Ketika Mimpi Dihakimi
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Dream Is Human Rights |
Alkisah suatu hari, seorang saudagar asal Mesir datang ke Baghdad dengan membawa barang dagangan dalam jumlah besar. Dalam waktu singkat dagangannya habis terjual di pasar dan ia berniat kembali pulang ke negerinya.
Namun karena kapal yang ditunggu belum juga datang, ia terpaksa tinggal lebih lama di Baghdad. Suatu malam dia bermimpi menikah dengan seorang putri dari hakim di Baghdad dengan nilai mahar yang sangat tinggi.
Cerita mimpi itu akhirnya viral ke seluruh penjuru kota sampai terdengar oleh Tuan Hakim. Singkat kisah si pedagang dihadapkan ke hakim tersebut dan lalu dia diintrogasi oleh si hakim,
"Apakah benar engkau bermimpi mengawini anak gadisku?” tanya si Hakim
“Benar, Tuan Hakim,” jawab si pedagang Mesir.
“Kalau begitu kamu harus membayar mahar untuk anakku,” ujar Tuan Hakim.
“Tapi, Tuan, mana mungkin saya harus membayar mahar, ini ‘kan hanya mimpi,” jawab si pedagang Mesir.
Tanpa banyak cingcong, si Hakim tersebut merampas semua harta milik si pedagang Mesir dan hanya menyisakan pakaian yang dikenakannya saja. Si hakim juga mengusirnya dari tempat itu.
Kisah memilukan si pedagang Mesir itu banyak mengundang simpatik publik pada masa itu. Akhirnya ada yang menyarankan pedagang asal Mesir itu menemui Abu Nawas agar membantunya.
Singkat cerita pedagang Mesir itu pergi menemui Abu Nawas dan menceritakan kemalangan yang menimpanya dengan nada mengiba.
Ketika itu Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya di rumahnya. Kata Abu Nawas, “Bolehkah aku menceritakan semuanya ini secara jujur kepada Sultan?”
Si pedagang pun mengizinkannya, begitu pedagang asal Mesir itu pergi, Abu Nawas mengumpulkan muridnya dan berkata, “Sekarang kalian semua boleh pulang, tetapi malam nanti kembalilah kemari sambil membawa cangkul, kapak, batu, dan bakul,” katanya.
Tentu saja murid-muridnya heran, “Aneh guru kita ini, apa yang akan diperbuatnya malam nanti?” Pikir mereka sambil berjalan pulang.
Malam harinya, setelah para muridnya berkumpul kembali, Abu Nawas pun berseru, “Hai, kamu semua, pergilah ke rumah Tuan Hakim, lalu hancurkan rumahnya. Kalau ada yang bertanya, jangan kamu pedulikan, tetapi katakan bahwa aku yang menyuruh kalian melakukan hal itu.”
Maka di kegelapan malam itu berbondong-bondonglah murid Abu Nawas menuju rumah si Hakim untuk melaksanakan perintah menghancurkan rumah. Tentu saja penghuni rumah terkejut dan marah bukan main.
“Siapa yang menyuruh menghancurkan rumahku?” tanya Tuan Hakim.
“Guru kami, Abu Nawas,” jawab mereka kompak.
Siang harinya tuan hakim melaporkan peristiwa itu kepada Sultan Harun al-Rasyid yang kemudian memerintahkan memanggil Abu Nawas. Abu Nawas pun kemudian memanggil pedagang asal Mesir itu, mereka bertiga menghadap ke istana.
“Mengapa engkau menyuruh menghancurkan rumah si Hakim?” tanya Sultan.
“Ya, tuanku, kami suruh para murid menghancurkan rumah tuan hakim karena dalam mimpinya Tuan Hakim menyuruh kami menghancurkan rumahnya,” jawab Abu Nawas.
“Hai, Abu Nawas, bolehkah mimpi dilaksanakan? Hukum mana yang engkau pakai?” tanya Sultan.
“Mohon maaf, Yang Mulia, hukum yang kami pakai ialah hukum Tuan Hakim.”
Mendengar jawaban itu, Tuan Hakim tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya tertunduk lesu dan membisu sampai terdengar perintah Sang Sultan,
“Abu Nawas, coba jelaskan maksud perkataanmu tadi”.
“Ya tuanku, ada seorang pedagang Mesir datang ke negeri ini. Pada suatu malam ia bermimpi menikah dengan anak Tuan Hakim dengan mahar yang jumlahnya banyak sekali. Kabar itu didengar oleh Tuan Hakim. Lalu ia menemui si pedagang Mesir dan meminta mahar anak gadisnya itu. Tentu saja si pedagang Mesir tidak bersedia menyerahkan mahar karena pernikahan itu hanya mimpi. Tapi Tuan Hakim malah merampas seluruh harta si pedagang Mesir, kecuali baju yang dikenakannya.”
Tuan Hakim tidak mengingkari laporan Abu Nawas. Ia hanya diam membisu, lidahnya kelu.
“Dimana pedagang Mesir itu?” tanya Sultan.
Pedagang Mesir itu pun menghadap Sultan Harun al-Rasyid.
“Hai, pedagang Mesir, ceritakan kembali pengalamanmu selama engkau berdagang di negeriku ini,” perintah Sultan.
Pedagang itu pun menceritakan kembali semua pengalamannya selama di Baghdad. Mendengar cerita si pedagang, Sultan pun muntab dan memecat si Hakim serta memenjarakannya.
Sultan juga merampas harta benda tuan hakim dan memberikannya kembali kepada si pedagang Mesir. (Majalah Alkisah Nomor 01 / 5-18 Januari 2004).
Kisah masyhur tersebut menarik untuk dikaji karena ada hikmah abadi yang bisa diambil dan nilainya masih relevan dengan zaman ini.
Salah satu pelajaran penting yang bisa jadi ibroh dari kisah itu adalah ternyata selalu ada saja orang yang berperilaku nista dengan cara mengambil kesempatan jahat dari hal yang abstrak demi ambisi jahatnya.
Di dalam kisah Abu Nawas tersebut nampak sekali piciknya si tuan hakim yang menghukumi mimpi seseorang demi kepentingan pribadinya. Padahal mimpi adalah hal abstrak (Bathin) yang di dalam hukum Islam tidak bisa dihukumi.
Sebab di dalam fikih Islam berlaku kaidah bahwa yang bisa dikenai hukum fikih hanyalah yang nampak (Dhohir) saja.
Ada kaidah fikih yang sering dinisbatkan kepada Imam Syafi'i yang berbunyi,
"إنما نحكم بالظاهر والله يتولى السرائر"
"Kami (ahli fiqih) menghukumi perkara yang dhohir saja sedang perkara batin itu urusan Allah."
Itu berarti, suatu perbuatan baru dihukumi dosa apabila dilakukan dalam perbuatan nyata (kasat mata) namun tidak ada status hukumnya apabila masih dalam niat, apalagi masih dalam ranah mimpi.
Perkara menghukumi secara dhohir ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw. Saat itu ada salah seorang sahabat beliau yang bernama Usamah Bin Zaid Radiyallahu Anhu membunuh seorang musuh Islam padahal sebelum dieksekusi dia menyatakan syahadat di hadapan Usamah.
Namun karena dianggap itu hanya muslihat agar dia bisa selamat, Usamah tetap membunuhnya. Kejadian itu diketahui oleh Rasulullah Saw dan beliau marah sekali kepada Usamah Bin Zaid Radiyallahu Anhu.
Meski Usamah menyesal dan meminta agar Nabi berkenan memohonkan ampun untuknya namun Rasulullah Saw tetap mengatakan, “Apa yang akan engkau pertanggung jawabkan dengan kalimat laa ilaaha illallah pada hari kiamat nanti?” dan beliau terus-menerus mengulangi kalimat tersebut.” (HR. Muslim di Kitabul Iman).
Dari kisah itu bisa disimpulkan bahwa hukum Islam (fikih) hanya menghukumi yang nampak saja (Dhohir). Sedangkan perkara yang tidak kasat mata adalah urusan Allah semata.
Padahal dalam kisah Usamah tersebut tergambar jelas bahwa si musuh Islam itu bersyahadat hanya sebagai tameng belaka namun tetap Rasulullah Saw tidak menerima perbuatan sahabatnya itu.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa yang dihukumi dalam syariat adalah perkara yang nampak (dhohir) saja. Sedangkan masalah hati (bathin) adalah urusan Allah semata.
Lalu bagaimana bila kita menghadapi kasus ada orang dilaporkan kepada penegak hukum hanya gegara masalah mimpi dengan tuduhan bahwa mimpi itu diduga kuat akan menimbulkan keonaran dan dianggap mendukung prilaku radikalisme.
Bagi para ahli fikih bisa jadi kasus ini adalah hal paling absurd, dan bisa jadi hal itu berlaku pula bagi para pakar hukum konvensional (warisan Belanda) di Republik ini.
Apakah bisa mimpi dipidanakan dengan tuduhan kekhawatiran bakal digunakan untuk radikalisme. Dan uniknya lagi mimpi itu juga dituduhkan sebagai bentuk penistaan agama karena mencatut nama Rasulullah Saw.
Hal ini patutnya kita sikapi secara bijak. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
من رآني في المنام فقد رآني فإن الشيطان لا يتخيل بي
“Siapa yang melihatku dalam mimpi, dia benar-benar melihatku. Karena setan tidak mampu meniru rupa diriku.” (HR. Bukahri dan Muslim).
Dalam redaksi lain, Rasulullah Saw juga bersabda, "Barang siapa yang melihat aku dalam mimpi, maka dia benar-benar melihat sesuatu yang benar." (HR Muslim dari Abu Qatadah).
Bagaimana jika dikhawatirkan orang tersebut berbohong alias mengaku-ngaku saja? Mudah saja, orang tersebut bisa dihadapkan kepada Ulama yang alim Sholeh terlebih yang sudah mencapai derajat Musnid di negeri tersebut agar orang itu bisa ditanyai mengenai ciri-ciri atau apa saja kriteria yang benar-benar melekat kepada Nabi Muhammad Saw.
Imam Bukhari pernah menyebutkan keterangan tentang Ibnu Sirin rahimahullah, ketika mengomentari hadis tentang mimpi melihat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Sirin memberi catatan tentang syarat benar atau tidaknya melihat Nabi Saw dalam mimpi dengan mengatakan,
إذا رآه في صورته
“Apabila dia benar-benar melihat wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Bukhari, setelah hadis no. 6592).
Dalam literatur tasawuf , bermimpi atau bahkan berkomunikasi interaktif dengan orang-orang yang sudah wafat adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para arifin. Bahkan mimpi orang saleh, apalagi ulama yang taat dan bersih, adalah dianggap bagian isyarat dari Tuhan.
Dalam Al-Qur'an , dapat dipahami bahwa mimpinya para Nabi dapat disejajarkan dengan wahyu. Syariah qurban, menyembelih hewan qurban, yang kita lakukan sampai saat ini pada awalnya adalah mimpi Nabi Ibrahim AS yang diminta untuk menyembelih anak kesayangannya.
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpi, perlu dicocokkan dengan ciri fisik dan wajah beliau sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dan keterangan para sahabat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan dari Ayyub, beliau menceritakan, jika ada orang yang bercerita kepada Muhammad bin Sirrin bahwa dirinya mimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ibnu Sirrin meminta kepada orang ini untuk menceritakan ciri orang yang dia lihat dalam mimpi itu."
"Jika orang ini menyampaikan ciri-ciri fisik yang tidak beliau kenal, beliau mengatakan, “Kamu tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnu Hajar menyatakan, “Sanad riwayat ini sahih".
Kemudian beliau membawakan riwayat yang lain, bahwa Kulaib (seorang tabi’in) pernah berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, "Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi."
Ibnu Abbas berkata, “Ceritakan kepadaku (orang yang kamu lihat).”
Kulaib mengatakan, “Saya teringat Hasan bin Ali bin Abi Thalib, kemudian saya sampaikan, beliau mirip Hasan bin Ali.”
Lalu Ibnu Abbas menegaskan, “Berarti, kamu memang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sanadnya jayyid. (Fathul Bari , 12:383 – 384).
Jadi, seseorang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam mimpi, maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya. Dengan syarat apabila ciri-ciri sifat fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam hadis-hadis sahîh .
Jika ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama berpendapat, bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan.
Hal itu pertanda tentang kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi tersebut dalam hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ia tidak melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam karena ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri sifat fisik Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Tetapi setan berupaya menipunya dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun setan tersebut tidak mampu menyerupai ciri-ciri sifat fisik Nabi SAW.
Jika si pelapor tetap bersikukuh menuduh pihak yang dilaporkannya berbohong dan mencatut nama Nabi perihal pesan Nabi kepada si terlapor di dalam mimpinya, harusnya cukup gunakan dalil yang berasal dari Al Mughirah, yang mana ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir).
Jadi tidak perlu ranah hukum pidana untuk masalah ini karena sekali lagi masalah mimpi adalah masalah tak kasat mata (Bathin) dan Islam hanya menghukumi sesuatu yang empiris (Dhohir) saja.
Karena keadilan hukum di negara ini pada kasus-kasus yang sebenderang matahari saja masih sulit ditegakkan terutama yang menyangkut rakyat kecil dan yang tidak sepemikiran dengan pemegang kebijakan negara, apalagi jika ditambah dengan kasus absurd semacam pemidanaan mimpi, tentu akan membuat hukum di Republik ini makin jadi sorotan dan bahan tertawaan.
Tentu kita tidak mau kelak ada kasus seorang istri melaporkan suaminya karena si suami mimpi kawin lagi dengan dalih mimpi itu berpotensi menimbulkan kegaduhan rumah tangga mereka.
Atau jangan sampai nanti terdengar kasus seorang artis cantik melaporkan seorang lelaki karena si lelaki mimpi basah dengan si artis dengan delik hukum si artis merasa namanya tercoreng akibat mimpi tersebut.
Hal-hal absurd dan mubadzir macam itulah yang harusnya bisa dihindari oleh para penegak hukum di negeri ini supaya kepercayaan masyarakat tidak makin turun (distrust) kepada lembaga penegak hukum. Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan