Vaksin : Antara Nilai Nyawa Dan Kapitalisme
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Between Humanity And Money |
Setelah terbongkarnya kasus pemakaian alat Rapid Test Antigen bekas di Bandara Kualanamu International Airport (KNIA), Medan (27/04/2021) Selasa lalu, publik kian dibuat mengelus dada saat mengetahui fakta bahwa korban dalam kasus itu diperkirakan mencapai sembilan ribuan orang dan keuntungan yang didapat oleh para pelaku ditaksir mencapai milyaran rupiah.
Polisi memperkirakan eks manajer Kimia Farma cabang setempat (otak pelaku) meraup keuntungan mencapai Rp 1,8 miliar sejak 2020. (https://news.detik.com/berita/d-5553280/tega-nian-pelaku-antigen-bekas-9-ribu-korban-demi-duit-miliaran/2).
Kasus ini kian membuktikan bahwa Pandemi Covid-19 ini tidak melulu masalah medis belaka, melainkan ada sisi gelap di baliknya. Jika pada tingkat domestik saja uang yang di dapat bisa mencapai nilai milyaran, bagaimana pada tingkat global. Tentu lebih dahsyat lagi.
Disebutkan bahwa total pengeluaran global untuk vaksin COVID-19 diproyeksikan mencapai US$157 miliar (sekitar Rp2.263,7 triliun) pada 2025, ini menurut laporan perusahaan data kesehatan Amerika Serikat IQVIA Holdings Inc.
Proyeksi pengeluaran itu didorong oleh program vaksinasi massal yang sedang berlangsung dan suntikan penguat imun yang diharapkan bisa dilakukan setiap dua tahun. Merujuk pada laporan yang dirilis, pembelanjaan vaksin diperkirakan akan menjadi yang tertinggi tahun ini pada angka 54 miliar dolar AS (sekitar Rp778,7 triliun), dengan kampanye vaksinasi besar-besaran yang sedang berlangsung di seluruh dunia.
Kemudian, pengeluaran negara-negara untuk vaksin COVID-19 diperkirakan menurun hingga menjadi 11 miliar dolar AS (sekira Rp158,6 triliun) pada 2025, karena meningkatnya persaingan dan volume vaksin, kata wakil presiden senior IQVIA, Murray Aitken.
"Sementara vaksin COVID-19 akan menelan biaya US$157 miliar selama lima tahun ke depan. Itu adalah harga yang sangat kecil untuk dibayar dibandingkan dengan hilangnya nyawa manusia akibat pandemi," ujar Aitken.
IQVIA, yang menyediakan data dan analitis untuk industri perawatan kesehatan, memperkirakan gelombang pertama vaksinasi COVID-19 akan mencapai sekitar 70 persen dari populasi dunia pada akhir tahun 2022. Suntikan booster atau penguat kemungkinan akan mengikuti vaksinasi awal setiap dua tahun, berdasarkan data terkini tentang durasi efek vaksin.
Amerika Serikat sedang mempersiapkan kemungkinan bahwa suntikan penguat akan diperlukan antara sembilan hingga 12 bulan setelah seseorang menerima dosis penuh vaksin COVID-19, kata seorang pejabat Gedung Putih awal bulan ini.
Perusahaan farmasi AS, Pfizer Inc, juga mengatakan suntikan penguat mungkin diperlukan dalam 12 bulan. Perkiraan pengeluaran untuk vaksin COVID-19 mewakili dua persen dari perkiraan sekitar 7 triliun dolar AS (sekira Rp100.947,3 triliun) untuk semua obat yang diresepkan bagi pasien selama periode waktu itu, kata IQVIA.
Tidak termasuk biaya vaksin COVID-19, pengeluaran obat secara keseluruhan diperkirakan lebih rendah 68 miliar dolar AS (sekitar Rp980,6 triliun) selama enam tahun dari 2020 hingga 2025 --jika dibandingkan dengan kondisi dunia tanpa pandemi.
Laporan itu juga menyebut bahwa pandemi menyebabkan gangguan besar pada kunjungan dokter serta prosedur dan penggunaan obat-obatan, yang menyebabkan penimbunan beberapa obat di masa-masa awal dan kemudian kembali ke tren yang lebih normal. (https://mediaindonesia.com/internasional/401881/dunia-diproyeksikan-habis-rp2263-triliun-untuk-tangani-covid-19).
Perdagangan barang medis selama masa pandemi memang meraih keuntungan besar. Dalam laporannya, "Trade in Medical Goods in The Context of Tackling Covid-19: Development in The First Half of 2020", Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat, bisnis produk medis selama paruh awal 2020 tumbuh pesat karena Covid-19.
Saat perdagangan barang di dunia pada paruh pertama 2020 turun 14 persen, ekspor-impor barang medis justru tumbuh hingga 16 persen senilai 1.139 miliar dollar AS. Ekspor-impor barang medis khusus penanganan Covid-19 pada semester I-2020 senilai 191,725 miliar dollar AS, tumbuh 30,8 persen dibanding kan periode sama 2019. Misalnya, masker wajah, alat pelindung diri seperti sarung tangan dan jubah hazmat, disinfektan, sabun dan penyanitasi tangan, serta ventilator.
Laporan WTO itu baru menggambarkan situasi di paruh awal 2020, bisnis medis dan farmasi, termasuk vaksinasi, akan tumbuh lebih pesat ke depan sepanjang pandemi. Dengan asumsi 181,5 juta orang penduduk Indonesia akan ditanggung pemerintah lewat program vaksinasi gratis, swasta masih memiliki potensi ceruk pasar yang besar sekitar 80 juta orang. Peluang bisnis yang tentu menggiurkan, apalagi jika menghitung jatah dua kali dosis vaksin yang harus diterima tiap orang.
Kapitalisme Bencana
Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism", jurnalis Amerika Serikat, Naomi Klein, menggambarkan bagaimana ekonomi pasar bebas berjaya memanfaatkan momen bencana dan tragedi dalam empat dekade terakhir. Mitigasi bencana disikapi lewat privatisasi barang-barang dan kepentingan publik yang menguntungkan konglomerat. Tetapi memperparah kesenjangan di masyarakat.
Praktik memetik keuntungan dari bencana atau meminjam istilah Klein, kapitalisme bencana (Disaster Capitalism) harus dihindari. Dalam konteks vaksinasi, vaksin adalah barang publik, bukan komoditas, benda niaga. Akses terhadap kesehatan harus tetap mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan serta dasar-dasar epidemiologi, bukan berdasarkan kemampuan finansial semata.
Belajar dari pengalaman tes usap (swab) PCR, mekanisme pasar bergerak dinamis dan liar. Meskipun pemerintah telah mematok harga maksimal, tes usap tetap dijual di atas batas.
Upaya pengendalian harga akan sulit dilakukan ketika hukum permintaan-penawaran berlaku di tengah kelangkaan pasokan dan lonjakan permintaan vaksin. Alih-alih mengakselerasi vaksinasi, bisnis vaksin yang tak terkontrol bisa menambah persoalan dan memperlambat proses tahapan.
Kesenjangan sosial yang sudah menganga akan semakin menjadi-jadi karena hanya golongan masyarakat tertentu yang bisa mengakses vaksin. Sementara yang lain harus mengantre atau tidak kebagian jatah. Saat ini saja, kesenjangan mulai terasa di level global. Negara-negara maju memborong lebih dari setengah suplai vaksin dunia, sedangkan negara miskin dan berkembang tertinggal.
Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, membeli dosis vaksin berkali-kali lipat populasinya. Sementara negara miskin, seperti Bangladesh dan Peru, baru bisa mendapat jatah vaksin pada 2024 karena suplai terbatas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kondisi ini sebagai "kegagalan moral yang dahsyat", mengingatkan bahwa pendekatan yang mementingkan diri sendiri hanya akan memperlambat keberhasilan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi global.
Melihat berbagai fakta di balik hal ihwal vaksin ini, tidak bisa dipungkiri bahwa bisnis vaksin adalah komoditas perdagangan paling berjaya dan menguntungkan selama masa pandemi. Baik bagi mereka yang berbisnis secara legal maupun bagi mereka yang “bermain” secara Ilegal.
Entah sampai kapan keadaan pandemi global ini akan tetap “dipelihara”. Sebab dalam kacamata Kapitalisme, keuntungan dan penguasaan pasar adalah hukum tertinggi, dan demi hal itu apapun akan mereka lakukan meski harus dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan sekalipun. Apatah lagi jika melihat keadaan yang masih menguntungkan seperti saat ini, tentu pundi-pundi dollar itu tidak akan serta merta dilepaskan begitu saja.
Yang jelas tugas kita hari ini adalah makin jeli membaca keadaan zaman agar tidak tertipu olehnya, serta tetap menjaga iman dan imun agar tetap aman. Dan percayalah bahwa tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pembalasan kelak di akhirat. Termasuk kebohongan dan keculasan pihak-pihak yang “bermain kotor” selama pandemi ini.
Ingat bahwa Allah SWT telah berfirman,
فمن يعمل مثقال ذرة } زنة نملة صغيرة { خيرا يره } ير ثوابه
“ (Maka barang siapa yang mengerjakan seberat zarah) atau seberat semut yang paling kecil (kebaikan, niscaya dia akan melihatnya) melihat pahalanya.”
ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره } ير جزاءه
“(Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihatnya pula) artinya dia pasti akan merasakan balasannya.” (QS. Al Zalzalah : 07-08).
Wallahu A’lam Bis Showab