Mendakwa Hujan
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Rains Comes |
Seperti sudah menjadi sebuah agenda tahunan, setiap akhir dan awal tahun di negeri ini belakangan sering sekali dilanda berbagai bencana. Entah itu berupa banjir, longsor, tsunami, gunung meletus, gempa bumi dsj.
Dalam pandangan alam (Worldview) masyarakat Post Modern saat ini, bencana alam itu diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yang pertama adalah bencana yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia dan yang kedua adalah karena faktor alam semata.
Pandangan seperti ini muncul akibat umat manusia zaman ini sudah terhegemoni oleh pikiran sekularisme Barat yang kian kuat mencengkeram dunia.
Mereka yang berotak kapitalisme dan memandang segala sesuatu berdasarkan nilai empirisme belaka hampir tidak pernah memikirkan "keterlibatan" Tuhan dalam setiap kejadian yang terjadi.
Indonesia yang mendaku sebagai Negara Berketuhanan Yang Maha Esa mestinya tidak terseret dalam pandangan asing seperti itu. Sebab isme yang mengajarkan untuk meng-abstain-kan Tuhan tidak pernah memiliki akar riwayat di negeri ini. Bahkan semenjak dari masa sebelum agama-agama resmi negara datang ke tanah Nusantara ini (masa animisme-dinamisme).
Maka menjadi hal yang agak ganjil untuk didengar di telinga masyarakat beriman di bumi Pancasila ini manakala masih banyak para elite politik, pemegang kekuasaan, para pakar, jurnalis dsb ketika membahas bencana yang sedang terjadi di negeri ini tidak menyinggung nama Tuhan sama sekali.
Sebagai contoh kasus, untuk bencana banjir di Kalimantan Selatan, aparat negara yang diterjunkan untuk menyelidiki akar penyebab banjir ternyata mengemukakan hasil yang mencengangkan. Dinyatakan dalam temuan sementara bahwa penyebab banjir di Kalimantan Selatan adalah akibat curah hujan dan tingginya gelombang laut belaka. (https://www.kompas.com/nasional/read/2021/01/22/16322741/sudah-turun-ke-lapangan-bareskrim-sebut-banjir-kalsel-karena-cuaca).
Kesimpulan itu tentu mengagetkan publik terutama para aktivis lingkungan. Pasalnya publik dan para pejuang kelestarian ekologis memiliki dugaan kuat bahwa banjir yang nilai kerugiannya sekitar Rp1,349 triliun menurut perkiraan Tim Reaksi Cepat Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut bukanlah bencana alam belaka, namun sebuah konsekuensi logis dari apa yang namanya bunuh diri ekologis.(https://nasional.tempo.co/read/1426482/kerugian-akibat-banjir-kalimantan-selatan-ditaksir-rp13-triliun/full?view=ok)
Kenapa demikian, sebab ketika hutan dibuka untuk pertambangan dan perkebunan pohon penghasil dolar, saat itulah keseimbangan alam akan terusik. Dan alam memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya atas ketidakseimbangan itu. Salah satunya lewat banjir dan tanah longsor tersebut.
Para arif bijak tentu tidak melihat banjir sebagai aliran air bah dan malapetaka belaka. Atau tanah longsor sekedar tanah bergerak dan menimbun apa yang dilaluinya. Lebih dari itu, mereka bisa membaca pesan tersirat yang dibawa dalam demonstrasi kekecewaan lingkungan tersebut.
Di dalam Al Qur'an Allah SWT sudah mengingatkan manusia,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia." (Ar-Rum: 41)
Mengenai ayat tersebut, Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang bunyinya,
لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
"Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari."
Hari ini kita saksikan bagaimana ketidakadilan hukum kian merajalela di negeri ini. Hukum seolah tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Artis dan para elite konglomerat serta kroni penguasa bisa bebas dari jeratan hukum yang mana hukum itu dapat dengan mudah diaplikasikan kepada masyarakat bawah atau setidaknya tidak dekat dengan kekuasaan.
Padahal umat terdahulu dibinasakan oleh Allah akibat ketidakadilan penguasa mereka. Bila pelanggar hukum adalah para elite maka hukum ditiadakan namun manakala yang melakukan pelanggaran adalah orang lemah seketika itu juga hukum ditegakkan.(HR. Bukhari dan Muslim)
Dikatakan demikian karena apabila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka semua orang atau sebagian besar dari manusia akan menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi.
Kita juga seolah lupa bahwa syarat sebuah negeri mendapatkan berkah dari langit dan bumi adalah karena kepatuhan mereka kepada Allah SWT. Ini sesuai firman Allah,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."(QS. Al A'raf : 96)
Kini kita sedang mengalami sebuah paradoks skala nasional. Bahwa sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beriman nyatanya kita sering melupakan Allah dalam setiap kegiatan kita. Contoh dalam skala negara, terkadang kebijakan yang diambil oleh oknum penguasa adalah yang tidak sesuai dengan Syariat Allah SWT. Dan sesiapa yang menyalahi aturanNya, pasti Allah akan menegurnya. Entah itu lewat bencana dan lain-lain.
Nah, kembali kepada kesimpulan aparat negara yang mendakwa bahwa hujan sebagai biang banjir besar di beberapa tempat di tanah air tadi, meskipun pendapat itu terkesan ganjil namun sudah terlanjur dirilis ke masyarakat. Lalu apakah benar hujan bisa sekejam itu.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha, yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika hujan turun mengucapkan: Allahumma shayyiban nafi’an, yang artinya, Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. (HR. Bukhari no. 1032)
Al-Qur’an juga memaparkan fakta terkait turunnya hujan. Allah berfirman bahwa Dia menurunkan air hujan dalam ukuran atau kadar tertentu, sebagaimana dalam surat Az-Zukhruf ayat 11.
“Dan, yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan), lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati.…”
Abdul Syukur Al Azizi dalam bukunya, Islam Ilmiah menjelaskan, bahwa kata “kadar” yang disebutkan di dalam ayat tersebut merujuk pada salah satu karakteristik hujan. Secara umum, jumlah hujan yang turun ke bumi selalu sama.
“Diperkirakan sebanyak 16 ton air di bumi menguap setiap detiknya. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang turun ke bumi pada setiap detiknya. Hal ini menunjukkan bahwa hujan, secara terus-menerus, beredar dalam sebuah siklus seimbang menurut ukuran tertentu,” tulisnya.
Dia menambahkan, fenomena menarik lainnya dari turunnya hujan ialah terkait dengan kecepatan turunnya air. Ketinggian minimum awan ialah sekitar 12.000 meter.
Ketika turun dari ketinggian ini, sebuah benda yang memiliki berat dan ukuran sebesar tetesan hujan akan terus melaju dan jatuh menimpa tanah dengan kecepatan 558 km/jam. Tentunya, objek apa pun yang jatuh dengan kecepatan ini bisa mengalami kerusakan.
Menurutnya, jika hujan turun dengan cara demikian maka tanaman bisa hancur, pemukiman, perumahan, dan kendaraan juga dapat mengalami kerusakan. Apalagi jika hujan turun dari awan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, tidak demikian yang terjadi dengan turunnya air hujan. Dari ketinggian berapa pun hujan itu turun, kecepatan rata-ratanya hanya sekitar 8-10 km/jam ketika mencapai tanah.
“Hal ini disebabkan bentuk tetesan hujan yang sangat istimewa. Keistimewaan ini meningkatkan efek gesekan atmosfer dan mempertahankan kelanjutan tetesan-tetesan hujan ketika mencapai “batas” kecepatan tertentu,” katanya.
Ini sesuai dengan firman Allah SWT,
“Dia-Iah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada ( tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.” (QS. An-Nahl ayat: 10).
Artinya konklusi prematur dari aparat itu terlalu gegabah jika menyimpulkan bahwa hujan lah biang kerok banjir di beberapa wilayah Indonesia. Sebab hujan sejatinya adalah Rahmat Allah SWT dan dia mengguyur bumi sesuai dengan tugasnya berdasar "SOP" Tuhannya.
Apabila Rahmat Allah yang bertugas sesuai SOP Nya itu ternyata malah menimbulkan bencana, berarti ada yang tidak beres di bumi. Bisa jadi karena maksiat manusia yang tidak mengelola lingkungan sesuai mandat langit lah penyebabnya. Maka janganlah mendakwa hujan sebagai tersangka karena sama artinya dengan mentersangkakan Allah. Sebab Dialah aktor intelektual yang bertugas sebagai penyuruh hujan.
Walhasil janganlah demi membela cukong hitam dan elite politik "penguasa" lahan-lahan hutan akhirnya penguasa berani menantang Tuhan. Kembalilah kepada jati diri bangsa Indonesia yang menomorsatukan Tuhan. Jika tidak ingin bencana datang bertubi-tubi lagi. Wallahu A'lam Bish Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan