Kehati-hatian Yang Kian Punah
Oleh : Ahmad Abu Ali
Wara' |
Saat itu seperti biasa bakhda maghrib, di akhir pekan jalanan antar dua kota kecil yang dilalui rel kereta api itu sedang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Dan kebetulan kereta api dari arah Jakarta ke Malang sedang lewat. Palang pintu pun ditutup. Dari arah berlawanan ada sebuah mobil ambulance yang berhenti dan mengambil jalur melawan arah.
Pengendara lain bisa sedikit memaklumi hal itu sebab bisa jadi pasien yang berada di dalamnya sedang dalam keadaan darurat. Namun uniknya, ada beberapa pengendara motor yang berada tepat di belakang mobil ambulance tersebut.
Mereka melakukannya agar tidak terjebak kemacetan karena seperti yang dimaklumi bahwa ambulance selalu diistimewakan di jalan raya.
Benak saya tersentak, apakah tindakan para pengendara motor yang demikian itu diperbolehkan di dalam Islam.
Apakah tindakan itu tidak termasuk dalam mengambil manfaat dari sesuatu yang bukan haknya.
Entahlah, namun yang jelas jika kita berkaca pada teladan para salaf saleh, maka fenomena seperti itu yang bisa jadi dianggap remeh di zaman ini, bisa jadi merupakan sesuatu yang besar di mata kaum salaf soleh.
Dikisahkan bahwa Imam Abu Hanifah Ra. pernah berteduh di suatu teras rumah seseorang. Namun setelah mengetahui bahwa rumah itu adalah milik seseorang yang memiliki hutang padanya, Imam Abu Hanifah pun bergegas pindah karena khawatir apa yang beliau lakukan termasuk dalam tindakan mengambil manfaat dari hutang.
Kemudian di dalam kisah yang lain, Imam Abu Hanifah Ra pernah menegur pekerjanya yang bertugas menjual dagangan sang Imam.
Saat itu Imam Abu Hanifah Ra. melihat si pekerja menjual dagangannya sambil mendendangkan sholawat dengan keras.
Imam Abu Hanifah Ra. kurang setuju dengan hal itu. Beliau menganggap pekerjanya itu mengambil manfaat duniawi dari sholawatnya itu.
Yakni agar orang-orang tertarik membeli dagangannya karena menganggap bahwa si pedagang adalah orang yang gemar bersholawat.
Hal ini menurut Imam Abu Hanifah Ra. bisa masuk kategori mengambil manfaat duniawi dari perkara agama. Alias "menjual" agama untuk mencari keuntungan duniawi.
Imam Abu Hanifah Ra. juga pernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik Baitul Maal di Kufah hilang sampai beliau yakin kambing tersebut telah mati.
Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup? Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.”
Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup.
Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzhalimi hatinya. Meskipun sebenarnya hal ini tidak berdosa karena beliau tidak mengetahui benda itulah yang haram.
Nah, inilah perbedaan yang sangat mencolok antara zaman kita dan para salaf saleh, yakni pada kehati-hatian (Wara') dalam menyikapi dunia.
Hal yang dianggap remeh dan mubah sekalipun bisa jadi besar dalam pandangan para salaf saleh.
Karena orientasi mereka bukan duniawi semata melainkan akhirat dan ridho Allah Swt.
Pantas saja jika jalan yang mereka tempuh itu adalah jalan yang layak ditiru oleh umat setelahnya.
"Perkara halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Di antara keduanya (halal dan haram) ada perkara syubhat yang banyak orang tidak mengetahuinya." (HR Bukhari dan Muslim).
Wara diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra, dan ain yang berarti 'menahan', bisa berarti pula 'mengepal'.
Secara bahasa, wara adalah menjaga kesucian, yaitu menahan diri dari yang tidak pantas. Maka dikatakan tawara' jika seseorang merasa sempit.
Sedangkan, secara istilah syariat, wara adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati.
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Ketika seseorang telah sampai pada maqam wara, ia akan menjadi orang yang ahli ibadah. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah."
Juga disebutkan bahwa,
"Barang siapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya." (Syarh Muslim, 11: 28).
Maka berhati-hati dalam menyikapi dunia adalah sebuah barang langka yang merupakan akhlak para solihin. Dan tugas kita lah mencoba menapaki jalan mulia itu kembali. Wallahu A'lam Bis Showab.