Sekularisme dan Yahudi Pesek Dalam Konflik Palestina-Zionis

Sekulerisme dan Yahudi Pesek Dalam Konflik Palestina-Zionis

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Save Al Quds

Beberapa pekan ini ada sebuah istilah menarik yang menjadi Trending Topic di Twitter yaitu tagar “Yahudi Pesek.” Apakah gerangan maksud dari kalimat tersebut dan apa pula yang melandasinya. Berdasarkan penelusuran jejak digital, tagar tersebut menjadi puncak pembahasan di media sosial Twitter pada Senin (17/05/21). 

Istilah yang pernah digaungkan oleh KH. Luthfi Bashori dan diramaikan oleh mantan Menteri BUMN Said Didu itu ramai diperbincangkan saat eskalasi konflik Palestina-Zionis sedang naik beberapa pekan ini.

"Apa Anda pernah melihat: 'Yahudi Pesek'? Yaitu penjilat asal Indonesia yang menampakkan perjuangan umat Islam Palestina dengan bualan nyinyirnya. Serta membela mati-matian teroris Israel dengan segala ocehannya," ujar KH. Luthfi Bashori. 

Cuitan murid dari Al Muhaddis Prof. Sayyid Muhammad Al Maliki yang juga putra dari pakar Al Qur'an KH. Bashori Alwi Singosari itu seolah mewakili perasaan hati jutaan umat Islam di Indonesia yang merasa geram kepada oknum-oknum tanah air yang selalu nyinyir kepada perjuangan Umat Islam.

Selain para BuzzeRp yang selalu nyinyir kepada perjuangan Palestina dan kepedulian masyarakat Indonesia kepada Al Quds, ada pula beberapa oknum elite negara yang mengatakan bahwa konflik Palestina dan Zionis Israel bukan urusan Indonesia melainkan masalah antara bangsa Arab dan Yahudi belaka. Menurut oknum tersebut urusan Indonesia adalah nasib kita dan hari depan anak cucu kita. (https://international.sindonews.com/read/431916/40/akun-mengatasnamakan-brigade-al-qassam-komentari-hendropriyono-sebut-palestina-bukan-urusan-indonesia-16).

Pernyataan mantan petinggi militer yang pernah menggawangi lembaga Telik Sandi itu banyak disesalkan oleh masyarakat Indonesia mulai dari tokoh Muslim, politisi, warganet dan umat Islam tentunya. 

Di saat Palestina yang merupakan salah satu pendukung pertama deklarasi kemerdekaan RI sedang dirampas kemerdekaannya, sungguh nir etika manakala ada warga Indonesia yang mengaku Pancasilais dan menjunjung tinggi konstitusi memiliki pandangan picik semacam itu.

Bukankah UUD 1945 telah menyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Sang jenderal itu mungkin lupa sejarah para pendiri bangsanya. Bukankah Presiden Soekarno pernah berujar lantang Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Lupakah sang jenderal pada pidato Presiden Soekarno tahun 1962 kala Presiden Soekarno melawan agresi Israel di forum-forum internasional yang berbunyi,
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”  

Tahun 1950, Indonesia menolak delegasi perdamaian dari Israel. Bahkan iming-iming Israel untuk mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh juga tak menarik minat Soekarno-Hatta. Tahun 1955, Presiden Soekarno menentang keras keikutsertaan Israel dalam Konferensi Asia Afrika karena dianggap sebagai penjajah. 

Sebaliknya, Palestina ikut hadir dalam KAA yang digelar di Bandung itu.  Bung Karno bahkan dengan lantang menentang keikutsertaan Israel dan Taiwan di Asian Games. Hal itu ditunjukkan Bung Karno dengan tidak mengundang Israel dan Taiwan di Asian Games tahun 1962 yang berlangsung di Jakarta.

Dan diantara negara-negara peserta Asia Afrika yang mengikuti konferensi KAA di Bandung, Palestina lah yang belum mendapatkan kemerdekaannya sejak dijajah Israel sejak tahun 1948.

Selain mantan Jenderal yang belakangan fokus pada isu khilafah itu, harus diakui tidak sedikit tokoh Indonesia yang berpandangan hampir serupa. Pada tahun 2020 sebuah media daring pernah mewawancarai seorang tokoh wanita yang dikenal sebagai pengamat militer dan pertahanan. 

Dalam wawancara itu si tokoh berpendapat bahwa mindset rakyat Indonesia harus diubah dalam memandang penjajah Zionis Israel. Menurutnya, Israel itu tidak seperti yang kita bayangkan, seolah-olah sebagai bangsa yang kejam, penjajah dan yang lainnya.

Indonesia sebagai negara mayoritas Islam dan besar seharusnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel agar bisa memahami seluk beluknya kenapa Israel seperti itu?

Masih menurutnya, jika tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel bagaimana mungkin Indonesia bisa mendamaikan Israel-Palestina? Selain perdamaian Timur Tengah, Indonesia juga akan mendapatkan manfaat besar jika memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, terutama dalam bidang teknologi.

Dalam pandangannya, politik mengisolasi Israel dengan anggapan akan melemahkan dan membuat mereka tunduk, selama ini terbukti salah. Ditambah kegagalan solidaritas yang bersifat parsial dengan mengambil diplomasi identitas yaitu sesama negara Islam. Padahal Indonesia bukan negara agama,–demikian pula persoalan Israel-Palestina,– yang terdiri dari multi agama. Sebenarnya ini adalah masalah nasionalisme kedua bangsa.

Uniknya ketika ditanya bagaimana kehidupan beragama di Israel? Dia menjawab bahwa Bhinneka Tunggal Ika tidak melarang Judaisme. Di Jerusalem antar umat beragama sangat baik. Negara memastikan perlindungan pada semua agama dan keyakinan. Islam, Kristen, Katholik, Yahudi, Bahai dan banyak lagi keyakinan minoritas yang sama-sama dilindungi negara. Seharusnya ini menjadi inspirasi kita sebagai negara Pancasila yang mengagung-agungkan Bhinneka Tunggal Ika. (https://independensi.com/2020/10/02/indonesia-rugi-besar-tidak-punya-hubungan-diplomatik-dengan-israel-kenapa/).

Dari pernyataan kedua tokoh itu ada sebuah titik sama yang menarik untuk dikaji. Bahwasanya bagi mereka konflik antara Palestina dan Zionis Israel semata-mata adalah masalah bangsa Arab (khususnya Palestina) dan Yahudi Israel bukan masalah agama. 

Dan bagi kedua tokoh itu hal itu bukan urusan Indonesia. Bahkan salah satu dari keduanya menganggap Israel adalah negara yang sangat baik dalam melindungi kerukunan beragama dan harusnya Indonesia bisa menirunya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Ironis manakala membaca pendapat tokoh-tokoh tersebut. Pencaplokan wilayah (aneksasi) Palestina sejak perang enam hari Arab-Israel disertai pembantaian warga Palestina sampai saat ini dan upaya perusakan Masjid Al Aqsha yang berlangsung bertahun-tahun seolah-olah luput dari kacamata dan nurani tokoh-tokoh tersebut. 

Lebih miris lagi saat ada pendapat bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan jika menjalin hubungan dengan Zionis Israel karena bisa mendapatkan kemudahan dalam membeli hasil kecanggihan teknologi mereka. Nampak sekali ada Inferiority (minder) dalam hal ini, seolah-oleh tidak ada mitra kerjasama lain yang bisa digandeng dalam bidang pertahanan militer.

Padahal ada pengakuan mengejutkan yang diungkapkan oleh pilot Israel atas bombardir terhadap gedung-gedung di Gaza sepekan ini. Menurutnya hal itu dilakukan untuk mengalihkan rasa frustasi karena kegagalan mereka menghentikan serangan roket dari Gaza. Hal tersebut diungkapkan salah seorang pilot saat diwawancarai oleh Channel 12 Israel, Sabtu (22/5/2021).

Stasiun TV Israel tersebut mewawancarai sejumlah pilot yang berpartisipasi melakukan pengeboman ke gedung-gedung berpenghuni di Gaza. Salah satunya merupakan gedung kantor berita Al-Jazeera dan Associated Press.
 
“Saya mengemban tugas melakukan serangan udara dengan perasaan menghancurkan gedung-gedung itu sebagai pelampiasan frustasi atas keberhasilan grup di Gaza menyulitkan kami,” ujar salah seorang pilot dikutip dari Anadolu Agency.(https://www.kompas.tv/article/176655/pengakuan-pilot-israel-bombardir-gedung-di-gaza-karena-frustasi-sulit-kalahkan-hamas).

Ini membuktikan bahwa kecanggihan militer Zionis Israel yang konon tidak bisa dikalahkan hanyalah mitos belaka. Selain kecakapan para pejuang (Mujahidin) di Gaza, tentu spirit Jihad yang ditunjang keimanan tinggi pada Allah adalah kunci dari kemenangan para pejuang di Gaza dalam mengalahkan Israel.

Pendapat yang menyatakan bahwa konflik Palestina dan Israel adalah semata-mata masalah Bangsa Arab dan Yahudi tentu adalah sebuah indikasi gagal paham akut. Mereka tidak paham apa beda Judaisme dan Zionisme.

Al Quds di Jerusalem merupakan milik kaum muslimin sedunia dan menjadi  kewajiban utama bagi seluruh umat Islam dalam membelanya. Dan tentu menjadi kewajiban pula bagi umat Islam sedunia untuk membela rakyat Palestina yang merupakan “Juru Kunci” Al Quds yang sedang dijajah oleh Zionis Israel. Ini sesuai wasiat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir yang berbunyi,

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim).

Inilah yang tidak dipahami oleh para penganut Sekularisme di Indonesia. Mereka hendak melokalisir konflik Palestina-Israel semata-mata masalah kedua negara dan tidak ada sentimen agama di dalamnya. Dan hal itu wajar belaka mengingat kaum sekuler sangat alergi manakala agama disatukan dengan negara.

Pakar Fikih Tahawulat (Akhir Zaman), Habib Abubakar Bin Ali Masyhur Al Adni ketika ditanya kapan umat Islam akan menang di Palestina? Beliau menyatakan bahwa hal itu harus dijawab secara rinci dan spesifik. Ketika ditanya bagaimana Allah akan memberikan kemenangan kepada umat Islam di Palestina? Beliau menjawab yaitu setelah runtuhnya batasan antara bangsa Arab dan Islam; Ketika kartu penduduk menjadi satu; Ketika paspor telah menjadi satu dimana orang Islam bisa bergerak bebas di negara Arab dan Islam sebagaimana orang Amerika bergerak bebas di negara persatuan Amerika (termasuk seperti Uni Eropa) maka makna dari persiapan kemenangan bisa ditegakkan. 

Adapun selama bangsa Arab masih terpecah dalam beberapa negara (tidak bersatu), membentuk perbatasan, beda pemikiran, beda pendapat, apalagi beda agama, maka kemenangan itu mustahil diraih. Inilah isyarah dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam jika ingin Al Quds dan Palestina menang. 

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak akan terjadi Hari Kiamat hingga kalian (umat Muslim) memerangi Yahudi, kemudian batu berkata di belakang Yahudi," Wahai Muslim, inilah Yahudi di belakangku, bunuhlah! "(HR Bukhari dan Muslim).

Di situ disebutkan “wahai Muslim” bukan “wahai orang Palestina” atau dengan menyebut firkah-firkah. Ini menandakan bahwa Al Quds bukan urusan rakyat Palestina semata namun urusan umat Islam seluruh dunia. Namun akal kotor Dajjali membuat masalah Arab Islam dan Yahudi seakan-akan masalah Palestina belaka sehingga melemahkan umat. Dan ini termasuk dari tipuan Dajjali yang telah menjangkit ke dalam kebudayaan Islam dan bangsa Arab yang oleh Nabi disebut sebagai kerusakan pemikiran, kebudayaan, dan cara pandang (Worldview) yang telah merasuk ke dalam kehidupan umat Islam bahkan para pelajar di sekolah-sekolah. (https://youtu.be/dR1g70-10CU).

Walhasil masalah Al Quds dan Palestina adalah masalah umat Islam bukan masalah teritori antara negara A dan B belaka. Sebab di sanalah kiblat pertama umat Islam dan tempat Mikraj Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. 

Sebagai bangsa Muslim terbesar yang mengutuk penjajahan dalam konstitusinya dan tahu cara berterima kasih serta tidak amnesia sejarah, sudah sepatutnya Indonesia berada di garda terdepan dalam membela Al Quds dan Palestina. Sebab itulah konsekuensi syahadat yang harus kita tunaikan. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama