Konsep Kebahagiaan Dalam Pandangan Alam Islam
What Is Happiness ? |
Kebahagiaan adalah hak asasi manusia. Jargon tersebut tidak terbantahkan oleh siapapun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah parameter baku untuk mengukur kebahagiaan itu.
Adakah standar objektif yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur bersama dan bisa disepakati oleh semua pihak mengenai konsep kebahagiaan yang hakiki.
Seperti diketahui bahwa tidak ada suatu pandangan hidup yang bebas nilai di dunia ini. Semua pendapat atau hasil pemikiran lintas disiplin ilmu yang dibakukan dalam berbagai isme yang ada pasti terikat pada pandangan alam (Worldview) yang akhirnya menjadi Framework dari subjek yang bersangkutan.
Hal itu juga berlaku dalam memaknai konsep kebahagiaan. Jelas ada pembeda yang nyata antara satu person dengan person yang lain, yang mana hal itu sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang si person tersebut. Entah dari segi sosiologi, psikologi, budaya, tingkat penguasaan literasi, dari segi religi dlsb.
Jika ditarik benang merah dari itu semua, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan seseorang mengenai konsep apapun di dunia ini sebenarnya berawal dari pandangan alam (worldview) nya. Termasuk dalam hal ini dalam memandang konsep kebahagiaan.
Prof. Alparslan Acikgenc mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.).
Dalam worldview Barat yang memiliki banyak isme, konsep kebahagiaan tentu berbeda dengan yang dimiliki Islam. Bagi penganut Kapitalisme, manusia bisa bahagia jika dia punya banyak kapital (harta duniawi) dan yang berkutat di sekitarnya. Ada slogan khas para kapitalis yang sering digaungkan yakni, “Sejak kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga.”
Dari slogan itu sangat terlihat sekali nilai nihilisme pada ajaran agama yang mana hal itu adalah ajaran khas dari sekularisme. Dan itulah salah satu konsep kebahagiaan dalam pandangan Barat.
Dari segi kultur lokal Jawa, ada adagium masyhur yang berbunyi makan gak makan asal kumpul. Maknanya adalah kebahagiaan itu sederhana saja yaitu bisa selalu bersama-sama (kumpul) dengan keluarga yang disayangi dalam melewati suka dan duka dalam hidup meski dalam hidup yang serba berkekurangan.
Lalu dari segi psikologis, seorang buruh pabrik bisa sangat bahagia sekali tiap menjelang akhir bulan sebab sudah tergambar dalam benak akan gaji yang segera dikantonginya. Ada pula seorang ibu yang bahagia sekali melihat bayinya bisa lahir selamat meski si ibu mengalami sakit separuh mati dalam proses melahirkan bayinya itu. Ini dua contoh kecil kebahagiaan secara psikologis yang sering ditemui di masyarakat kita.
Beberapa contoh kebahagiaan yang disebut di atas adalah sebagian kecil dari kenikmatan yang disediakan Allah SWT di dunia ini. Dan kenikmatan-kenikmatan kecil itu memang bisa membuat bahagia namun sifatnya sementara. Lalu adakah kebahagiaan yang bersifat abadi ? Tentunya ada.
Imam Fakhrur Razi dalam kitab Tafsirnya yang berjudul Mafatihul Ghaib (مفاتيح الغيب) membagi kenikmatan di dunia ini menjadi tiga hal yaitu kenikmatan jasmani (Ladzatul Hissiyah); kenikmatan khayali (Ladzatul Khoyaliyah); dan kenikmatan Akal (Ladzatul Aqliyah). Dan manusia bisa meraih kebahagiaan lewat tiga jalur tersebut dengan porsi kebahagiaan yang tentu berbeda-beda.
Jalur untuk meraih kenikmatan yang pertama adalah lewat kenikmatan jasmani (Ladzatul Hissiyah). Kenikmatan ini bersifat Musytaroq (مُشْتَرَكٌ ) yaitu kenikmatan yang bukan hanya bisa dinikmati manusia saja melainkan makhluk lain juga, binatang misalnya. Seperti kenikmatan dalam makan, minum, kawin dll. Kenikmatan ini ternyata masih mengandung resiko. Contoh nikmat makanan, gula itu rasanya manis dan enak namun akan menjadi malapetaka jika dikonsumsi oleh mereka yang menderita penyakit diabetes. Hubungan seks itu nikmat sekali namun berpotensi bahaya manakala dilakukan di luar batas seperti seks bebas dan menyimpang. Artinya kenikmatan jasmani ini bernilai rendah.
Kemudian ada kenikmatan imajiner (Ladzatul Khoyaliyah) yaitu kenikmatan yang bernilai abstrak (angan-angan) yang ternyata pada tataran realitanya tidak senikmat di alam khayalan seperti contoh Ladzatul Ri'asah alias kenikmatan jabatan atau pangkat. Dalam benak manusia, memiliki pangkat duniawi itu nampak nikmat sekali karena bisa dikenal banyak manusia dan mendapat berbagai fasilitas duniawi. Dari abstraksi ini akhirnya manusia berebut meraihnya lewat berbagai cara baik yang benar maupun yang culas. Dan setelah berhasil mendapatkannya ternyata gambaran kenikmatan tadi lenyap seketika sebab resikonya besar. Musuh kian banyak, lembaga anti rasuah (KPK) mengintainya tiap detik dan belum lagi pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kebahagiaan lewat jalur ini jelas bernilai imajiner belaka.
Yang ketiga adalah kenikmatan akal (Ladzatul Aqliyah) dan inilah kenikmatan hakiki. Siapa yang ingin meraih kebahagiaan sejati maka jalur inilah yang wajib ditempuh. Sebab hakikat kenikmatan adalah,
معرفة الحقيقة الأشياء والعمل به
"Mengetahui kebenaran hakikat dari segala sesuatu dan bisa mengamalkannya"
Contoh dari kenikmatan aqliyah ini adalah kenikmatan yang dirasakan ketika sedang mencari ilmu, hadir majelis taklim, dzikir, dan sholawat. Kenikmatan inilah yang kelak bermuara kepada kebahagiaan abadi. Dan inilah jalur yang dipilih oleh para kekasih Allah (Waliyullah).
Karena dengan ilmu manusia bisa mengenal Tuhan-Nya. Dan Islam adalah agama ilmu yang sangat mengutuk kebodohan. Deklarasi kelahiran Islam lewat wahyu pertama yang mentitahkan untuk membaca adalah bukti tidak terbantahkan.
Para Waliyullah lebih rela merasakan makan, minum dan berbagai kenikmatan duniawi lainnya dengan seadanya demi menuntut ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah lewat berbagai riyadhoh.
Ini adalah jalur kebahagiaan abadi yang kian sepi ditapaki sebab sangat sulitnya rintangan dalam menempuhnya serta tidak menyenangkan nafsu. Karena jalan ini adalah jalan menuju surga maka wajar jika hawa nafsu akan sangat keberatan dalam menapakinya.
Ingat bahwa ada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Siapa yang merasa terhibur (bahagia) bersama buku (kitab) maka kebahagiaan tidak akan sirna dari dirinya.” Tentu yang dimaksud sang pintu ilmu itu bukan sekedar berada secara fisik bersama buku-buku namun pernyataan itu adalah gambaran dari kebahagiaan hakiki yang akan diperoleh oleh seseorang manakala ia istiqomah berada di jalan ilmu. Dan buku adalah salah satu instrumen khas dalam kegiatan menuntut ilmu.
Dari kalangan tokoh pahlawan nasional, Bung Hatta juga pernah berujar, ”Kalian boleh memenjarakan aku dimanapun asalkan bersama buku. Sebab bersama buku sejatinya aku bebas.”
Ada pesan tersirat dari pernyataan Bung Hatta itu yakni kebahagiaan beliau nyatanya tidak pernah terampas meski badan beliau di dalam penjara sebab pikiran beliau masih bebas bersama buku-buku yang di dalamnya penuh petuah ilmu. Kebahagiaan Bung Hatta yang bernilai ruhaniah itu nyata jelas berbeda dengan bentuk kebahagiaan para pemuja kenikmatan duniawi (Kapitalis) yang empiristis belaka.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang paling merdeka di dunia ini adalah para kaum sufi. Sebab mereka adalah kaum yang dikenal dengan tingkat ketergantungannya yang sangat tinggi kepada Allah. Dan dimanapun mereka berada dan dalam keadaan apapun, selalu kebahagiaan meliputi mereka sebab mereka selalu bersama Allah SWT.
Ibnu Atho’ ketika ditanya mengenai apa itu tasawuf ? Ia menjawab, “Tasawuf adalah merasa tenteram bersama Allah. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus (10): 62). Maknanya, orang yang tidak pernah bersedih alias senantiasa berbahagia adalah para Waliyullah. Dan maqom itu tidak bisa didapat melainkan lewat jalur pembersihan hati (tazkiyatun nufus/tasawuf).
Mengenai “kemerdekaan” para Sufi ini, Dzun Nun pernah mengisahkan, "Aku melihat seorang wanita di salah sebuah pantai Syria, dan aku berkata padanya: 'Dari mana asalmu (semoga Tuhan melimpahkan kasih-Nya padamu)?' Dia menyahut: 'Dari orang-orang yang panggulnya jauh dari ranjang.' Aku berkata: 'Dan ke mana tujuanmu?", dia menjawab, "Mencari manusia-manusia yang tiada dirintangi oleh kegiatan niaga, tidak pula oleh kegiatan dagang dalam mengingat Allah.
Aku berkata, “Perikan mereka.”, ' Lalu dia pun mulai menyitir puisi,
“Yang mereka tuju adalah bersatu dengan Tuhan. Hasrat mereka melambung pada Nya semata. Kesetiaan mereka hanya teruntuk Tuhan, Wahai pencarian mulia, demi Dia yang Selamanya Ada! Mereka tiada ikut berebut kesenangan dunia. Kemuliaan, anak-anak, kekayaan dan kemewahan. Segala keserakahan dan selera tiada mereka hargai. Hidup enak dan senang di kota-kota, menghadap kaki langit nan jauh, lamat-lamat nun sana. Mereka cari Yang Tak Terbatas, dengan tekad nun kuat. Mereka runut alur-alur padang pasir, dan puncak gunung tinggi berduyun-duyun mereka panjat. (At Ta’riful Mazhab Ahli Tasawuf; Al Kalabadzi).
Abu Yazid Al Bushtomi mengatakan bahwa, “Sufi (bagaikan) anak-anak yang duduk tenang di pangkuan Allah.” Jika di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang (QS. Ar Ra’du : 28), lalu bagaimana dengan mereka yang duduk tenang di pangkuan Allah? Tentu kebahagiaan tidak akan pernah lepas dari mereka apapun kondisi duniawi dan dhohir mereka.
Ada satu sahabat bernama Imran Bin Husain Radhiyallahu Anhu yang terkenal dengan kesabarannya. Dalam kitab Syarh Iqna’ yakni kitab Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib diceritakan bahwa kesabaran yang dimiliki oleh Imran bin Husein mengundang decak kagum malaikat. Sehingga malaikat pun tak segan mengirimkan salam kepada Imran bin Husein secara khusus dan secara terang-terangan tanpa perantara. Hal itu mengingat ketika Imran bin Husein menderita sakit perut yang begitu parah. Dalam suatu riwayat bahkan sakitnya selama 30 tahun.
Suatu ketika ia mengadu kepada Rasulullah SAW agar penyakit yang dideritanya lekas sembuh. Ia pun didoakan oleh Rasulullah. Seketika ketika selesai didoakan oleh Rasulullah, sakit yang dideritanya bertahun-tahun itu langsung sembuh. Tak ada lagi rasa nyeri dan perih pada perutnya sebagaimana yang dideritanya dulu.
Ia pun kembali ke kediamannya dengan perasaan bahagia. Namun, sesampainya di rumah ia menjumpai hal yang janggal. Kini, ia tak lagi bisa melihat malaikat yang selalu mengirim salam kepadanya. Akhirnya ia pun mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah.
“Wahai Rasul, apa gerangan yang menyebabkan malaikat tak lagi mengirimkan salam kepadaku?”
“Hal itu disebabkan karena kesembuhanmu wahai Imran,” Jawab Rasulullah SAW.
“Kalau begitu, tolong wahai Rasulullah agar engkau berkenan kembali mendoakan agar penyakitku dikembalikan padaku,” pinta Imran bin Husein.
Seketika itu, ia kembali menderita sakit sebagaimana semula. Setelah itu ia kembali bisa melihat malaikat yang menyampaikan salam kepadanya.
Kisah masyhur dari salah seorang sahabat Nabi yang menganggap rasa sakit bukan sebagai musibah tentu akan sulit kita temui di zaman ini. Mereka adalah kaum yang tidak melihat sakit sebagai musibah tetapi kebahagiaan dan menganggapnya sebagai pemberian dari Sang Kekasih yang mesti dinikmati dan disyukuri. Ini tentu maqom kebahagiaan yang bertolak belakang dengan nalar manusia biasa. Lebih-lebih pada zaman materialistis ini.
Di dalam sejarah Islam masa Rasulullah Saw jamak diketahui bahwa setiap pulang dari peperangan maka yang pertama kali dicari oleh para wanita (ibu dan saudari wanita para sahabat yang ikut perang) adalah Rasulullah Saw. Bahkan ada seorang wanita yang diberi kabar bahwa anak-anaknya semua syahid dalam peperangan, namun dia tidak bersedih dan malahan bahagia sebab selain anak-anaknya mendapatkan syahid di saat yang sama mereka dapat kabar bahwa Rasulullah Saw selamat. Dan keselamatan Rasulullah Saw itulah yang menjadikan kebahagiaan bagi mereka.
Dari beberapa penjabaran dan contoh kisah di atas kita bisa mengetahui bahwa konsep kebahagiaan menurut Islam sebagai agama yang Syamil memang berbeda dengan konsep kebahagiaan ala Barat yang mengukur sesuatu berdasarkan apa yang empiris belaka. Islam memiliki pandangan khas mengenai definisi kebahagiaan.
Prof. Syed Naquib Al Attas menjelaskan di dalam bukunya bahwa di dalam pemaknaaan konsep kebahagiaan dalam pandangan Islam terkandung istilah sa’adah, dan ia mempunyai pertalian dengan dua dimensi kewujudan: kepada kewujudan di akhirat (ukhrāwiyyah) dan pada kewujudan di dunia (dunyawiyyah). Lawan sa’adah adalah shaqawah, yang membawa arti kecelakaan yang besar, kesengsaraan secara amnya (umum). Mengenai kewujudan di akhirat, sa’adah merujuk kepada kemuncak kebahagiaan yang terakhir, tiada yang melebihinya, iaitu kesenangan dan ni’mat yang berkekalan, yang terala adalah ru’yat Allah, yang dijanjikan kepada mereka yang semasa hidupnya di dunia ini menyerahkan diri dengan sukarela kepada Allah dan mentaati segala perintah dan laranganNya dengan penuh kesedaran dan pengetahuan.
Oleh itu, maka nyatalah pertalian yang erat antara kebahagiaan di akhirat dengan kebahagiaan di dunia yang merangkumi tiga perkara : (1) diri (nafsiyyah), yang melibatkan ilmu dan sifat yang terpuji. (2) badan (badanıyyah), seperti kesihatan badan dan keselamatan, dan (3) segala yang selain dari diri dan badan (kharijiyyah) seperti kekayaan dan selainnya yang menggalakkan kesejahteraan diri, badan, dan perkara-perkara lain yang berkait dengannya. Maka dari itu, kebahagiaan di dunia ini bukanlah hanya berkait dengan kehidupan duniawi sahaja, malah ia berkait yang juga dengan kehidupan abadi kelak berpandukan kenyataan yang dijelaskan oleh agama bersumberkan wahyu. (Ma’na Kebahagiaan Dan Pengalamannya Dalam Islam; Syed Naquib Al Attas, hal 1-4).
Penjelasan Syed Naquib Al Attas itu selaras dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Subhanahu wa Ta ’ala berfirman, (yang artinya) “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?” Maka mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?” Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Azza wa Jalla”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas. (HR. Muslim).
Dari perbincangan yang ringkas tetapi menyeluruh berkenaan ma'na dan hakikat kebahagiaan serta pengalamannya dalam Islam kita dapat membuat kesimpulan bahawa kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini bukanlah sesuatu yang berakhir dengan dirinya sendiri, bahawa sesungguhnya tujuan akhir kebahagiaan adalah cinta kepada Tuhan dan bahawa di dunia ini ada dua peringkat kebahagiaan. Peringkat pertama adalah peringkat nafsi yang bermula dan berakhir dari saat ke saat yang dapat diperikan sebagai perasaan dan citarasa, dan ianya dapat dicapai dengan tercapainya segala yang diperlukan dan diingini menurut perilaku yang baik yang berasaskan kepada sifat-sifat mahmudah.
Peringkat kedua adalah peringkat ruhani, yang kekal, yang dialami secara sedar, yang menjadi landasan hidup di dunia ini yang diisbatkan sebagai percubaan, dan nasib baik atau buruk yang ditempuh merupakan ujian bagi menilai kelakuan dan amalan mahmudah; iaitu tidak terpengaruh ke arah kesalahan dengan nasib yang baik dan tidak mengalah dan merasa hampa dengan nasib yang buruk.
Peringkat kedua ini, apabila dicapai, berlaku bersamaan dengan peringkat pertama, hanya segala yang diingini (wants) kian berkurangan dan segala yang diperlukan (needs) sudah mencukupi. Kebahagiaan di tingkat kedua menjadi persediaan kepada kebahagiaan di tingkat ketiga yang akan berlaku di Akhirat kelak, yang terala ialah Ru’yat Allah. Tiadalah perubahan dalam ma’na dan pengalaman kebahagiaan ini sebagaimana yang dialami dan disedari oleh semua yang benar-benar beriman dari zaman ke zaman. (Ibid. hal 43-44).
Dan inilah pembeda nyata antara Islam dengan ajaran lain dalam mendefinisikan makna kebahagiaan. Islam memiliki konsep kebahagiaan sendiri yang khas dan syamil berdasarkan pandangan alam (worldview) yang khas pula. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan