Politik dalam Pandangan Ahlusunnah
Oleh : Abduh Rijal*
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah |
Zaman sekarang, banyak orang berebut saling sikut untuk menjadi pemimpin. Sedangkan para sahabat Nabi Saw dahulu justru banyak menolak untuk dijadikan pemimpin, kalaupun terpaksa menjadi pemimpin maka mereka akan sangat merasa takut, khawatir tidak bisa mengemban amanah tersebut dengan baik.
Sebut saja Sahabat Umar Ra. Beliau hampir tiap malam meronda, berkeliling ke pelosok-pelosok kampung sebab ia khawatir kalau ada penduduk yang urusannya terabaikan, semisal dalam keadaan kelaparan.
Saking perhatiannya keadaan keledai pun beliau khawatirkan. Umar bin Khattab Ra. pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok ke dalamnya, maka ia bertanggung jawab karenanya.
Kepemimpinan apabila berhasil dijalankan dengan baik, akan membawa keselamatan. Selain menjadi sebuah pahala jariyah, pemimpin yang adil menurut sabda Nabi Saw kelak akan diberikan naungan istimewa ketika tidak ada naungan lain selain naungan Allah SWT.
Imam al Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa, "Andaikan saja manusia melangsungkan urusannya dengan adil maka akan hilanglah sekala permusuhan dan menganggurlah fuqoha, akan tetapi manusia melangsungkan urusan dunia dengan syahwat hingga melahirkan permusuhan. Sehingga membuat mereka membutuhkan sulthon/penguasa yang mengurusi mereka. Sementara sulthon sendiri membutuhkan qonun untuk mengatur (masyarakat) dengan (qonun) itu."
Maka kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi / pokok-nya (ushul) sedangkan penguasa adalah penjaganya. dan apa-apa yang tidak ada pondasinya maka dia akan runtuh sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga maka dia akan lenyap.
Dalam Islam, politik adalah perkara cabang (Furu') sedangkan inti agama adalah Aqidah. Keduanya tetap harus ada, namun ditegakkan secara berurutan.
Seorang pemimpin harus ikut akar, yaitu akidah yang benar berlandaskan akidah Ahlusunnah waljamaah. Jika akar terpecah dari akar maka pohon akan mati, jika politik lepas dari akidah maka politik islam akan mati.
Ketika politik merupakan cabang dan akidah itu akar maka dalam berpolitik kita tidak bebas. Dalam politik kita harus dipandu dengan agama dan prinsip agama yang akan menjadi panduan.
Berbeda dengan pandangan kaum sekuler yang tidak ada panduan demikian. Dalam pandangan orang sekuler yang tanpa akar, tujuan mendapatkan kekuasaan adalah diutamakan dan sering akan digunakan segala macam cara untuk menegakkan ideologi mereka.
Maka kriteria pemimpin dalam Islam yang pertama adalah dia harus berakidah yang benar dan mau mengikuti dan menegakkan syariat Islam.
Politik dalam Islam tidak boleh kaku dan tidak jumud, harus ada dinamika dan ada keluwesan. Di zaman Khulafaur Rasyidin pun terjadi perbedaan, seperti di zaman kekhalifahan Abu Bakar Ra, beliau dipilih oleh para sahabat.
Di zaman sayyidina Umar Ra. prosesnya melalui penunjukan sahabat, di zaman usman Ra. dipilih dari 6 suara ahlul ahli wal aqli, di zaman Sayyidina Ali Kwh. beliau ditunjuk oleh sayyidina Abbas sebagai paman Nabi.
Bentuk syuro di masa Khulafaur Rasyidin ini adalah bukti bahwa meski syuro wajib dilakukan namun penerapannya berbeda beda.
Di zaman tersebut para ulama tidak menolak 100 persen, artinya sistem pemerintahan tidak terlalu penting, namun tetap seorang kholifah harus memegang teguh syariat.
Bagi kaum Ahlusunnah, tidak ada model baku dalam pemerintahan. Ada yang menerima system khilafah ada yang tidak, yang penting ada substansi bahwa politik adalah untuk menegakkan agama, politik adalah cabang dan itu termasuk ilmu hikmah. Inilah politk islam.
Contoh firqoh yang salah dalam memandang politik adalah kaum Syiah. Mereka cenderung pada sistem yang baku.
Imam harus maksum dan dilantik oleh nash. Syiah juga menimbukan revolusi berdarah karena sistem kepercayaan yang demikian. Sedangkan ahlusunnah melarang revolusi berdarah, karena darah orang beriman itu lebih berharga dari dunia dan seisinya. Revolusi di Iraq, syiria dsb sejatinya tidak perlu berlaku.
Kebahagiaa akhirat adalah tujuan akhir politik. Kekuasaan itu penting untuk kemaslahatan dunia, kemaslahatan dunia itu penting untuk kemaslahatan agama, dan kemaslahatan agama adalah untuk meraih kebahagiaan akhirat.
Umat Islam harus menyuarakan tentang tujuan mulia politik dalam Islam, visi dan misi yang jelas inilah yang harus mulai disuarakan. Jangan disibukkan dalam politik kepartaian, kita harus paham makna dan hakikat politik dalam Islam.
Kerangka politik Islam berdasarkan wahyu, kerangka ini bersifat metafisik seperti konsep tuhan dan konsep manusia.
Sebelum ada kontrak sosial dengan Negara, ada kontrak dengan Allah SWT yang fundamental dan penting.
Seseorang juga harus mengerti tentang konsep agama yang bermakna Dien hingga Madina, kita membina sebuah Negara berawal dari paham agama. Inilah sejatinya bentuk politik yang sesuai dengan nilai keislaman. Wallahu A'lam Bis Showab.
*Aktivis Aswaja Bangil