Perlukah Menjadi Sufi

 Perlukah Menjadi Sufi

Oleh : Muhammad Syafii Kudo

Saat ini Sufisme (tasawwuf) menjadi nama tanpa realitas. Dulu ia pernah menjadi realitas tanpa nama. Demikian Abu Al Hasan Busanji pernah berucap. Masa yang dia maksud adalah pada abad 10 Masehi yakni sekitar tiga abad setelah masa hidup Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. 

Untuk mengomentari pandangan tersebut pada abad berikutnya, Al Hujwiri menambahkan, “Pada masa Sahabat Nabi dan generasi langsung sesudahnya (Tabiin), sebutan ini tidak ada, tetapi realitasnya terdapat pada semua orang. Sekarang, sebutan ini ada tanpa realitas. (Al Hujwiri, dalam Kasyf al Mahjub, Bab III).

Dalam ungkapan senada, tetapi tanpa begitu memuji atau mencerca, Ibn Khaldun dalam Magnum opusnya, Muqodimmah, Bab XI, menyatakan bahwa pada generasi pertama Islam, mistisisme terlalu general (umum) untuk memiliki sebutan khusus. Tetapi ketika keduniawian begitu luas dan masyarakat semakin cenderung terjerat dengan jaring kehidupan ini, mereka yang mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada Allah dibedakan dari masyarakat yang lain dengan julukan sufi. (Martin Lings, dalam What Is Sufisme, Terj., Pustaka Sufi hal. 55).

Pandangan para tokoh Islam lintas zaman itu jika ditarik titik temunya secara sederhana akan bertemu pada satu titik kesimpulan bahwa sejak masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam hingga kelak akhir zaman, tasawwuf adalah sebuah realitas yang akan selalu hidup meskipun tidak bisa dipungkiri semakin menuju akhir zaman nilai agung tasawwuf itu kian tereduksi dan hanya jadi label semata.

Bahkan karena ulah beberapa kelompok yang mendaku sebagai kelompok sufi  (Pseudo Sufi) tasawwuf kian tercemarkan namanya. Sebagian kelompok Islam yang sedari awal alergi dengan tasawwuf, akibat ulah jahil (tidak berdasar ilmu) kelompok sufi palsu, akhirnya kian menemukan hujjah untuk memukul secara serampangan bahwa tasawwuf atau sufi itu sesat. 

Padahal jika merujuk kepada kitab-kitab para tokoh sufi besar, maka tidak akan didapati di dalam ilmu tasawwuf itu ajaran yang menyimpang dari jalan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam. 

Syekh Abdul Wahhab As Sya’roni di dalam kitab Al Yawaqit Wal Jawahir yang beliau nukil dari kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam Ghozali Rahimahullah dan dinukil pula dari sebagian Arifin menyatakan,

من لم يكن له نصيب من علم القوم يخاف عليه سوء الخاتمة

“Barangsiapa tidak ada baginya ilmu kaum yakni ilmu tasawwuf niscaya ditakutkan atasnya mati dalam keadaan su’ul khotimah

Syekh Abul Hasan Al Shadzily Rahimahullah berkata,

من لم يتغلغل في هذه العلوم مات مصرا على الكبائر وهو لا يعلم 

“Barang siapa yang tidak mendalami ilmu ini (tasawwuf) maka dia akan terus melakukan dosa besar dalam keadaan tidak sadar”

Syekh Ibn Abbad dalam Syarh Al Hikam Lil Ibni Atho’illah mengatakan,

وهذه هي العلوم التى ينبغى للانسان ان يستغرق فيها عمره الطويل ولا يقنع منها بكثير ولا قليل

“Dan inilah ilmu yakni ilmu tasawwuf yang seyogyanya bagi manusia untuk menenggelamkan usianya yang panjang di dalamnya (untuk mempelajarinya) dan tidak (boleh) merasa puas dari mempelajarinya”

Syekh Abdus Shomad Al Falimbani saat mengomentari maqolah Syekh Ibn Abbad tersebut menyatakan, “Dan inilah yakni ilmu tasawwuf yaitulah segala ilmu yang seyogyanya bagi manusia bahwa dikaramkannya di dalamnya akan umurnya yang lanjut pada menuntut dia yakni seyogyanya bagi orang yang menghendaki kemenangan di dalam dunia dan akhirat itu dihabiskannya umurnya itu di dalam mengaji ilmu tasawwuf sama adanya fardhu ain atau fardhu kifayah dan mengamalkan dia dan mengerjakannya dan muthola’ah akan dia karena tiap-tiap mereka yang mengetahui ilmu tasawwuf itu maka banyak takutnya akan Allah Ta’ala dan yang lain daripada ilmu tasawwuf tiada dituntut membanyakkan dia melainkan sekedar fardhu ain jua.” (Hidayatus Salikin, Syekh Abdus Shomad Al Falimbani, hal 5, Penerbit Haramain tahun 1354 H)

Sayyid Abdul Qodir Al Idrus di kitab Ad Darus Samin mengatakan, “Ketahui olehmu bahwasanya segala ilmu yang dituntut akan dia fardhu ain itu ada tiga perkara, yaitu; Ilmu tauhid, Ushul Fiqh, dan Ilmu Tasawwuf. 

Adapun kadar fardhu ain pada ilmu tauhid itu adalah mengenal kadar yang mengetahui dengannya dzat Allah dan sifat-Nya yang Salbiah dan sifat-Nya yang Subuthiyah dengan sekira-kira yang membuat sah imannya yakni mengenal barang yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah juga mengenal para utusan Allah dan beriman pada mereka. Selebihnya daripada itu maka hukumnya fardhu kifayah.

Adapun kadar fardhu ain pada ilmu Syara’ adalah mengenal pada kadar yang membuat dia mengetahui segala fardhu thoharoh, sembahyang, puasa, haji dan zakat dan yang membatalkan kelima rukun Islam itu. Adapun yang selebihnya daripada itu maka hukumnya fardhu kifayah.

Adapun kadar fardhu Ain pada ilmu tasawwuf yaitu mengetahui pada sesuatu yang membuat selamat segala amal dhohir daripada kerusakan dan selamat daripada yang membatalkannya seperti sembahyang daripada yang membatalkan pahalanya seperti saat seseorang bersembahyang disertai perasaan riya’ atau ujub atau sum ’ah yang mana semua itu bisa membatalkan pahala sembahyang itu.” (Hidayatus Salikin hal. 5-6).

Jika melihat  pandangan para pembesar sufi tersebut sangat gamblang diketahui bahwasanya tasawwuf adalah merupakan ilmu yang sangat utama untuk digeluti oleh umat Islam. Sebab tasawwuf adalah sebuah ilmu yang merupakan satu dari tiga rukun agama (Trilogi Rukun Agama) seperti yang dijelaskan di dalam Hadis Jibril As.

Disebutkan bahwa setelah terjadi  dialog panjang antara malaikat Jibril As yang menyamar sebagai seorang lelaki asing dengan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam mengenai apa itu islam, iman, dan ihsan, beberapa waktu kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam mendatangi Sayyidina Umar Bin Khotob Ra dan berkata, 

فانه جبريل أتاكم يعلمكم دینکم .( رواه مسلم )

“Sesungguhnya Jibril As mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim).

Habib Zein Bin Ibrahim Bin Smith menjelaskan syarah hadis Jibril tersebut di dalam kitabnya,

 اعلم أن هذا الحديث كما اشتمل على أركان الدين الثلاثة - وهي: الإسلام، والإيمان، والإحسان - فقد تضمَّن أيضا أنواع العلوم الثلاثة - فالأول: علم الفقه، وهو: العلم بالأحكام الشرعية العملية التي فرض الله القيام بها على المسلمين والمسلمات.

 والثّاني: علم التوحيد، وهو ما يجب اعتقاده على المكلف من الإلٰهيَّات والنبويَّات والسّمعيّات.

 والثّالث: علم التصوف، وهو: علم اخلاق القلب التي يجب على العبد أن يتحلّىٰ بها من المنجيات، ويتخلّىٰ عنها من المهلكات،

 فهذه العلوم الثّلاثۃ يجب على كل مكلّف طلبها وتحصيلها، ولا رخصة له في تركها؛ فقد قال صلى الله عليه وآله وسلم: اطلبوا العلم ولو بالصين ؛ فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم،

 (رواه ابن عبد البر ) 

“Ketahuilah sesungguhnya hadis ini mencakup atas rukun-rukun agama yang tiga yaitu Islam; Iman; dan Ihsan. Dan sungguh mengandung pula macam-macam ilmu yang tiga. Yang pertama adalah ilmu fikih yaitu ilmu tentang hukum-hukum amaliyah syariat yang Allah wajibkan dengannya kepada kaum muslim dan muslimah untuk menjalankannya. 

Yang kedua adalah ilmu tauhid yaitu apa-apa yang wajib bagi setiap mukallaf meyakininya yakni tentang masalah ketuhanan, kenabian, dan nash-nash Al Qur’an & Hadis. 

Yang ketiga adalah ilmu tasawwuf yaitu ilmu budi pekerti (akhlak) yang wajib atas seorang hamba berhias dengannya daripada sesuatu yang menyelamatkan dan berlepas diri darinya dari kerusakan-kerusakan. 

Maka tiga ilmu inilah yang wajib atas setiap mukallaf untuk mencarinya. Dan tidak ada keringanan bagi mukallaf untuk meninggalkannya.” (Hidayatut Tholibin Fi Bayani Muhimmatid Dien Syarh Hadis Jibril hal. 14 cet. Darul Ulum Al Islamiyah)

Jadi menurut hadis Jibril, tiga ilmu yang fardhu ain bagi setiap mukallaf untuk mempelajarinya dan tidak ada toleransi sama sekali bagi mereka untuk tidak mempelajarinya adalah ilmu fikih, tauhid, dan tasawwuf (Ihsan). Adapun di luar tiga ilmu pokok tersebut maka hukumnya adalah fardhu kifayah belaka.

Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas menyatakan,

I have defined tasawwuf as ‘the practice (a'mal) of the shari'ah at the station (maqam) of excellence (Ihsan). 

“Saya (Syed Naquib Al Attas) telah mendefinisikan tasawwuf sebagai 'praktik (a'mal) syari'ah di stasiun (maqam) keunggulan (Ihsan). “

Definisi ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Muslim, di mana Nabi Suci, saw, mengatakan tentang ihsan: “bahwa kamu harus menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya .. .” (an ta'buda' llaha ka'annaka tardhu...). Ibadah-ibadah yang dimaksud dalam maqam keunggulan ini dilengkapi dengan pengetahuan berdasarkan visi realitas dan kebenaran yang 'dilihat' oleh organ kognisi spiritual yang berada di pusat kesadaran manusia (yaitu fu'ad, atau qalb). (The Positive Aspect Of Tasawwuf, hal. 01)

Imam Junaid Al Baghdadi menyatakan,

ما أخذنا التصوف عن القيل والقال، ولكن عن الجوع، وترك الدنيا، وقطع المألوفات والمستحسنات

“Kami tidak mengambil (sumber) ilmu tasawuf dari katanya ini dan itu (sembarangan) akan tetapi dari lelaku berlapar-lapar, meninggalkan dunia, dan memutus semua keakraban dan kelayakan dengan dunia”

Sebagian ulama sufi ditanya mengenai tasawwuf, maka mereka berkata,

هو الخروج من كل خلق دنيي والدخول في كل خلق سني

“Tasawwuf adalah keluar dari akhlak yang tercela dan masuk kepada akhlak yang mulia” (Al Washoya An Nafi’ah Lil Imam Al Haddad, hal. 30)

Jika menilik beberapa referensi mengenai definisi dan pentingnya ilmu tasawwuf tersebut dan melihat kondisi dunia global yang kian rusak akibat hegemoni Materialisme dan Kapitalisme saat ini, nampaknya ilmu tasawwuf justru kian menjadi kedaruratan yang nyata untuk diterapkan pengamalannya oleh tiap-tiap Muslim.

Bukankah kini ketimpangan sosial masyarakat dunia terutama di Indonesia sudah sangat jelas terpampang dimana segelintir manusia bisa bersendawa akibat kekenyangan di atas jutaan paduan suara perut manusia lainnya yang keroncongan, hukum tumpul bagi elite sebaliknya tajam bagi kaum jelata, penjilat penguasa leluasa “berkicau” sedangkan yang kritis dibabat habis dll. 

Ini semua merupakan akhlak tercela yang kini melanda kehidupan manusia. Sedangkan tasawwuf bertujuan mengeluarkan manusia dari akhlak yang rendah untuk memasukkannya kepada akhlak yang mulia. Maka tasawwuf sudah tentu merupakan sebuah kebutuhan mendesak hari ini. Artinya masing-masing individu saat ini memang perlu menerapkan nilai-nilai tasawwuf dalam kehidupannya, meski tanpa menyebut dirinya dengan identitas sufi sekalipun. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

Dimuat Di :

https://hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/2021/08/30/214738/perlukah-menjadi-sufi.html



BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama