Tasawuf Sebagai Pemandu Sistem Pendidikan Nasional Indonesia
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Taqwa Is Solution |
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2, arti dari pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Kemudian disebutkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yang mana tujuan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut disebutkan bahwa tujuan paling awal dari Pendidikan Nasional adalah agar rakyat Indonesia menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa (Bertauhid).
Hal ini menunjukkan bahwa iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa adalah faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia. Apalagi dalam Pancasila yang merupakan dasar negara, sila pertama juga berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan demikian seyogyanya pendidikan nasional harus mengedepankan pendidikan agama. Sebab kualitas pendidikan agama yang baik akan membuat hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan juga sesama manusia akan membaik. Jika tujuan ini tercapai maka suatu bangsa akan memiliki calon penerus dengan sumber daya manusia yang baik.
Ini sangat selaras dengan nilai-nilai Islam yang sangat menjunjung nilai Ilmu dan takwa. Karena di dalam Islam, orang beriman dan bertakwa selalu berjalan menuju Allah di dalam bimbingan ilmu.
Di dalam kitab-kitab Tasawuf jamak didapati pembahasan mengenai iman, akhlak, dan takwa. Artinya sistem pendidikan nasional mestinya banyak mengadopsi sistem pendidikan dalam Islam.
Sebab selain terbukti keberhasilannya dalam mencetak insan-insan cendekia yang beradab, sistem pendidikan Islam juga sangat komprehensif dan relevan sepanjang zaman karena diolah berdasar tuntunan wahyu.
Sebab para ulama yang menyusun kitab-kitab Tasawuf adalah penerus para Nabi yang mana ilmunya bersanad kepada guru-guru yang puncaknya bermuara kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Jadi apa yang mereka tulis bukanlah berdasar asumsi pribadi atau konsensus manusia belaka yang mana kedua hal itu bisa salah karena bersumber dari pemikiran manusia biasa.
Lantas kenapa harus tasawuf ? Sebab tasawuf adalah pengamalan dari nilai Ihsan yang merupakan salah satu dari rukun agama yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam setelah berdialog dengan Jibril Alaihis Salam di depan para Sahabatnya (Islam, Iman, Ihsan, Asrotus Sa’ah).
Dan tasawuf adalah ilmu tentang mempelajari akhlak seluruhnya. Baik akhlak kepada Khaliq juga akhlak kepada makhluk. Bukankah untuk menjadi manusia yang bertakwa harus memiliki akhlak yang baik terlebih dahulu.
Sesuai tujuan pertama Sisdiknas yang mengamanahkan untuk mencetak insan-insan yang beriman dan bertakwa, ada baiknya dikupas terlebih dahulu apa itu takwa. Sebab semua agama di Indonesia ini bisa mengklaim agama mereka punya otoritas untuk membahas bab Iman sesuai kacamata akidah mereka dalam tujuan Sisdiknas tersebut.
Namun dalam pembahasan takwa, nampaknya hanya Islam satu-satunya agama yang memiliki otoritas untuk membahasnya. Karena takwa juga merupakan frasa kata serapan dari Al Qur’an. Artinya pembahasan takwa tidak akan bisa lepas dari ajaran Al Qur’an.
Di dalam kitab Al Washoya An Nafi’ah, Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad menjelaskan perincian takwa dengan sangat apik. Beliau mengatakan, “Ketahuilah bahwasanya sesuatu yang lebih berhak didahulukan di dalam sebuah wasiat adalah wasiat agar bertakwa kepada Allah. Maka aku wasiatkan kepada diriku sendiri dan seluruh orang beriman dan kaum Muslimin agar bertakwa kepada Allah. Maka sesungguhnya takwa kepada Allah adalah wasilah yang menyampaikan kepada kebaikan dunia dan akhirat. Dan pondasi yang karenanya bangunan (urusan) agama bisa tetap (kokoh). Dan jika pondasi tersebut tidak berada pada puncak kekuatannya maka bangunan (urusan agama) tadi lebih dekat kepada kehancuran daripada kepada kesempurnaannya.”(Al Washoya An Nafi’ah, Hal. 18).
Takwa adalah pesan paling utama yang harus disampaikan, diajarkan, disebarkan, dan diwasiatkan dari generasi ke generasi di setiap zaman. Sebab dengan bekal takwa inilah kebaikan dunia dan akhirat bisa dicapai. Pesan takwa selalu diulang-ulang di dalam ajaran Islam. Bahkan minimal satu kali sepekan dalam sholat Jum’ah sang Khatib wajib menyampaikan pesan takwa di dalam khotbahnya. Jika tidak dilakukan maka ibadah sholat Jum’ah tersebut menjadi tidak sah karena wasiat takwa adalah salah satu rukunnya.
Para Salaf Sholeh pun ketika dimintai nasihat sering berkata kepada si peminta nasihat, “Bertakwalah kepada Allah di manapun kalian berada.”
Kemudian Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad melanjutkan di dalam kitabnya tersebut mengenai urutan takwa mulai dari yang terendah hingga tertinggi. Takwa dibagi atas beberapa tingkatan (jenjang).
Yang pertama adalah meninggalkan maksiat dan perkara yang diharamkan oleh Allah. Maka takwa dalam hal ini adalah fardhu yang wajib dilaksanakan.
Urutan takwa berikutnya adalah meninggalkan perkara-perkara yang tidak jelas halal dan haramnya (Syubhat). Takwa dalam perkara ini adalah termasuk sifat Wara’ yang membentengi (menjaga) sang Muttaqien.
Kemudian urutan takwa yang terakhir adalah meninggalkan sesuatu yang berlebihan dari sesuatu yang mubah yaitu setiap sesuatu yang pemakaiannya bertujuan sebatas untuk memenuhi kebutuhan syahwat belaka. Takwa dalam hal ini adalah termasuk dalam kategori zuhud yang kuat.
Disebut zuhud yang kuat jika ketika meninggalkan perkara-perkara mubah yang berlebihan tersebut dibarengi dengan perasaan yang santai dan senang, dan jikalau meninggalkan perkara-perkara mubah yang berlebihan tersebut disertai dengan perasaan benci dan usaha yang kuat maka itu dinamakan dengan tazahhud yakni masih dalam taraf berusaha untuk zuhud (alias belum zuhud yang sebenarnya).
Dan setiap orang yang meninggalkan sesuatu karena makhluk atau takut kepada mereka atau rakus terhadap apa yang ada pada diri mereka maka itu adalah takwa atau takut terhadap mereka dan dia bukan takut atau taqwa terhadap Allah.
(Sebab) hanya saja yang dinamakan takut kepada Allah adalah orang yang meninggalkan sesuatu karena untuk mencari Rida Allah dan suka kepada pahala Allah dan takut kepada siksa Allah. (Al Washoya An Nafi’ah, Hal. 18).
Lihat betapa detailnya Imam Al Haddad membahas mengenai tingkatan takwa yang jika ditelaah sangat urgen untuk diterapkan di dalam sistem pendidikan nasional. Sebab penyakit moral bangsa ini berupa korupsi dan kedzaliman yang sudah merajalela harus diakui mayoritas dilakukan oleh oknum-oknum alumni pendidikan yang tidak rendah. Banyak dari mereka yang sekolah tinggi jebolan lembaga pendidikan ternama baik lokal maupun mancanegara. Namun nyatanya mereka masih korupsi dan banyak melahirkan kebijakan publik yang menyengsarakan rakyat.
Seandainya para pemegang kebijakan di negeri ini bisa menjalankan ketakwaan baik pada tingkatan terendah apatah lagi yang tertinggi dalam trilogi klasifikasi ketakwaan Imam Al Hadad di atas tentu kedzaliman, ketimpangan keadilan hukum dan korupsi bisa diatasi.
Jika tiap petinggi negeri mampu meninggalkan perkara-perkara yang syubhat (Wara’) maka mereka akan terjaga dari berbuat dzalim. Dan apabila mereka mampu berlaku Zuhud atau minimal Tazahhud yakni meninggalkan perkara yang berlebihan dari sesuatu yang sebenarnya halal maka dapat dipastikan negara ini akan aman sentausa sejahtera. Ini sesuai dengan firman Allah,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi mereka rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.” (QS At-Tholaq : 2-3).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri”. (Al-A’raf: 96).
Maka daripada itulah tujuan besar untuk mencetak manusia-manusia bertakwa dalam sistem pendidikan nasional harus didukung penuh. Dan Islam jauh hari sudah menerapkan hal itu dalam mendidik umatnya.
Bahkan menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia agar terbentuk menjadi manusia yang sempurna (Insan Kamil).
Dan tujuan pendidikan Islam menurut Al Attas ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik.
“Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia yang mempunya adab dalam pengertian yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia.
Sebab dasar dari pendidikan Islam menurut Al-Attas itu ada tiga yakni Al Qur’an , As-Sunnah, dan Ijtihad, dari ketiga dasar tersebut akan terbentuk dan muncul sosok manusia yang sempurna (Insan Kamil).
Dan manakala suatu negeri dikelola oleh sekumpulan Insan Kamil, apakah masih diragukan kebaikan yang akan didapat oleh negeri itu? Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :