Mengembalikan Kehangatan Sosial
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Kebahagiaan Sederhana |
Belakangan sering kita dengar ungkapan di beberapa media sosial bahwa generasi paling bahagia adalah generasi 90 an. Mengapa demikian, sebab pada masa itu masyarakat masih mudah mencari kebahagiaan dengan variasi media yang banyak dan sederhana.
Jangan bayangkan bahwa media yang dimaksud adalah sama seperti di zaman Milenial ini yang serba canggih dan instan, tidak. Malahan media kebahagiaan saat itu bisa dikatakan sangat sederhana jika tidak ingin menyebutnya dengan ketinggalan zaman.
Meski makna kebahagiaan yang dimaksud masih debatable dan bisa jadi bernilai relatif, namun setidaknya berbagai jejak kenangan masa lalu bisa membuktikan klaim tersebut. Di zaman itu lumrah kita jumpai anak-anak bermain bersama sebagaimana fitrahnya manusia yang merupakan makhluk sosial.
Bukankah Aristoteles menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Jika manusia hidup untuk waktu yang lama dalam kesendirian, maka dia adalah dewa atau binatang bukan manusia. Dan itu mulai terjadi di zaman ini. Dimana fenomena perkumpulan "jasad kosong" kian menjamur.
Apa itu perkumpulan "jasad kosong"? Yaitu berkumpulnya manusia secara jasadi dalam satu tempat namun fikiran dan jiwanya tidak berada di tempat itu, melainkan di dalam galaksi lain yakni media sosial.
Bukti sederhana adalah jika zaman dulu orang-orang berkumpul di warung kopi untuk mengobrol secara langsung sembari menyeruput kopi, kini jamak kita lihat fenomena ngopi sambil diam terpekur menatap gawainya masing-masing. Sehingga suasana kebersamaan tidak terasa sebab kontak sosial tidak berjalan.
Kemudian di rumah, jika dulu masih banyak didapati semua anggota keluarga berkumpul bersama menonton TV, makan bersama sembari bercengkerama, kini perlahan mulai berubah. Sebab masing-masing anggota keluarga meskipun berada satu tempat di dalam rumah namun mereka sejatinya sedang di dunianya masing-masing di media sosial.
Padahal, menurut Belliotti (2004) meskipun kita memerlukan kesendirian, rasa yang tajam dari individualitas, keunikan, keistimewaan, dan kemandirian individu juga membutuhkan ukuran komunitas. Manusia mencari ikatan, koneksi dan memperluas subjektivitas melalui keluarga, teman, dan kekasih. Seseorang perlu memperluas lingkup kepedulian terhadap orang lain dan merasakan bahwa orang lain juga memiliki kepedulian terhadap individu lainnya. Keintiman, berbagi, dan kepemilikan sosial adalah bahan terpenting untuk kebahagiaan.
Gagasan bahwa kebahagiaan adalah pusat dari kehidupan manusia ternyata sudah ada sejak zaman dahulu. Filsuf Yunani Aristippus pada Abad ke – 4 SM berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk memaksimalkan totalitas kesenangan seseorang.
Kebahagiaan dianggap oleh banyak orang sebagai tujuan akhir dalam hidup dan memang pada kenyataannya setiap orang menginginkan kebahagiaan (Frey dan Stutzer, 2002).
Namun kebahagiaan itu pun tidak homogen, sebab untuk menilainya banyak faktor yang mesti dilibatkan, mulai dari psikologis, budaya, agama dlsb. Dan makna kebahagiaan mungkin sangat bervariasi antar budaya. (Kitayama dan Markus, 2000). Namun dari semua itu tentu worldview lah yang paling berpengaruh.
Setiap wilayah budaya memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya, dalam budaya Eropa dan Amerika Utara terdapat keyakinan kuat mengenai kebebasan individu. Hal itu diyakini sebagai pusat pemikiran, tindakan dan motivasi.
Dalam hal ini sebuah hubungan sosial memang penting, namun hubungan tersebut terbangun berdasarkan kemandirian masing-masing individu. Seseorang bebas memilih untuk memasuki suatu hubungan sosial.
Selain itu, kebahagiaan itu sendiri sering ditafsirkan sebagai salah satu atribut internal yang harus dikejar dan dicapai melalui perjuangan pribadi. Dengan kata lain, kebahagiaan cenderung dibangun sebagai pencapaian pribadi. (Uchida, et. al., 2004).
Sebaliknya, Uchida, et. al. (2004) menyatakan dalam budaya Asia Timur ada asumsi yang kontras tentang keterhubungan dan interdependensi diri dengan orang lain. Hubungan diri dengan orang lain diyakini sebagai pusat pemikiran, tindakan, dan motivasi.
Batas simbolis antara diri dan individu lainnya dikaburkan dan terus dinegosiasikan melalui interaksi sosial. Individu pribadi cukup penting, namun interaksi dibangun sesuai dengan asumsi mendasar tentang interdependensi dari individu yang terlibat.
Ide tentang sifat manusia yang saling bergantung cukup luas dalam budaya Asia Timur. Selain itu ide - ide ini sering mendasari praktik, rutinitas sehari-hari, wacana dan lembaga sosial yang secara keseluruhan mendefinisikan realitas sosial dari konteks budaya ini.
Individu dalam konteks budaya Asia Timur sangat termotivasi untuk menyesuaikan diri dengan hubungan sosial yang bersangkutan. Komitmen terhadap peran sosial, kewajiban sosial, dan kesiapan untuk menanggapi harapan sosial adalah semua manifestasi dari motivasi berorientasi sosial untuk mewujudkan saling ketergantungan (Morling et. al., 2002).
Hal ini menyiratkan bahwa kebahagiaan dalam budaya Asia Timur cenderung sangat tergantung pada realisasi hubungan sosial positif yang menjadi bagian dari diri. (E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 8.1 (2019): 89-90).
Indonesia yang merupakan negeri ketimuran tentu memiliki standar kebahagiaan yang khas yang terikat oleh pandangan alam (worldview) Islam yang mendominasi keyakinan warganya. Di dalam Islam ada ajaran qona'ah atau neriman dalam budaya Jawa yang merupakan salah satu kunci kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan di dunia yang sementara ini.
Diriwayatkan dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141).
Hadits di atas menunjukkan bahwa tiga nikmat tersebut jika telah ada pada diri seorang muslim, maka itu sudah jadi nikmat yang besar. Siapa yang di pagi hari mendapatkan tiga nikmat tersebut berarti ia telah memiliki dunia seisinya. (Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, hal. 160).
Dan diriwayatkan dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR. Ibnu Majah).
Sifat Qona’ah inilah yang perlahan mulai hilang di zaman ini. Dulu di zaman 90 an, ada gambaran ideal bahwa seorang ayah pergi bekerja (ke pabrik, sawah, beternak, mengajar dll), ibu mengurus rumah tangga dan anak fokus sekolah dan mengaji serta bermain bersama kawan-kawan sebaya seperti mandi dan cari ikan di kali, main gobak sodor, petak umpet, karambol dsb. Kemudian di akhir hari ayah, ibu dan anak-anak berkumpul bersama di dalam rumah. Mereka makan bersama (sering seadanya), ibadah bersama, nonton TV bersama, bercengkerama bersama. Ada juga Bapak-bapak berjaga di pos ronda bersama dan ngopi di warung kopi sembari ngobrol ngalur- ngidul.
Kemudian di bulan Ramadhan anak-anak merasa bahagia kala tarawih dan tadarusan bersama kemudian tidur di surau dan menjelang sahur mereka berkeliling kampung untuk membangunkan masyarakat.
Semua kehangatan sosial itu dilakukan bersama. Dan sayangnya gambaran itu kini mulai hilang terutama setelah manusia mulai ber-evolusi dari fitrahnya yang semula sebagai makhluk sosial menjadi makhluk media sosial. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Generasi Yang Pernah Merasakan “Kegembiraan” Masa 90 an
Dimuat Di :