Mudik dan Cinta Tanah Air

 Mudik dan Cinta Tanah Air

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Go Home

"Setelah punya rumah, apa cita-citamu?”

Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela”.

-Joko Pinurbo

(Baju Bulan; Seuntai Puisi Pilihan)

Kutipan puisi dari Joko Pinurbo (Jokpin) tersebut saya kutip untuk mewakili keadaan hati jutaan rakyat negeri ini yang sedang dilanda kangen pada rumahnya. Rindu pada kampung halamannya. Sangat ingin berjumpa ibu bapaknya. Juga kepada kawan, sanak saudara dan kenangan masa kecilnya di tanah kelahiran. Iya, semua perasaan itu terangkut dalam satu laku khas masyarakat nusantara yang bernama mudik.

Berdasar beberapa sumber referensi, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Dan setiap daerah  memiliki penamaan masing-masing dalam menyebut tradisi mudik tersebut. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata ‘Mulih Disik’ yang berarti pulang dulu sejenak.

Sedangkan bagi masyarakat Betawi, mudik diartikan sebagai ‘kembali ke udik (kampung)’. Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria Van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau Minang. Ia menjelaskan, “Bagi orang Minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah ‘pulang basomo.’

Menurut sejarawan muda Betawi, JJ. Rizal, Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut ‘mudik’. Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus sebagai Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet bagi orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. “Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama Jakarta, jadi identik dengan mudik,” kata Rijal.

Mudik memang bukan hanya perkara rindu. Dalam lintasan sejarah Republik ini, mudik jadi simbol pengakuan sosial. Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para pemudik itu bagai pahlawan.

Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker dan akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder. “Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan,” kata JJ. Rijal.

Bahkan saking populernya laku mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di e-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015), menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis, yang mampu menembus waktu yang panjang.

Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu ‘homo festivus’, yakni makhluk yang senang festival.

Karenanya, Komaruddin Hidayat mengatakan,“... dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

Miftahul Arzak, Rektor Institut Sosial dan Budaya (IISBUD) Sumbawa Besar, mengungkap hal yang sama. Miftah memandang mudik sebagai langkah untuk balik ke tanah kelahiran.

“Orang yang merasa diri mudik itu adalah orang-orang yang merasa bahwa tanah yang dipijak saat ini bukanlah yang kekal melainkan sementara. Maka, mereka perlu balik ke daerah asal atau kelahiran dalam jangka waktu tertentu,” kata Miftah.

Oleh sebab itu, orang-orang yang melakukan tradisi mudik sudah tentu memiliki ragam tujuan. Kadang Mudik dimaknai sebagai bentuk pengakuan dirinya ke tanah asal, kadang pula sebagai bentuk rindu akan hangatnya suasana di kampung halaman yang tiada dua.

“Atas dasar itu, jelas sudah alasan kenapa kadang ada orang-orang yang berlomba untuk balik ke tanah kelahirannya. Entah mudik digunakan sebagai lambang dari kesuksesan seseorang di tanah rantau, atau hanya sebagai bentuk kerinduan akan tanah kelahiran. Yang jelas dari semuanya ialah momen silaturahmi lah yang dinanti-nanti,” tutup Miftahul Arzak.(https://voi.id/amp/50051/sejarah-mudik-nusantara?__twitter_impression=true)

Dari riwayat sejarah mudik itulah maka wajar belaka jika masyarakat banyak yang kecewa saat pemerintah mengumumkan bahwa tahun ini mudik bagi pribumi dilarang, atau katanya yang diperbolehkan hanya area lokal saja atau boleh sebelum tanggal sekian bla bla bla. Namun ironisnya di saat yang sama, didapati fakta bahwa beberapa tempat wisata dan pusat perbelanjaan diberi izin untuk beroperasi. Dan lebih absurdnya adalah diperbolehkannya WNA asing tempat asal virus Covid-19 masuk ke negeri ini.

Beberapa anomali kebijakan itulah yang  membuat masyarakat kekeuh untuk tetap mudik apapun resikonya. Bahkan beredar slogan di kalangan warganet,"Tahun Depan Covid-19 belum tentu hilang, namun tahun depan orang tua belum tentu masih hidup."

Mudik selain sebagai laku ritual budaya-keagamaan tahunan, ia juga merupakan gambaran fitrah bagi makhluk hidup yang bagaimana pun juga selalu ingin kembali ke sarang (tanah kelahiran).

Ikan Salmon yang lahir di sungai tawar dan setelah dewasa bermigrasi ke laut hingga jarak  ribuan kilometer, tetap akan kembali ke sungai tawar tempat asal dia dilahirkan dahulu saat hendak bertelur.

Ada pula penyu yang setelah ditetaskan di pasir pantai dan menjadi tukik dia akan berenang bebas ke lautan luas hingga jarak yang jauh dan waktu yang lama. Namun saat hendak bertelur, mereka akan kembali ke pesisir pantai tempatnya dulu ditetaskan oleh induknya. 

Mengutip livescience.com, Roger Brothers dari Universitas Carolina Utara di Amerika Serikat pernah memimpin sebuah penelitian untuk mengetahui cara penyu kembali ke tempat kelahirannya. Tim tersebut menggunakan data dari tahun 1993 sampai 2011.

Dari hasil penelitian itu, diketahui ternyata penyu-penyu mengikuti medan magnet Bumi. Namun, tim peneliti itu masih belum tahu apa yang membuat penyu-penyu tersebut dapat mengenali medan magnet Bumi.

Jika hewan sebagai makhluk tak berakal saja bisa memiliki ikatan yang kuat dengan tempat asalnya dan rela “mudik” dari perantauan mereka meski harus menempuh jarak ribuan kilometer, maka bagaimana pula dengan manusia?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanah air secara sederhana didefinisikan sebagai negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefinisikan wathan sebagai,

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

“Wathan ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.” (Ali Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H, hal. 327).

Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri alamiah mencintai tempat lahirnya (kampung halaman) tentu memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan kampungnya. Sebab ada Childhood Memories yang pernah terukir di kampung halaman.

Mengenai kampung halaman ini Allah SWT berfirman,

أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قَلِيْلٌ مِنْهُمْ

“Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka…” (QS. An-Nisa' [4]: 66).

Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir fil Aqidah wal Syari’ ah wal Manhaj menyebutkan,

وفي قوله: (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) إِيْمَاءٌ إِلىَ حُبِّ الوَطَنِ وتَعَلُّقِ النَّاسِ بِهِ، وَجَعَلَه قَرِيْنَ قَتْلِ النَّفْسِ، وَصُعُوْبَةِ الهِجْرَةِ مِنَ الأوْطَانِ.

“Di dalam firman-Nya وِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ  terdapat isyarat akan cinta tanah air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah menjadikan keluar dari kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya hijrah dari tanah air.” (Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, Damaskus, Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H, Juz 5, hal. 144).

Pada kitabnya yang lain, Tafsir al-Wasith, Syekh Wahbah Al-Zuhaily mengatakan,

وفي قَولِهِ تَعَالى: (أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ) إِشَارَةٌ صَرِيْحَةٌ إلَى تَعَلُقِ النُفُوْسِ البَشَرِيَّةِ بِبِلادِها، وَإِلَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مُتَمَكِّنٌ فِي النُفُوْسِ وَمُتَعَلِقَةٌ بِهِ، لِأَنَّ اللهَ سُبْحانَهُ جَعَلَ الخُرُوْجَ مِنَ الدِّيَارِ وَالأَوْطانِ مُعَادِلاً وَمُقارِنًا قَتْلَ النَّفْسِ، فَكِلَا الأَمْرَيْنِ عَزِيْزٌ، وَلَا يُفَرِّطُ أغْلَبُ النَّاسِ بِذَرَّةٍ مِنْ تُرابِ الوَطَنِ مَهْمَا تَعَرَّضُوْا لِلْمَشَاقِّ والمَتَاعِبِ والمُضَايَقاتِ.

“Di dalam firman Allah “keluarlah dari kampung halaman kamu” terdapat isyarat yang jelas akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya, dan (isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di hati dan berhubungan dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama beratnya. Kebanyakan orang tidak akan membiarkan sedikitpun tanah dari negaranya manakala mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.” (Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir al-Wasith, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1422 H, Juz 1, hal. 342).

Ada pula hadis yang berbunyi,

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ....... وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ   :

“Diriwayatkan dari sahabat Anas Radiyallahu Anhu; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany (wafat 852 H) dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari (Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1379 H, Juz 3, hal. 621), menegaskan bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil (petunjuk): pertama, dalil atas keutamaan kota Madinah; kedua, dalil disyariatkannya cinta tanah air dan rindu padanya.

Mengenai kerinduan dan kecintaan pada tanah kelahiran, disebutkan dalam sebuah Hadis yang berbunyi,

“Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR Ibnu Hibban).

Kemudian ada disebutkan di dalam Al Qur’an,

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash: 85).

Para Mufassir dalam menafsirkan kata معاد  terbagi menjadi beberapa pendapat. Ada yang menafsirkan kata معاد dengan Makkah, akhirat, kematian, dan hari kiamat. Namun menurut Imam Fakhr Al-Din Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib, mengatakan bahwa pendapat yang lebih mendekati yaitu pendapat yang menafsirkan dengan Makkah.

Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (wafat 1127 H) dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan,

وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ ....... قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ.

“Di dalam tafsirnya ayat (QS. Al-Qashash:85) terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”, kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)….. Sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”. (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal. 441-442). (Cinta Tanah Air)

Jadi mudik bukan sesederhana yang diduga oleh sebagian orang. Mudik bukan hanya perkara saling sapa antar sanak keluarga yang memang bisa diganti lewat pertemuan daring melalui gawai. Atau sekedar berbagi oleh-oleh khas Nusantara dari tempat rantau seperti Jipang (Bipang) Pasuruan dan makanan halal lainnya yang bisa diganti dengan mengirimkannya lewat jasa daring. 

Mudik lebih dari sekedar itu semua. Mudik adalah pengejawantahan dari cinta tanah air karena di dalam mudik ada sebuah laku fitrah manusia yang ingin menapak kembali tanah kelahirannya, rumahnya, sudut-sudut kamar dan cengkerama sanak keluarganya  yang tidak akan bisa tergantikan dengan apapun. 

Dan mudik adalah salah satu ikhtiar manusia agar tidak lupa pada akarnya, terutama darimana dia berasal. Dan bagi yang memiliki perenungan yang lebih dalam, mudik adalah simulasi bagaimana manusia pasti kembali ke asalnya yang hakiki yakni Allah SWT. “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (al-Baqarah 156). Dan inilah mudik sejati yang tiada seorangpun bisa menghalanginya. Wallahu A'lam Bis Showab.

*Orang Kampung (Udik)

Dimuat Di : https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2021/05/11/208145/mudik-dan-cinta-tanah-air.html














BACA JUGA

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama