengapa para santri penghafal Al Qur’an menutup telinganya dari mendengarkan musik saat vaksin tersebut. Ternyata yang mereka lakukan adalah agar tidak mendengar percakapan yang tidak berguna bagi hafalan mereka.
Ketiga adalah jangan terlalu intens berinteraksi dengan manusia sebab berpotensi membuat kita terasing dari Allah. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan menjaga jarak dari bergaul dengan manusia. Selektif dalam memilih kawan, dan ketat dalam mengatur waktu untuk berkumpul dengan manusia kecuali kepada hal-hal yang tidak bisa dihindari seperti sholat Jum’at, sholat jama’ah, bertakziah, menghadiri majelis ilmu, menghadiri undangan, bekerja dan sejenisnya. Dan jika harus berada dalam keadaan berkumpul dengan manusia maka jangan merasa nyaman dan senang ketika berada di dalamnya.
Ada pula nasihat bijak dari Syekh Abdul Qadir Al Jailani Rahimahullah yang masih relevan untuk diterpakan di akhir zaman ini . Beliau berwasiat,
وقال نفع الله به : كن مع الحق كأن لا خلق، و كن مع الخلق كأن لا نفس. فإذا كنت مع الحق كأن لا خلق، وجدت وعرفت، وعن الكل فنيت. وإذا كنت مع الخلق كأن لا نفس، عادلت و اتقيت، ومن التبعات سلمت.
“Jadilah engkau bersama Allah seakan-akan tiada makhluk (di antara engkau dan Allah), dan jadilah bersama makhluk seolah-olah tiada perasaan (saat engkau bersama mereka). Maka jika kamu berada bersama Allah (disertai dengan pandangan) tiada makhluk di antara kau dan Allah, engkau akan temukan Allah dan mengenali Nya, dan terhadap setiap hal selain Allah engkau akan merasa mereka tidak ada (Fana).
Dan ketika kamu berada bersama makhluk (disertai pandangan) seolah-olah tidak ada (terikat) perasaan dengan mereka, maka engkau akan bisa adil dan bertakwa, dan terhadap hak-hak Adami (Haqqul Adami) mereka engkau akan selamat.” (Washoya Al Nafi’ah Lil Imam Al Haddad, Hal. 30).
Imam Abu Hasan As Shadzily Rahimahullah juga mewasiatkan,
أوصاني حبيبي فقال: لا تنقل قدميك الا حيث ترجو ثواب الله تعال، ولا تجلس إلا حيث تأمن غالبا من معصية الله. ولا تصحب إلا من يد لك على الله، أو على أمر الله. وقليل ما هم.
Kekasihku (Kemungkinan adalah sahabat atau guru beliau) menasihatiku dan berkata, “Janganlah kamu menggerakkan kedua kakimu kecuali sekiranya engkau berharap dengan melangkahmu itu mendapatkan pahala dari Allah. Dan jangan bergaul kecuali sekiranya engkau merasa aman daripada bermaksiat kepada Allah. Dan jangan berkawan kecuali dengan orang yang bisa menunjukkanmu kepada Allah atau kepada perintah-perintah Allah yang mana sedikit sekali mereka itu. (Ibid. Hal. 30-31).
Jadi, ber-uzlah bagi orang-orang di zaman ini tidak sefrontal bayangan sebagian besar manusia seperti secara total meninggalkan pergaulan, mengurung diri di kamar, bertapa di tempat sunyi dan memutus segala akses informasi dengan dunia sekitar. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang juga butuh berinteraksi dengan sesamanya.
Syekh Muhammad bin Umar Mubarok Al Hadromy As Syafi’i atau yang masyhur dengan sebutan Imam Bahrok di dalam kitabnya menukil pendapat Imam al Ghozali Rahimahullah yang berkata, “Ketahuilah bahwa zaman sekarang penuh dengan kerusakan yang sangat besar dan manusia dikelilingi oleh berbagai macam kerusakan maka hendaklah kamu menyendiri dari manusia (uzlah) karena manusia (jika kamu tidak melakukan uzlah) akan membuatmu sibuk dari ibadah kepada Allah dan akan merusakmu dari sisi ibadah yang kamu lakukan seperti riya’, membanggakan diri, dan sifat-sifat kepalsuan dalam beribadah. Bahkan mereka akan menjerumuskanmu ke dalam keburukan dan kebinasaan.
Seperti yang dikatakan oleh Hatim Al A’shom yang berkata, “Aku meminta kepada orang-orang untuk beribadah, zuhud dan taat maka mereka tidak melakukannya. Aku berkata kepada mereka bantulah aku dengan mengerjakan itu semua (ibadah dst) tetapi mereka tidak mengerjakannya. Lalu aku berkata biarkanlah aku apabila aku mengerjakannya (ibadah dst) tetapi mereka tidak meridhoinya. Lalu aku berkata jangan kalian mencegah aku apabila aku melakukannya (ibadah dst) tetapi mereka malah mencegahku. Lalu aku berkata janganlah mengajak aku untuk melakukan hal yang dimurkai Allah tetapi mereka malah mengajakku untuk melakukan itu. Maka aku meninggalkan mereka dan sekarang aku hanya memikirkan diriku sendiri.”
Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Muhammad shallallahu Alaihi wasallam telah menggambarkan suatu zaman yang mengharuskan kita untuk melakukan uzlah karena tidak ada cara yang paling baik selain itu. Ternyata apa yang digambarkan oleh beliau telah terbukti sejak lama.
Demikian pula para ulama salaf telah memberikan peringatan kepada umat Islam akan kerusakan yang terjadi pada zamannya dan penduduknya. Mereka pun menganjurkan untuk melakukan uzlah bahkan sebagian mereka telah melakukannya.
Kalau demikian bagaimana dengan zaman ini, bukankah zaman ini jauh lebih buruk dari zaman mereka. Bukankah keilmuan yang mereka miliki jauh lebih tinggi dengan yang kita miliki dan bukankah kita ini adalah orang-orang yang memiliki sedikit ilmu serta sedikit kesabaran dan sedikit pula melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu kita sudah seharusnya melakukan uzlah.
Kemudian ketahuilah bahwasannya manusia terbagi menjadi dua golongan :
Pertama, seseorang yang tidak dibutuhkan oleh orang lain, seperti untuk mengambil ilmunya atau menerangkan tentang hukum agama. Orang seperti ini lebih baik melakukan uzlah dan tidak bergaul dengan orang-orang kecuali untuk melaksanakan sholat Jum’at, sholat jama’ah, majelis ta’lim, atau keperluan hidupnya seperti bekerja.
Kedua , seseorang yang dibutuhkan oleh orang lain. Seperti mengajar atau menerangkan tentang hukum agama. Orang seperti ini tidak dibenarkan melakukan uzlah. Akan tetapi dia harus bergaul dengan mereka (manusia) dan membawa mereka ke jalan yang benar untuk beribadah kepada Allah.
Dan orang seperti ini memerlukan dua bekal yaitu, pertama harus sabar, lemah lembut, bijaksana, dan memohon pertolongan kepada Allah. Kedua, jasadnya bersama dengan orang-orang namun hatinya selalu bersama Allah.” (Al Hadiqah Al Aniqah fi Syarh Al Urwah al Watsiqah, Terbitan Darul Hawi, Hal 77-78).
Inilah cara-cara uzlah yang bisa dilakukan oleh manusia di zaman sekarang. Para ulama salaf sangat paham bahwa keadaan manusia di setiap masa kian menuju kerusakan. Maka mereka susun kitab-kitab yang berisi panduan bagi manusia di zamannya masing-masing guna menghadapi berbagai fitnah akhir zaman.
Yang mana kitab-kitab tersebut meskipun disusun ratusan tahun silam, namun seolah disiapkan buat umat zaman sekarang karena realitasnya kerusakan zaman sekarang jauh lebih parah dari zaman mereka. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :
https://hidayatullah.com/kolom/akhir-zaman/2021/09/22/216799/cara-uzlah-di-akhir-zaman.html