Hakikat Penjara

 Hakikat Penjara

Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

The Another Side Of Prison


Penjara adalah frasa kata yang belakangan sering terdengar di telinga rakyat negeri ini. Frasa kata tersebut juga kian sering muncul dan berkelindan dalam percakapan dunia Maya.

Bukan melulu karena kian meningkatnya kasus kriminal murni yang membuat frasa kata itu terkerek naik intensitas penyebutannya. Tetapi lebih karena dominasi masalah politik belaka.

Kini mau tidak mau harus diakui bahwa upaya mengirim pihak yang berseberangan paham ke dalam penjara kian masiv terjadi. Banyak hal dipolitisasi untuk kemudian dipolisikan dengan membonceng undang-undang ITE yang terbukti "mujarab" bagi pihak yang sepaham dengan penguasa dan di saat yang sama "mandul" bagi pihak yang berseberangan (oposisi).

Ada tokoh yang selama ini kritis kepada penguasa dipenjarakan karena masalah kerumunan meskipun oleh beberapa pihak hal itu dinilai sarat kepentingan politis. Karena di saat yang sama banyak tokoh lain terlibat dalam masalah kerumunan namun tidak tersentuh sedikitpun oleh Undang-Undang sebab selama ini kebetulan berada di pihak penguasa. Entah itu Ulama, Politisi, publik figur dsb. 

Pendapat sebagian masyarakat itu kian menemukan titik benarnya manakala publik melihat apa yang sepekan ini terjadi. Yaitu ketika ada seorang artis (publik figur) yang baru saja ikut gerakan pemerintah untuk disuntik vaksin sebagai perwakilan dari kaum millenial, ternyata tak lama kemudian menghadiri pesta seorang tokoh elite kaya yang ironisnya acara itu dianggap oleh publik tidak mengikuti protokol kesehatan.

Berdasar unggahan yang beredar, artis itu tidak sendiri sebab bersamanya ada kalangan selebritas lain dan beberapa tokoh penting yang menduduki kursi penting di BUMN. Termasuk yang pernah tersandung masalah penistaan agama beberapa tahun lalu.

Sehingga wajar jika platform media sosial Twitter pada tanggal 15 Januari 2021 lalu diramaikan oleh warganet dengan tagar #TangkapAhokdanRaffi yang mencapai hingga sekitaran empat belas ribu cuitan.

Jika kaidah "Semua sama kedudukannya di depan hukum" benar masih hidup di Republik ini, tentu dua nama "besar" itu dan yang terlibat di dalam acara tersebut bisa diseret ke dalam penjara. Seperti yang dilakukan oleh penegak hukum kepada tokoh ulama yang bukan hanya ormasnya saja yang dibubarkan tetapi hak pribadi keluarganya pun mulai diberangus.

Ada pula peristiwa tak kalah heboh di akhir tahun lalu yaitu kasus seorang aktris yang sudah bersuami yang terbukti nyata (bukan dugaan) berzina dengan lelaki lain dengan dalih suka sama suka serta direkam pula. Anehnya pelakunya tidak dipenjarakan dengan berbagai alasan tertentu. 

Di saat yang sama ada tokoh yang dikenal sering kritis kepada pemegang kebijakan dibuka lagi kasus dugaan percakapan mesumnya yang sejatinya sudah dihentikan (SP3). 

Dari dua kasus ini masyarakat bisa menilai perbedaan perlakuan hukum itu jelas ada. Motif bernafsu memenjarakan orang bukan karena kesalahan namun sebab kebencian belaka itu nyata adanya. Yang sudah terbukti ada perbuatan amoralnya bisa tidak dihukum sedangkan yang masih samar (dugaan) kasus asusilanya dikejar sebisa mungkin.

Rasulullah Shalallahu alaihi Wasallam bersabda,

“Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat [pejabat, penguasa, elite masyarakat] mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah [masyarakat rendahan, rakyat biasa] mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, sendainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya”. (H.R. Bukhari No. 3475)

Dari dua kasus ketimpangan hukum tersebut, harusnya para petugas yang diamanahi sebagai penegak hukum bisa menyelesaikannya dengan adil. Jangan sampai ada penilaian bahwa ada sekumpulan "anak emas" di republik ini.  Meskipun hal itu sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Sebab adagium yang berbunyi, "Sultan mah bebas ngapain aja" sudah terlanjur menjadi tradisi yang telah dijalankan secara mengakar. 

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda,

حَدٌّ يُعْمَلُ به في الأرضِ خيرٌ لأهلِ الأرضِ مِن أن يُمْطَروا أربعين صباحًا

“Suatu hukum yang ditegakkan di bumi lebih baik baginya daripada diberi hujan selama empat puluh hari” (HR. An Nasa'i).

Fenomena ketimpangan keadilan tidak hanya berhenti di situ, kini ada pula sekelompok orang yang memiliki hobi melaporkan orang lain ke polisi. Dan uniknya ada fenomena yang belum pernah terjadi di dunia kecuali di negeri ini dan di dalam kisah Abu Nawas. Yaitu perihal mimpi dan ramalan yang sekarang bisa dipolisikan juga. Dan sang pelapor ternyata dari kelompok itu-itu juga.

Memang tidak semua mimpi dan ramalan yang dipolisikan. Hanya mimpi dan ramalan yang dinilai mengandung kritik dan memanaskan telinga penguasa saja yang dilaporkan dengan labelisasi menebarkan kebencian, hasutan, makar, dan hal subversif lainnya.

Kelompok yang hobi mempolisikan orang itu seakan mendaulat diri sebagai aparat pengawas mimpi dan pikiran manusia. Sesiapa saja yang mimpi dan buah pikirannya dinilai berseberangan dengan penguasa maka akan mereka polisikan. Seolah mereka sudah memiliki kunci penjara secara resmi.

Jika hal seperti ini dibiarkan berlarut-larut maka penjara kelak bukan menjadi tempat untuk mengurung para kriminal belaka, namun akan beralih fungsi menjadi kamar indekos para tahanan politik, oposisi, tukang mimpi, peramal dan siapapun yang pikirannya tidak sama dengan pikiran mereka. Ini tentu menjadi sebuah pengkhianatan nyata kepada nilai demokrasi yang diagung-agungkan di negeri ini.


Sisi Lain Penjara

Memerdekakan Akal


Ada banyak sisi lain dari ruangan yang bernama penjara. Di tempat itulah banyak "diistirahatkan" para tokoh besar dunia dalam catatan sejarah dunia. Di tempat itu pulalah tidak sedikit dilahirkan karya besar yang hari ini masih diingat bahkan dijadikan pegangan umat manusia.

Imam Abu Hanifah pernah dicambuk dan dipenjara di era penguasa al-Manshur pada zaman Dinasti Abbasiyah. Beliau ditahan karena menolak dijadikan qadhi. Sebelum itu, di zaman Dinasti Umayyah, Imam Abu Hanifah juga pernah ditahan saat Marwan bin Muhammad menjadi penguasa karena menolak tawaran menjadi hakim.

Imam Malik pernah dihukum oleh Gubernur Kota Madinah pada tahun 147 H/764 M. Beliau dihukum karena mengeluarkan fatwa bahwa hukum talaq yang akan dilaksanakan penguasa tidak sah.

Ketika itu, Kerajaan Abbasiyah membuat fatwa, yakni seluruh penduduk wajib taat kepada pemimpin. Siapa pun yang tidak taat maka akan terjatuh talaq atas istrinya. Lalu Imam Malik dicambuk karena melawan perintah Abu Ja`far al-Manshur itu, dan karena meriwayatkan hadis yang menerangkan bahwa tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.

Ada pula Imam Syafii yang pernah dituding mendukung Syiah oleh orang yang dengki dengan dirinya, yaitu Mutharrif bin Mâzin. Mutharrif memprovokasi Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafii dan orang-orang Alawiyin.

Mutharrif memfitnah dan melaporkan pada Khalifah Harun bin Rasyid, lalu menyebut Imam Syafii terlibat dalam rencana merongrong kekuasaan Harun Al-Rasyid. Kemudian Imam Syafii ditangkap. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai, lalu diarak di jalanan sebagai sosok yang tertuding melawan kekuasaan negara.

Namun Khalifah Harun Al-Rasyid adalah sosok yang cerdas dan bijaksana. Tuduhan bahwa beliau seorang yang terlibat sebagai bagian dari Syiah Rafidah yang diduga merencanakan konspirasi perlawanan tidak terbukti kemudian dilepaskan.

Lalu ada Imam Ahmad bin Hanbal yang pernah dicambuk dan dipenjara selama 30 bulan oleh Khalifah Makmun karena tidak mengakui sisi kemakhlukan Alquran seperti yang diyakini aliran muktazilah.

Khalifah Al-Makmun saat itu menyukai bidang filsafat dan mulai memaksakan pandangannya tentang Alquran bahwa Alquran adalah makhluk, lantas para ulama dipaksa mengikuti pemikirannya. 

Namun Imam Ahmad bin Hanbal menolak mengikuti pemikiran Al-Makmun dan meyakini Alquran adalah kalamullah dan bukan makhluk. Setelah itu Imam Ahmad dipenjara. Lalu bebas setelah Khalifah Al-Mutawakkil menjalankan kekuasaan. (https://republika.co.id/amp/qli9ud320).

Ulama empat madzhab tersebut bukanlah para kriminal, pembunuh, dan maling uang rakyat, namun mereka adalah para penegak yang Haq yang hingga kini masih diteladani manusia.

Lalu ada pula karya-karya besar yang dihasilkan dari balik bui. Buya Hamka merampungkan Tafsir Al Azhar dari dalam penjara. Sayyid Quthb menulis Tafsir Fi Dzilalil Quran di penjara. Pangeran Diponegoro menulis Babad Diponegoro di tempat pengasingan. Tan Malaka menghasilkan buku Dari Penjara ke Penjara dalam ruangan penjara. Pramoedya Ananta Toer menelurkan Tetralogi Pulau Buru di tempat pembuangan. Soekarno menulis Indonesia Menggugat di penjara. Adolf Hitler menulis Mein Kamf dalam penjara. Nelson Mandela menulis Conversation With My Self dari balik penjara. Dan masih banyak lagi.

Semua karya itu kini menjadi karya besar dunia. Terlepas dari ideologi apa yang mereka perjuangkan di dalam karyanya tersebut. Ini menandakan bahwa penjara -di luar fungsi aslinya- memiliki tradisi dan atsar melahirkan tokoh-tokoh besar dunia.

Penjara bagi mereka seolah menjadi tempat mengurung badan sementara agar bisa memfokuskan pikiran untuk menelurkan pikiran emas mereka. Sesuatu yang kadang sulit terjadi jika berada di luar penjara sebab badan terlalu disibukkan oleh aktivitas jasmani. Hal itu pernah diakui Buya Hamka sendiri. Jika tidak dipenjara oleh rezim Orla bisa jadi Tafsir Al Azhar tak pernah selesai.

Peter Carey, penulis dan peneliti Diponegoro selama 30 tahun, di dalam pendahuluan buku Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro, mengatakan, "Sungguh, semakin terbatas ruang fisik yang dihuni Sang Pangeran, kerajaan batinnya justru semakin meluas. Hal ini dapat kita saksikan pada pencurahan tulisan sastranya di Manado dan Makassar. Dalam hal ini tampak ada kesamaan antara Diponegoro dan sosok lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) yang dunia fisiknya juga dipangkas habis hingga tinggal seluas sel penjara, namun ia justru menemukan ruang bagi tumbuh-mekarnya kreativitas batin, yang mengubah penjaranya menjadi ashram (Panti Semadi)." (Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855); Penerbit Buku Kompas 2014, Hal. XXXi).

Penjara, sekali lagi adalah sebutan untuk bangunan tempat mengurung orang hukuman (KBBI). Namun jika menilik riwayat sejarah yang juga terus mengulang kisahnya hingga kini, ruangan itu juga terkadang menjadi sebuah pengejawantahan dari sebuah kedzaliman sekelompok manusia yang kebetulan memegang kekuasaan terhadap mereka yang berseberangan pemikiran. Ini sudah menjadi semacam cerita wajib yang harus terjadi dalam kehidupan di dunia ini pada setiap zaman.

Dan bagi orang beriman, penjara bukan melulu ruangan sempit penuh sesak itu. Bahkan dunia yang demikian luas ini pada hakikatnya adalah penjara.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir,” (HR. Muslim no. 2392).

Imam Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Orang mukmin terpenjara di dunia karena harus menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan dimakruhkan. Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan. Ketika ia mati, barulah ia istirahat dari semua itu. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah janjikan berupa kenikmatan yang kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang. Adapun bagi orang kafir, dunia yang ia peroleh sedikit maupun banyak, ketika ia meninggal dunia, ia akan mendapatkan azab (siksa) yang kekal abadi.”

Walhasil penjara sebagai ruang hukuman bagi para kriminal adalah benar adanya sesuai konsensus manusia. Namun tidak semuanya yang dipenjarakan adalah seorang kriminal. Bisa saja musuh politik, ulama, dan siapapun yang memilih sebagai oposisi. Dan nafsu ingin memenjarakan pihak-pihak yang berseberangan bisa jadi pula menandakan  bahwa hati orang tersebut sedang terpenjara oleh kepentingan-kepentingan duniawi.

Wallahu A'lam Bis Showab.

*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyyah Pandaan Pasuruan


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama