Tingkatan Ilmu Dalam Islam
Oleh : Abduh Rijal*
Ilmu Adalah Cahaya |
Ulama berkata bahwa al ilmu nuurun, ilmu bagaikan cahaya dan sifat cahaya menurut ilmu fisika adalah warna yang tersusun – susun. Cahaya sendiri ada bermacam macam, seperti cahaya bintang, cahaya matahari, lampu, korek api dsj.
Ada juga cahaya metafisik seperti al Quran yang disebut sebagai cahaya, Nabi Saw juga disebut dengan cahaya, bahkan Allah Swt sendiri adalah cahaya dalam al Quran.
Seperti yang tersebut di dalam firmanNya,
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nuur: 35)
Maka sebagaimana sebuah cahaya ternyata memiliki banyak jenis dan tingkatan, maka demikian pula dengan ilmu yang juga bertingkat – tingkat. Ada ilmu yang bersumber dari panca indra seperti mengenai warna dan bentuk dsb.
Ada ilmu yang diperoleh melalui cara kerja pikiran seperti akal kita manakala mengatakan bahwa bulan itu besar meski terlihat secara kasat mata hanya sekecil koin. Ada juga ilmu yang berasal dari khobar shodiq, yang mana panca indra kita tak sampai dengan kabar tersebut. Seperti kita yang sebelumnya tidak mengenal kematian, lalu bisa mengetahuinya lewat al Quran dan Sunnah Nabi Saw. Ada pula ilmu yang didapat melalui jalur khusus, yaitu intuisi yang hanya diberikan Allah kepada para hambanya yang sholeh.
Ilmu jika ditinjau dari aspek sumbernya bisa memiliki bermacam - macam jenis. Ilmu secara hukum juga dibagi menjadi dua yang dikategorikan sebagai fardhu ain dan kifayah seperti penjelasan Imam al Ghozali. Ada ilmu yang wajib diketahui sebelum kita mati. Jika tidak maka kita akan merugi. Seperti contoh bagaimana kita harus tahu tentang Allah dan Rosul, jika kita lewati ilmu ini maka kita akan rugi.
Ada ilmu yang wajib dipelajari sebagian orang saja seperti ilmu kedokteran dsb. Tidak semua orang harus mempelajarinya, berbeda dengan ilmu fardhu ain tadi. Para Nabi tidak mengajarkan ilmu ekonomi dan computer namun Nabi datang dengan ilmu pengenalan kepada Allah SWT. Tidak semua ilmu itu sama.
Ilmu ada yang kasbi dan wahbi. Ilmu kasbi adalah ilmu yang bisa kita usahakan, sebaliknya ada ilmu seperti para Nabi yang diberi wahyu yang tidak bisa kita usahakan. Orang tidak bisa mencapai derajat nabi meski telah berusaha sebaik mungkin, karena ilmu para nabi adalah ilmu wahbi. Tapi kita bisa menjadi seorang profesor dalam matematika karena itu termasuk ilmu kasbi.
Akibat dari pengaruh kebudayaan Barat ilmu kini hanya dibataskan pada apa yang bisa didapat dari pancaindra saja yakni melalui jalur sains. Jika ilmu tidak bisa dibuktikan secara empiris maka itu tidak bisa dikatakan ilmu, dalam pandangan Barat.
Dan bagi kita ini adalah kekeliruan karena telah menafikan bagian ilmu – ilmu lain terutama ilmu wahyu. Mereka (kaum Barat) tidak bisa menjelaskan tentang derajat ilmu yang benar dan terjebak kepada empirisisme atau pengetahuan dari panca indra semata.
Fenomena demikian disebut sebagai fenomena “Loss Of adab” atau hilangnya adab menurut Syed Naquib al Attas. Loss of adab dalam ilmu akan membuat ilmu menjadi bermasalah dan tidak akan bermanfaat. Padahal Nabi mewanti - wanti, ”Man zada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan. Yang artinya, "Barangsiapa yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuknya maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah. Wallahu A'lam Bis Showab. (Editor : Senyapena)
*Aktivis Aswaja Pandaan & Majlis Ta'dib