Islam Memandang Lingkungan Hidup
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Islam And Enviromental |
Tahun dua ribu dua puluh telah bersama dilalui. Ada banyak hal yang telah kita lalui di tahun itu yang nyatanya tidak semua riwayat kisahnya otomatis tertutup begitu saja. Sebab ada bekas (atsar) yang dampaknya masih terasa hingga hari ini. Bahkan bisa jadi akan tetap terasa hingga di masa mendatang.
Salah satunya adalah tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di negeri kita. Berdasar laporan tahunan dari beberapa LSM yang concern pada bidang lingkungan, kerusakan lingkungan di Indonesia masih mengkhawatirkan.
Meski Pemerintah mengklaim laju deforestasi pada tahun 2020 lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya, namun Organisasi Masyarakat Sipil Greenpeace Indonesia menilai angka laju deforestasi masih tinggi.
Pemerintah juga dinilai gagal menghentikannya. Pasalnya, jika deforestasi sebesar 462,4 ribu hektar dikurangi 162,8 ribu hektar deforestasi di hutan sekunder, maka hasil yang diperoleh adalah sekitar 299,6 ribu hektar.
“Target pemerintah seharusnya fokus pada nol deforestasi. Angka hampir 300 ribu hektar deforestasi ini terjadi di luar hutan sekunder. Artinya deforestasi masih terjadi juga di hutan primer,” ucap Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sabtu, 25 April 2020.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu Perdana. Ia mengatakan pemerintah semestinya memberikan laporan deforestasi secara utuh. Informasi tersebut, kata dia, harus menunjukkan penyebab dan pemilik konsesi lahan. Sementara Moratorium Permanen yang diputuskan tahun lalu juga sebaiknya menjadi peringatan keras. “Tidak hanya bicara penurunan, kita harusnya zero deforestasi,” ujarnya. (https://www.greeners.co/berita/laju-deforestasi-di-indonesia-masih-tinggi/).
Berbagai bencana alam berupa banjir bandang dan longsor yang masih betah menyambangi berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun 2020-2021 adalah bukti nyata bahwa penggundulan hutan itu masih nyata adanya.
Disebutkan bahwa banjir adalah bencana paling dominan yang melanda Indonesia sepanjang awal hingga pertengahan tahun 2020. Hal ini diungkapkan oleh Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB. Mereka mencatat telah terjadi 726 kejadian banjir yang mengakibatkan lebih dari 2,8 juta mengungsi sampai dengan 30 Agustus 2020. (https://www.cnbcindonesia.com/market/20200831203823-17-183397/duh-banjir-bencana-alam-paling-mematikan-di-ri-selama-2020).
Dan di awal Januari ini pun negeri kita ternyata masih belum bisa lepas dari serbuan banjir. Seperti yang terjadi di Demak, Tanjungpinang, Kabupaten Bandung, Indramayu, dan Gresik. (https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/06/070500865/5-daerah-yang-dilanda-banjir-pada-awal-2021-mana-saja-?page=1). Dan tanah longsor yang terjadi di Sumedang pada hari Sabtu malam kemarin. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20210110075703-20-591673/tanah-longsor-di-sumedang-11-orang-tewas-tertimbun).
Berbagai bencana alam itu sungguh kian menambah kepiluan masyarakat karena di saat yang sama kondisi dunia belum pula lepas dari cengkeraman Pandemi Covid-19 yang konon sudah ada varian barunya yang muncul pertama kali di Inggris.
Ada satu pendapat menarik yang diungkapkan oleh ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia, Profesor Jatna Supriyatna dalam sebuah diskusi virtual. Menurut Dosen FMIPA, Universitas Indonesia (UI) itu, World Wildlife Fund (WWF) 2020 pernah menyebut kerusakan alam di dunia ini sangat dahsyat. Kondisi ini telah menimbulkan dampak negatif, baik di darat, laut maupun udara.
Jatna menilai, terdapat hubungan antara pandemi Covid-19 dengan kerusakan hutan. Kerusakan hutan di Brazil misalnya bisa menimbulkan penyakit zika. Deforestasi di Cina, Vietnam dan Asia Tenggara telah memicu munculnya SARS serta ebola di Afrika. "Tentu saja ini ada hubungannya dengan kerusakan hutan. Ada hubungannya dengan penangkapan satwa liar dan sebagainya," jelasnya.
Jatna menegaskan, biodiversitas yang bagus pada dasarnya bisa menurunkan penyakit menular pada ekologi komunitas. Dengan biodiversitas yang tinggi, maka jumlah kutu, bakteri dan sebagainya stabil. Namun ketika keanekaragaman tersebut hilang, maka seluruhnya menjadi tidak stabil lalu berpotensi memunculkan zoonosis. (https://m.republika.co.id/berita/qjnyft384/adakah-hubungan-pandemi-covid-19-dan-kerusakan-hutan).
Melihat berbagai data kerusakan lingkungan hidup beserta bencana yang menjadi konsekuensi logisnya itu setidaknya ada satu kesimpulan yang bisa diambil yakni betapa vitalnya peran hutan bagi lingkungan. Dan betapa mendesaknya Reforestasi serta Reboisasi untuk segera dilakukan.
Dua program penghijauan itu tentu tidak bisa lepas dari yang namanya pohon. Dan hari ini (10 Januari) kebetulan bertepatan dengan Hari Gerakan Sejuta Pohon Sedunia. Yang mana salah satu tujuan utama dari gerakan itu adalah untuk mencegah terjadinya bencana ekologis dan memerdekakan kembali paru-paru umat manusia.
Bukti ilmiah mengenai fakta bahwa menanam pohon yang tepat di tempat yang tepat merupakan tindakan efektif-biaya dalam meningkatkan serapan karbon, memperbaiki siklus air, melindungi tanah dan menyangga keanekaragaman hayati sudah jelas.
Pada sebuah makalah 2017, yang ditulis oleh Bronson Griscom, Direktur Senior Solusi Iklim Alami, sebagai ketua, bersama para peneliti Konservasi Alam, disorot fakta bahwa semua potensi solusi mitigasi berbasis lahan, aforestasi dan reforestasi menawarkan peluang terbaik untuk menyerap karbon dioksida. (https://forestsnews.cifor.org/66274/menanam-pohon-dikerjakan-atau-tidak?fnl=id).
Islam Rahmat Bagi Seluruh Alam
Islam Agama Rahmat |
Mengingat betapa pentingnya pohon bagi lingkungan hidup, Islam sebagai agama fitrah yang mana ajarannya menyentuh segala aspek kehidupan tentu telah menyertakan pembahasan mengenainya.
Disebutkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallohu ‘Anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2068, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu).
Juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad yang shahih, yang berkata: “Abdullah bin Salam Rodhiyallahu ‘Anhu berkata kepadaku:
إِنْ سَمِعْتَ بِالدَّجَالِ قَدْ خَرَجَ وَ أَنْتَ عَلَى وَدِيَّةٍ تَغْرِسُهَا, فَلاَ تَجْعَلْ أَنْ تُصْلِحَهُ, فَإِنَّ لِلنَّاسِ بَعْدَ ذَلِكَ عَيْشًا
“Jika engkau mendengar bahwa Dajjal telah keluar sedangkan kamu sedang menanam bibit kurma maka janganlah kamu tergesa-gesa dalam penanamannya, karena masih ada kehidupan setelah itu bagi manusia.”
Dua hadis itu menunjukkan bahwa menanam pohon amatlah penting bagi seorang Muslim. Hingga digambarkan seandainya kiamat akan terjadi atau Dajjal telah keluar sekalipun jika ada bibit pohon di tangan maka menanamkannya adalah tindakan yang tetap dianjurkan dalam Islam.
Sebenarnya ada perbedaan cara pandang (Worldview) yang membedakan seorang Muslim dengan yang lain perihal menanam pohon tersebut. Jika manusia pada umumnya menanam pohon hanya bertujuan duniawi belaka, tidak demikian dengan seorang Muslim. Islam adalah agama yang Syamil, segala sesuatu dinilai dari sudut pandang duniawi serta ukhrawi alias tidak Profan an sich .
Sehingga bagi seorang Muslim, menanam pohon sekalipun harus diniatkan dalam rangka ibadah guna mencari Ridho Allah. Karena di dalam Islam diajarkan bahwa segala sesuatu berdasarkan pada niatnya belaka.
Dalam Islam ada kaidah yang menyatakan,
ا لوسيلة لها احكاما لمقاصد
“Hukum wasilah tergantung pada tujuan-tujuannya.”
Dan beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini diantaranya adalah perkara wajib yang tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan keberadaan suatu hal, maka hal tersebut wajib pula hukumnya. Demikian pula sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada perkara yang haram maka hukumnya mengikuti perkara itu, yakni haram.
Turunan dari kaidah ini adalah hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut. Contoh, untuk melaksanakan sholat maka diwajibkan wudhu terlebih dahulu, maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk menegakkan sholat beserta perkara-perkara yang mana sholat tidak sah atau sempurna melainkan dengan dilakukannya pula perkara tersebut, yaitu Wudhu.
Jadi mempelajari ilmu wudhu wajib hukumnya sebab ia adalah perangkat utama yang menjadi sah tidaknya ibadah Shalat. Wudhu sebagai mukadimah dari sholat tidak bisa lepas dari komponen yang bernama air. Maka dari sinilah beberapa kitab dasar fikih selalu meletakkan bab Thoharoh yang diawali dengan klasifikasi pembagian air dan hukumnya di awal pembahasan.
Dalam kitab Matan Ghoyah Wa Taqrieb disebutkan adanya larangan untuk membuang hajat baik kecil maupun besar di atas air yang tidak mengalir (diam), di bawah pohon yang sedang berbuah, di jalanan yang sering dilalui manusia, dan di dalam lubang (sarang hewan). (Matan Ghoyah Wa Taqrieb Lil Qodie Abi Syuja' Ahmad Ibnul Husaini Asfihani, Jombang : Penerbit Madinah, Tanpa Tahun , halaman 03).
Lihat betapa Islam sangat memuliakan lingkungan bahkan dalam hal sepele sekalipun seperti larangan kencing dan berak sembarangan dalam suatu lingkungan. Inilah salah satu bentuk Rahmatal Lil Alamin Islam pada lingkungan sekitar.
Dalam sebuah acara Talk Show berjudul Rumah Perubahan yang dipandu oleh Prof. Rhenald Kasali pernah ada sebuah pembahasan menarik yang bertema lingkungan hidup. Saat itu yang dihadirkan sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Emil Salim, SE yang pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru.
Menteri era Soeharto itu bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke Sumenep, Madura, tepatnya daerah Guluk-Guluk. Di sepanjang jalan menuju tempat yang dituju, ia bertanya kepada penduduk setempat tentang siapakah yang telah menanam pepohonan yang akhirnya menjadi hutan yang ia lalui itu.
Para penduduk menjawab bahwa yang menanam pepohonan itu adalah santri dan penduduk setempat atas titah sang Kyai pengasuh Ponpes Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Setelah bertemu sang Kyai secara langsung, Prof. Emil kemudian bertanya gerangan apakah yang melandasi sang kyai dan santri menanam pepohonan selama 10 tahun lamanya hingga menjadi hutan lebat.
Sebelum sang kyai menjawab, Prof. Emil awalnya menduga bahwa alasannya pasti demi lingkungan semata. Namun jawaban sang kyai ternyata di luar dugaan. Kyai itu menjawab bahwa alasan mereka menanam pepohonan hingga jadi hutan adalah demi kesempurnaan sholat.
Prof. Emil yang kebingungan lalu mendapat penjelasan lebih lengkap. Bahwa Sholat membutuhkan wudhu dan wudhu membutuhkan air bersih, sedangkan air bersih berasal dari air sungai yang mengalir, air sungai berasal dari sumber mata air, sumber mata air berasal dari pepohonan, dan pepohonan yang banyak ada di hutan. Maka dari situlah mereka menanam pohon agar jadi hutan supaya mereka bisa mendirikan Sholat. (Rumah Perubahan Rhenald Kasali, Edisi 3 Arus Sustainable Development, 04 Juni 2013, diakses di kanal YouTube dengan mengetik sesuai judul tersebut).
Apa yang dilakukan oleh masyarakat dan santri Pondok Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep itu adalah pengejawantahan nyata dari sebuah Worldview Islam. Bahwa bagi seorang Muslim, segala sesuatu di dunia ini harus dilakukan dengan niatan untuk beribadah kepada Allah SWT semata.
Perkara keuntungan duniawi yang akhirnya ikut didapat maka hal itu hanya dianggap bonus belaka. Sebab yang terpenting adalah Ridho Allah semata. Wallahu A'lam Bish Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Dimuat Di :