Cara Menghargai Leluhur

Merawat Jalan; Menghargai Leluhur

Oleh : Muhammad Syafii Kudo

Jalan Raya Pos Daendels


Beberapa tahun yang lalu sebelum masa Pandemi Covid-19, saya bersama guru saya berboncengan naik motor menghadiri sebuah acara Haul seorang Habib masyhur di wilayah Pasuruan, Jawa Timur. Beliau adalah Habib Jakfar Bin Syaikhon Assegaf, yang dijuluki sebagai Al Qur’an berjalan semasa hidupnya. Kakek dari Habib Taufiq Bin Abdul Qodir Assegaf sang ketua umum Rabithah Alawiyah Jawa Timur ini adalah salah satu guru dari Waliyullah terkenal Kyai Abdul Hamid Pasuruan.

Saat menuju tempat lokasi haul di sekitaran makam di wilayah Masjid Agung Al Anwar kota Pasuruan ini, kami melewati salah satu jalanan legendaris di tanah Jawa, yakni jalan Pantura yang juga dikenal sebagai jalan raya Pos Daendels.  Sebuah rute yang bernilai sejarah yang hingga kini masih ada dan ditapaki oleh anak cucu dari para moyang pribumi Jawa yang dahulu dipaksa kerja rodi oleh Belanda dalam pembangunannya.

Tak heran jika seorang penulis sekaliber Pramoedya Ananta Toer juga pernah menulis sebuah buku mengenai "Kisah Jalan" ini lewat buku fenomenalnya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, yang sangat bagus dalam menceritakan kisah dari sebuah artefak sejarah yang bisu namun tak lekang digerus oleh zaman, yang bernama "Jalan". 

Buku Pramoedya


Buku yang ditulis oleh Pram di masa uzurnya ini diselesaikannya pada tahun 1995 namun baru diterbitkan oleh Penerbit Lentera Dipantara pada Tahun 2005. Buku ini ditulis tanpa pembagian bab. Pada halaman-halaman awal Pram menguraikan awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida. 

Ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada zaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru versi penulis yang pernah berseteru keras dengan Buya Hamka tersebut.

Jika melihat begitu banyak sejarah yang tersimpan dari kisah "Jalan" tersebut, maka semakin menjadi sebuah kewajaranlah jika saat ini kita patut marah dan kesal jika ada jalanan yang rusak tak terawat. Pasalnya, bukan hanya mengganggu aktivitas sehari-hari rakyat namun juga mencederai nama baik bangsa ini. Kenapa demikian? karena jalan adalah salah satu aset sejarah peninggalan para pendahulu bangsa ini, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pendahulunya (pahlawannya), demikian ujar Bung Karno. 

Dan seperti telah diketahui bersama bahwa Jalan Anyer- Panarukan yang panjangnya 1000 Km tersebut adalah hasil karya sejarah moyang kita. Yang keringat dan darahnya dipaksakan tertumpah oleh Belanda melalui tangan besi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1762-1818). 

Daendles memang berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Dan angan-angan membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan itu direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. 

Gubernur Jendral Daendels memang dikenal menakutkan. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Daendles memang kejam, namun kita akan menjadi lebih kejam darinya jika tidak merawat artefak sejarah ini.

Dari sebuah Jalan Pos Daendles yang beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia pribumi yang dipaksa untuk membangunnya itu kini lahir kota-kota yang kian berkembang pesat. Mulai dari wilayah Pantura di Jawa Barat hingga Jawa Timur. Oh iya, sebagai tambahan informasi, menurut catatan sejarah yang bersumber dari Inggris, jumlah pribumi yang tewas akibat proyek kerja paksa pembuatan jalan Pos tersebut diperkirakan berjumlah 12.000 orang yang tercatat, namun diyakini jumlah korban lebih dari itu. Karena hingga kini tak pernah ada komisi resmi yang menyelidikinya.

Leluhur Pribumi


Setelah merenungi kisah sejarah jalanan Pantura Bangil – Pasuruan yang masih bagian dari Jalan Raya Pos Daendels ini, saya akhirnya berkata kepada guru saya tersebut saat bermotor dalam perjalanan pulang, bahwa alangkah durhaka sekali jika anak cucu orang Jawa jika tidak mau mendoakan para leluhurnya yang pada zaman itu mengalami penderitaan yang luar biasa akibat penjajahan. Entah dengan dalil bid’ah dholalah dsj atau yang hanya sekedar abai akan sejarah.

Padahal di dalam Al Qur’an ada sebuah ayat yang sangat menyentuh yang berbunyi,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. Al Hasyr : 10).

Apakah kita tidak bisa meniru para kaum beriman yang datang setelah Muhajirin dan Anshar yang selau memintakan ampun bagi para pendahulu mereka yang telah terlebih dahulu beriman. Kita Khusnuddon bahwa banyak dari leluhur kita yang dijadikan sebagai pekerja paksa saat penjajahan (termasuk pembangunan jalan raya pos Daendels) adalah orang-orang beriman. Maka seyogyanya bagi kita untuk mendoakan dan memintakan ampunan bagi mereka. Sebab lewat wasilah mereka jualah akhirnya kita bisa menikmati kenyamanan zaman sekarang yang lebih baik daripada zaman mereka silam.

Sebab orang beradab adalah orang yang mau berterima kasih kepada orang yang sudah berjasa kepadanya. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Bersyukur kepada Allah salah satunya lewat berterima kasih kepada manusia yang berjasa kepada kita. Dan bentuk terima kasih terbaik kepada para leluhur adalah mendoakan kebaikan bagi mereka dan menghargai karya mereka dengan cara merawatnya, termasuk dalam bab pembahasan kita ini adalah dengan cara merawat jalanan peninggalan mereka. Wallahu A’lam Bis Showab.

*Anak Cucu Pribumi


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama