Pejuang Pulang; Revolusi Akhlak Berkumandang
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Darurat Revolusi Akhlak |
10 November 2020 menjadi tonggak sejarah baru dalam kaleidoskop umat Islam Indonesia.
Pasalnya di hari Pahlawan itu, seorang tokoh Islam Indonesia yang selama ini getol membela kehormatan Islam dan istiqomah menyerukan amar makruf nahi munkar akhirnya kembali ke tanah air setelah berada di tanah suci beberapa tahun lamanya.
Dialah DR. Habib Muhammad Rizieq Shihab Lc. M.A. DPMSS sang pemimpin Front Pembela Islam (FPI) yang juga didaulat oleh beberapa kalangan sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia.
Banyak kisah yang mengiringi kepulangan sang Mufti kesultanan Sulu tersebut. Mulai dari cerita upaya penggagalan kepulangan sang Habib yang dilakukan oleh oknum pejabat Indonesia yang dilakukan berkali-kali hingga ancaman pengusutan kembali upaya-upaya hukum yang pernah dituduhkan pada beliau setibanya di tanah air.
Dan yang tentu tidak ketinggalan adalah narasi buruk tentang beliau yang dimaksudkan untuk membunuh karakternya.
Masih terekam jelas dalam jejak berbagai warta daring bagaimana seorang pejabat tinggi negara mengatakan bahwa sang Habib cuma WNI biasa yang kepulangannya tidak usah ditanggapi secara istimewa.
Lalu pejabat itu juga bilang bahwa sang Habib bukan orang suci seperti pemimpin Syiah, Khomeini, dan pengikutnya pun juga hanya sedikit.
Keramaian juga merambah dunia maya. Berbagai reaksi warganet yang berkelindan di berbagai platform media sosial baik yang pro maupun yang kontra hingga saat ini seolah tidak ada selesainya.
Namun yang jelas pada 10 November tersebut, kepulangan sang Habib nyata jelas telah merajai trending topic di berbagai media sosial.
Dan dari semua fenomena itu ada yang tidak kalah menarik yakni bagaimana antusiasme umat dalam menyambut kedatangan beliau.
Bandara Soekarno-Hatta dikepung oleh ribuan (bahkan lebih) umat Islam berpakaian putih sembari melantunkan berbagai sholawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Sepanjang jalan keluar dari bandara menuju Petamburan Jakarta Pusat disesaki lautan manusia yang menyambut kepulangan sang Habib.
Bahkan ada satu akun youtube bernama Ujung Oppa yang memiliki 1,73 Juta Subscribers merasa heran dengan fenomena lautan manusia itu.
Orang Korea yang fasih berbahasa Indonesia itu bahkan minta bantuan kepada para penonton kontennya agar bisa memberi tahu padanya siapa sosok Habib Rizieq tersebut.
Apakah dia pejabat, artis atau apa. Sebab berdasar pengakuannya selama hidupnya baru kali ini dia menyaksikan ada lautan manusia yang menyambut satu orang bisa sedemikian ramenya.
Dia mengira awalnya ada demo namun ternyata bukan. Oppa Korea itu tahunya artis sekelas BTS dan Black Pink yang biasa disambut fansnya seperti itu namun dalam segi kuantitas mereka tidak bisa menandingi ramenya sambutan kepada Habib Rizieq Shihab. (https://youtu.be/uxPZtXLfNLY)
Semua fenomena itu seolah hendak membungkam lisan-lisan nyinyir yang begitu bencinya kepada sang Dzurriah Rasulullah Saw tersebut.
Revolusi Akhlak
Dalam ceramah perdananya di markaz FPI, Petamburan Jakarta Pusat (10/11/20), Habib Rizieq Shihab menjelaskan kronologi kepulangan dan meluruskan berbagai hoax bahkan fitnah yang selama ini beredar mengenai dirinya.
Mulai dari laporan "sampah" yang dikirimkan oknum pejabat tinggi tanah air kepada otoritas keamanan dan imigrasi Arab Saudi hingga pembentukan narasi jelek mengenai sang Habib oleh para Buzzer di berbagai media daring.
Serta tidak lupa sang Habib menyampaikan pandangannya mengenai Revolusi Akhlak. Sebab menurutnya banyak pihak yang alergi dan gagal paham mengenai Revolusi yang digaungkannya tersebut.
Padahal jika boleh fair, penguasa pun sebenarnya telah menggaungkan agenda yang sama yakni Revolusi Mental.
Namun publik menyikapinya biasa-biasa saja padahal menurut HRS pencetus Revolusi Mental pertama adalah Karl Marx.
Dari berbagai referensi bisa kita temukan bahwa bapak Komunis Dunia itu memang pernah mencetuskan jargon Revolusi Mental tersebut.
Dalam akun twitternya, Fadli Zon yang sedari muda terkenal sebagai intelektual yang concern pada masalah komunisme pernah mengatakan, "...'Revolusi Mental' punya akar kuat tradisi paham komunis."
Selanjutnya ia menambahkan bahwa Karl Marx menggunakan istilah "revolusi mental" dalam satu bukunya berjudul "Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte" yang terbit tahun 1869.
Selain itu, Fadli Zon juga mengungkapkan bahwa revolusi mental juga menjadi tujuan dari "May Four Enlightenment Movement" di China 1919. Gerakan itu, diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis Cina (PKC).
Dia juga mengatakan bahwa, "Aidit PKI, menghilangkan nama Achmad dari nama depannya, dan menggantinya dengan Dipa Nusantara (DN) dengan alasan revolusi mental, yaitu menghapus (nama) berbau agama."
Penghapusan sesuatu yang berbau agama adalah "akidah" asli Komunisme karena bagi mereka agama adalah candu.
Maka sangat wajar jika paham tersebut dilarang di Indonesia yang merupakan negara berketuhanan yang maha esa.
Serta tidak memiliki akar di dalam masyarakat nusantara yang terkenal sangat kuat memegang agama bahkan sejak masih dalam masa animisme-dinamisme.
Sebab menurut Agus Sunyoto, dari Lesbumi NU, saat masih dalam masa animisme-dinamisme pra Islam, masyarakat nusantara telah memiliki suatu keyakinan yang bernama Kapitayan.
Penulis Atlas Walisongo itu menyatakan bahwa keyakinan Kapitayan ini memiliki kepercayaan bahwa alam ini ada penguasanya yakni Sanghyang Taya.
Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.
Orang Jawa / Sunda Wiwitan mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat, “Tan Kena Kinaya Ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Artinya tidak bisa dilihat namun wajib diimani keberadaannya.
Dengan fakta sejarah itu maka secara otomatis ajaran apapun yang hendak meniadakan "jejak" Tuhan di nusantara ini akan tertolak sebab bertentangan dengan akar budaya masyarakat nusantara.
Di Indonesia, secara resmi penyebaran Marxisme-Komunisme-Leninisme dilarang pasca pemberontakan dan pengkhianatan G30S/PKI. Larangan penyebaran paham tersebut bersamaan dengan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Larangan penyebaran Marxisme-Komunisme-Leninisme itu sendiri dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor 25/1966.
Paradoks besar hari ini adalah manakala tidak ada yang menyebut program Revolusi Mental yang memiliki akar sejarah pada ajaran Karl Marx yang dilarang di Indonesia itu bertentangan dengan amanah konstitusi negara ini.
Dan lebih ironis lagi manakala ada pihak yang menyerukan Revolusi Akhlak sekonyong-konyong langsung dicap hendak memprovokasi rakyat untuk merubah ideologi negara.
Padahal Revolusi Akhlak itu sendiri sesuai dengan amanah konstitusi negara ini yang tertuang pada UUD 45 pasal 31 mengenai tujuan pendidikan yang menyatakan,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta Akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Habib Rizieq Shihab dalam ceramah perdananya itu juga menjelaskan alasan dirinya lebih memilih kata Revolusi Akhlak dan bukan yang lain. Alasan terkuat adalah karena Rasulullah Saw memakai kata akhlak bukan yang lain.
Dan sebagai umatnya tentu kita wajib memilih apa yang sudah dipilih oleh Rasulullah Saw sebagai bentuk Ittiba'.
Rasulullah Saw bersabda,
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا بُعِØ«ْتُ لأُتَÙ…ِّÙ…َ Ù…َÙƒَارِÙ…َ الأَØ®ْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Akhlak adalah kepribadian dan karakter yang mulia. Akhlak berasal dari kata "kha la qa", satu akar kata dengan khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan).
Maknanya akhlak adalah perangai yang baik, tidak hanya dari sudut pandang manusia namun juga dari sudut pandang Allah.
Definisi Revolusi menurut Habib Rizieq Shihab tidak melulu terkait dengan penggulingan kekuasaan lewat senjata. Revolusi bisa bermakna perubahan secara mendasar dan menyeluruh dalam waktu sekejap.
Dan sang Habib mencontohkan bahwa Revolusi Akhlak yang dimaksudkan adalah perubahan akhlak masyarakat secara drastis dari yang Sayyi'ah menuju yang Karimah.
Dalam Revolusi Akhlak beliau mencontohkan kalau yang dulu tidak sholat maka saat itu juga harus sholat tanpa menunda waktu lagi.
Jika dahulu suka berbohong maka saat itu juga berevolusi menjadi orang yang tidak suka berbohong, dst. Apakah ada yang salah dengan agenda Revolusi Akhlak tersebut.
Jika boleh dicari titik temu, harusnya masalah Revolusi Akhlak ini disikapi secara bijak oleh penguasa sebagai sebuah iktikad baik dari salah satu anak bangsa yang juga ingin melihat negerinya menjadi lebih baik.
Jika penguasa menganggap Revolusi Mental miliknya sah-sah saja meskipun diakui atau tidak bahwa ada "jejak" Marxisme di dalamnya yang sebenarnya dilarang di negara ini, maka seyogyanya Revolusi Akhlak yang digaungkan oleh salah seorang anak bangsa (HRS) juga dianggap sah karena tidak ada yang bertentangan dengan Konstitusi negara ini.
Bukankah dalam Konstitusi, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk turut serta dalam mencerdaskan anak bangsa. Apalagi Habib Rizieq Shihab merupakan Ulama, maka kewajiban mendidik umat baginya merupakan tugas pokok yang merupakan mandat dari langit.
Jadi, jika penguasa dan mereka yang ada di sekelilingnya mampu mengesampingkan ego politiknya maka Revolusi Akhlak sebenarnya bisa dijadikan sebagai ajang berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiqul Khoirot).
“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Baqarah [2]: 148).
Fastabiqul khairat merupakan kekuatan penggerak umat menuju berpikir kreatif, inovatif, dan konstruktif.
Sejarah telah menunjukkan bahwa etos fastabiqul khairat yang dimiliki umat telah memacu spirit dan motivasi mereka dalam meraih kemajuan peradaban Islam yang gemilang.
Karena di dalamnya para pemimpin, ulama, pendidik, sastrawan dsb bisa bergandeng tangan mengaktualisasikan etos fastabiqul khairat dalam mengembangkan sains, teknologi, seni, dan budaya demi terwujudnya peradaban Islam yang agung.
Mereka selalu selangkah lebih maju dan lebih cepat dalam melakukan aksi kebaikan. Mereka ini bukan termasuk kategori kelompok yang menzalimi diri sendiri, dan juga bukan kelompok pertengahan.
Di dalam Al Qur'an dijelaskan,
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS Fathir [35]: 32).
Menurut Syekh Wahbah al-Zuhayli, makna kalimat zhalim li nafsihi adalah kelompok yang melaksanakan sebagian kewajiban, dan melanggar sebagian yang diharamkan. Kelompok ini masih cenderung fastabiqul ma’ashi wal munkarat (berlomba-lomba melakukan kemaksiatan dan kemungkaran).
Sementara muqtashid adalah kelompok pertengahan, yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, namun masih melakukan sebagian yang makruh (dibenci agama) dan meninggalkan beberapa amalan yang dianjurkan.
Sedangkan sabiq bil khairat bi idznillah adalah kelompok kompetitif yang melaksanakan kewajiban dan anjuran, dan meninggalkan larangan dan yang makruh, serta sebagian yang dibolehkan.
Dari tiga klasifikasi itu tentu kelompok yang paling ideal adalah kelompok yang senantiasa bergegas dalam melakukan kebaikan (al-khairat) demi kebaikan bersama.
Dalam etos Fastabiqul Khoirot, seseorang dapat berbuat kebaikan sesuai dengan kompetensi dan posisi masing-masing.
Ulama dapat berdakwah mengasuh dan membentengi umat dari segala hal yang dimurkai Tuhan.
Pemimpin negara bisa peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpinnya dengan memberikan pelayanan terbaiknya. Mereka bisa amanah dan tidak sibuk melakukan transaksi kekuasaannya dengan pihak asing atau pengusaha hitam demi mengeruk kekayaan untuk kepentingan pribadi atau partai politiknya.
Pengusaha juga bisa berkarya demi kemajuan ekonomi negara dan rakyat. Sedangkan fakir miskin bisa mendedikasikan dukungan dan doanya demi kebaikan bangsa dan Negara.
Jadi semua elemen anak bangsa berfastabiqul khairat dalam bidang dan maqomnya masing-masing. Dan akhirnya kebaikan bersama bagi bangsa ini bisa dicapai dengan izin Allah Swt.
Namun semua itu dengan catatan ketika penguasa bisa mengesampingkan ego maupun dendam politiknya serta bisa legawa untuk berlomba-lomba dalam kebaikan demi bangsa dan negara ini. Wallahu A’lam Bis showab.
*Umat Islam, Rakyat Kecil