KOLONIALISME DI PALESTINA
Oleh: Dr. Kholili Hasib
Real Agressor |
Pada Selasa, 18 Mei 2021, Jam’iyyah Nahdatul Ulama (NU) secara resmi mengutuk serangan militer Israel kepada negara Palestina. Melalui ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), berharap agar kekerasan di Palestina segera berakhir. Hal itu, demi menjaga solidaritas sesama Muslim, demi terhapusnya penjajahan di muka bumi ini dan demi tegaknya hak-hak kemanusiaan. Demikian sikap NU sebagaimana dibacakan oleh KH. Said Agil Siraj.
Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa ada tiga isu besar dalam persoalan Palestina-Israel. Yaitu; agama, penjajahan dan kemanusiaan. Bagaimana pun peperangan yang terjadi antara Palestina-Israel sejak perang salib sampai saat ini tidak pernah jauh-jauh dari akar keagamaan. Baik Islam, Yahudi maupun Kristen.
Ketika pasukan Inggris baru saja memasuki al-Quds pada perang Salib, panglima perangnya mengatakan: “Kini telah selesai perang salib”. Sang jenderal Inggris itu tegas menyatakan, peperangannya karena agama. Tetapi, sejak pertama kekerasan terjadi, yaitu pada perang salib sampai pada zaman modern ini, korban paling menyedihkan adalah masyarakat Muslim Yerusalem.
Karena itu, Shalahuddin al-Ayyubi tidak pernah bersedia dengan pendekatan perdamaian abal-abal. Raja Richard Inggris pernah mengajukan perdamaian dengan pasukan Muslimin pada 9 Oktober 1192. Dengan alasan peperangan telah memakan banyak korban dari kedua pihak, maka raja Inggris itu meminta berdamai. Tapi yang tidak bisa diterima Shalahuddin adalah Inggris menuntut sesuatu yang telah menjadi milik kaum Muslim.
Dalam surat usulan, Richard meminta Baitul Maqdis dan beberapa daerah di Yordania dikembalikan kepada Inggris, begitu pula sejumlah benteng di sekitar al-Quds, dan kota Asqalan. Tetapi, Shalahuddin tetap membolehkan ketiga penganut agama ziarah ke Baitul Maqdis dan pembebasan masing-masing tawan.
Itulah bentuk siasat politik tapi berbasis kepercayaan agama. Kini, persoalan Palestina secara praktis terhubung dengan politik Timur Tengah. Tapi, sejatinya akarnya pada isu keagamaan. Dari perspektif pandangan hidup Islam, isu apapun memang melihatnya dengan kaca mata agama.
Dalam pandangan Islam, kecondongan hati dan pembelaan terhadap non-Muslim yang memusuhi kaum Muslim adalah haram. Lebih-lebih berbuat baik. Sulaiman al-Bujairimi dalam kitab fikihnya menulis fatwa bahwa kecondongan hati (al-mail al-qalbiy) secara terang-terangan kepada kafir harbi dan orang fasiq hukumnya haram, meskipun ada sebab-sebab yang bisa menolak kemudharatan. (Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Khasyiyah al-Bujairimi jilid 4, hal. 291).
Atas dasar itu, dalam pandangan Islam, ukhuwah diniyyah (persaudaraan sesama agama) posisinya di atas ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia). Sehingga, simpati karena ukhuwah basyariyyah itu pun, dalam pandangan Islam, tidak lepas dari motivasi agama juga.
Sebabnya, semua segi kehidupan kaum Muslim itu bermotifkan agama. Termasuk simpati kemanusiaan. Maka, seorang Muslim yang simpati terhadap Palestina itu dasarnya adalah ajaran agama memerintahkan menaruh kasih sayang sesama saudara.
Karenanya, simpati kemanusiaan atas kekerasan di Palestina itu dasarnya HAM berbasis ilahiyyat. Dengan HAM berbasis ilahiyat (teologis) itu tidak berarti melalaikan insaniyat (kemanusiaan). Islam dengan jelas telah memposisikan manusia pada tempat yang mulia. Manusia adalah makhluk yang diberi keutamaan dibanding makhluk-makhluk yang lain. Selain diberi kesempurnaan ciptaan manusia juga diberi sifat fitrah, yaitu sifat kesucian yang bertendesi mengenal dan beribadah kepada Tuhannya, serta bebas dari tendensi berbuat jahat.
Problem posisi Israel di Palestina juga soal penjajahan (kolonialisme) sekaligus kemanusiaan yang mesti dipandang oleh Muslim dengan cara pandang teologis. Isu Israel di Palestina itu bermasalah sejak Inggris memberi tanah bani Israel di Palestina tahun 1948. Sebelum tahun 1948 tidak pernah ada konflik dengan penduduk Muslim Palestina. Jadi, dari perspektif politik, penjajahan Inggris di sana melahirkan dan memperburuk hubungan Muslim dan Yahudi di sana. Tidak pernah ada negara bernama Israel sebelum tahun 1948. Tetapi, negara Palestina jauh sudah ada di tanah tersebut.
Secara teritorial, Israel tidak pernah memiliki negara resmi. Kecuali setelah 1948. Hadiah dari Inggris. Itu pun terlaksana dengan cara kolonialisasi. Secara politik kenegaraan di era modern, Israel tidak memiliki teritorial yang sah. Secara historis juga demikian. Karena bani Israel adalah ras yang tidak pernah menetap dalam dalam satu wilayah sampai memiliki hak teritorial.
Sejak zaman nabi-nabi terdahulu, kehidupan bani Israel itu nomaden. Berpindah-pindah. Tetapi negeri asal sesungguhnya berada di negeri Ur. Saat ini masuk wilayah Irak selatan. Jadi problemnya, kehidupan ras Yahudi itu terpisah-pisah. Hingga di zaman modern.
Jika memiliki tanah di Jerusalem, maka dengan mudah kita menafsirkan itu hasil kolonialisme (penjajahan) atas bangsa Arab Palestina. Secara teologis, kaum Muslimin meyakini al-Quds resmi milik kaum Muslim sejak kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Shalahuddin al-Ayyubi pernah berpidato pada saat membicarakan kesepakatan perdamaian untuk mengakhiri perang: “Al-Quds adalah tempat Isra’ nabi kami dan tempat berkumpul para malaikat. Tidak terbayang bagi kami akan mengalah. Kami tidak sanggup mengatakannya kepada kaum Muslimin. Negeri itu adalah milik kami dahulunya. Adapun penguasaan kalian atas negeri ini terjadi secara tiba-tiba”.
Pidato Shalahuddin al-Ayyubi ini penting bagi kaum Muslimin. Masjid al-Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam dalam shalat. Ia terletak di bumi yang disucikan. Karena memang Nabi Muhammad Saw yang bisa menjaga dengan baik risalah ajaran Nabi Ibrahim as tanpa ada penyimpangan.
Adapun kaum Bani Israil gagal meneruskan risalah ajaran Nabi Ibrahim karena meninggalkan kitab sucinya. Dengan demikian, secara teologis dan secara teritorial, al-Quds memang milik muslimin Palestina.
Sehingga, kolonialisasi Israel atas negara Palestina memang berbeda dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa atas negeri-negeri Timur. Mantan Menteri Luar Negeri RI tahun 1956-1957 menyebut pendudukan Zionis Israel dengan istilah Blackiest Imperialism. Karena Israel tidak mengambil hasil bumi Palestina, tapi mengambil tanahnya mengusir warganya dan mengganti dengan penduduk Yahudi. Lebih buruk dari imperialisme klasik.
*Direktur INPAS Surabaya dan Dosen IAI Dalwa Bangil
Dimuat Di : Harian Republika Islamia 20 Mei 2021