Kedudukan Ilmu Dalam Islam
Oleh : Muhammad Syafii Kudo*
Kemuliaan Ilmu |
Islam adalah agama wahyu yang sangat menjunjung tinggi kedudukan ilmu dan yang terkait dengannya seperti para penempuhnya (Tholabul Ilm) maupun pengajarnya (Aalim).
Allah Swt berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).
Di dalam ayat tersebut Allah Swt memulai kesaksian dengan Diri Nya, diikuti dengan para malaikat Nya lalu seterusnya dengan ahli ilmu. Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan ilmu dan para ahli ilmu di sisi Allah Swt.
Dalam beberapa hadis yang masyhur juga dijelaskan bagaimana mulianya kedudukan ahli ilmu dalam pandangan Islam.
Rasulullah Saw bersabda,
العلماء ورثۃ الأنبياء
“Para ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. Bukhari).
Beliau Saw juga bersabda,
فضل العالم علی العابد كفضلي علی أدنكم رجلاً
“Keutamaan orang alim atas seorang abid ibarat kelebihanku atas orang yang terbawah di kalangan kamu.” (HR. Thobroni).
Kedudukan ilmu di dalam Islam memang sangat vital bahkan merupakan fardhu Ain bagi tiap Muslim untuk mencarinya. Hal ini seperti yang termaktub di dalam beberapa riwayat hadis.
Rasulullah SAW bersabda,
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة,و طالب العلم يستغفر له كل
شيء حتى الحوت في البحر
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan. Orang yang mencari ilmu itu akan dimintakan ampun oleh setiap sesuatu yang ada di muka bumi ini sampai ikan-ikan yang berada di lautan”.(HR. Thobroni).
Bahkan saking tegasnya Islam dalam memposisikan kedudukan ilmu hingga dikatakan bahwasannya manusia itu dibagi menjadi dua golongan saja yakni orang yang mengajarkan ilmu dan yang belajar ilmu. Di luar kedua golongan itu adalah kelompok yang tidak dianggap.
Rasulullah Saw bersabda,
النّاس رجلان عالم و متعلم وساءر هم همج
“Manusia itu ada dua golongan ; Orang alim dan penuntut ilmu, lain dari mereka adalah golongan yang hina-dina.”
Keutamaan ilmu juga dapat dilihat dalam kisah burung Hud-hud ketika ditanya oleh Nabi Sulaiman As. Hud-hud hanyalah seekor burung kerdil di hadapan Nabi Sulaiman As yang berderajat tinggi lagi gagah perkasa. Namun dengan kemuliaan ilmu, sedikit pun Hud-hud tak gentar dengan ancaman Nabi Sulaiman As, bahkan dengan tenang dia menjawab,
فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
“Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. “(QS. An-Naml : 22).
Ini adalah bukti bahwa ilmu adalah ruh di dalam Islam yang tanpanya hukum-hukum Allah tentu tidak akan bisa diketahui dan dijalankan. Bahkan disebutkan secara tegas bahwa mencari ilmu adalah sebuah kemuliaan. (Adabul Muridin Lil Imam An Najeeb Dhiya’uddin As Suhrawardiy, Terj. Hal 31 Bab Fadhilah Ilmu).
Rasulullah Saw menjelaskan bahwasannya dunia dan seisinya itu terlaknat kecuali pada beberapa hal, seperti yang tertera di dalam hadis,
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَـا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَـافِيْـهَـا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَـلِّـمٌ .
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi).
Ilmu juga menjadi tolak ukur seseorang apakah dikehendaki menjadi baik atau buruk oleh Allah Swt. Tentu ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bisa menghantarkan seorang hamba untuk mengenal akan Rabb nya yaitu ilmu agama (Islam).
Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka akan dipahamkan ia dalam (masalah) agama.” (HR. Bukhari).
Dipahamkan dalam hal ini maksudnya adalah dipahamkan dalam masalah ilmu agama baik yang diperolah secara kasbi (proses belajar pada guru dan membaca kitab) maupun secara wahby (pemberian langsung dari Allah alias Ladunni).
Bahaya Ilmu Yang Tidak Bermanfaat
Dalam pandangan Islam secara garis besar ilmu itu dibagi menjadi dua yakni ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. Di dalam pembukaan kitab Ayyuhal Walad karya Imam Ghazali Rhm. diceritakan bagaimana murid beliau menuliskan keluhannya kepada Imam Ghazali.
Sang murid yang sudah belajar lama dan berkhidmah kepada Imam Ghozali itu sudah menguasai berbagai ilmu yang detail yang tidak bisa dikuasai oleh orang awam dan dia pun memiliki kekuatan jiwa yang sudah teruji.
Namun sang murid suatu saat bertafakur dan merenungi keadaan dirinya, dia khawatir akan keadaan dirinya. Dia berkata,” Sungguh aku telah membaca bermacam-macam ilmu dan telah kucurahkan umurku untuk belajar dan menghasilkan ilmu, saat ini yang selayaknya aku ketahui adalah, ilmu yang mana yang bermanfaat bagiku, serta menjadi penghiburku di dalam kuburku, dan ilmu mana yang tidak bermanfaat bagiku sehingga akan kami tinggalkan, seperti saّbda Nabi Muhammad Saw,
اللهمّا إنّي أعوذ بك منۡ علۡم لا ينۡفعۡ
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Mengapa murid Imam Ghozali yang sudah menjadi ulama dan menguasai berbagai ilmu termasuk yang tidak bisa dikuasai oleh orang awam itu masih memiliki kekhawatiran sedemikian rupa ?
Alasannya adalah karena dia takut kepada ancaman Allah Swt, sebab disebutkan di dalam hadis bahwa Rasulullah Saw bersabda,
اشدُّ النَّس عذاباً يوم القيامۃ عالمٌ لمۡ ينفعۡه اﷲ بعلمه
“Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah ahli ilmu yang Allah tidak memberi manfaat atas ilmunya.”(HR. Baihaqi).
Jika timbul pertanyaan di benak kita bagaimana bisa seseorang yang dikatakan ahli ilmu malah disiksa paling keras oleb Allah Swt? Jawabannya adalah karena dia tidak mengamalkan ilmunya atau ilmunya tidak bermanfaat atau bisa pula dia memakai ilmunya itu untuk mendurhakai Allah Swt dengan jalan menyesatkan manusia dsb.
Rasulullah Saw bersabda,
من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله الا بعدا
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk baginya maka tidak bertambah kepadanya kecuali makin jauh dari Allah.”
Makin jauh di sini artinya adalah jauh dari rahmat Allah dan bukan maksudnya semakin jauh secara fisik sebab Allah tidak boleh disifati dengan sifat makhluk (Tajsim dan Tasybih) karena Allah berbeda dengan makhluk. Dan juga Allah tidak butuh kepada arah dan tempat serta ruang dan waktu.
Beliau Saw juga bersabda,
العلم علمان علم على اللسان فذلك حجة الله تعالى على خلقه، وعلم في القلب فذلك
العلم النافع
“llmu pengetahuan itu ada dua : ilmu pada lisan, yaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhluk-Nya dan ilmu pada hati, yaitu ilmu yang bermanfa'at"(HR. Tirmidzi).
Ilmu yang tidak bermanfaat bisa juga muncul dikarenakan salah dalam niat ketika mencarinya. Sehingga ilmu yang didapat bukannya menjadikan bermanfaat namun malah menjadi mafsadat dan mudharat bagi pemiliknya dan orang lain.
Hal ini banyak disinggung di dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah adab dalam mencari ilmu seperti kitab Ta’lim Al Muta’alim karya Syekh Az Zarnuji dan kitab Adabul Alim Wal Muta’alim karya Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.
Rasulullah Saw pernah mengingatkan perihal bahaya orang-orang yang salah niat dalam mencari ilmu dalam sabdanya,
لا تتعلموا العلم لتباهوا به العلماء ولتماروا به السفهاء ولتصرفوا به وجوه الناس إليكم فمن فعل ذلك فهو في النار
“Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk bersombong-sombong dengan sesama orang berilmu, untuk bertengkar dengan orang-orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka”(HR. Ibnu Majah).
Sayyidina Umar Bin Khattab Ra berkata,”Yang paling saya takutkan atas umat ini adalah orang munafik yang berilmu.”
Lalu beberapa orang berkata,”Bagaimana bisa demikian?”
Sayyidina Umar Bin Khotob Ra menjawab,”Mereka berilmu di lidah saja namun tidak di hati dan perbuatan.”
Beberap hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya bahaya ilmu, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat. Orang yang berilmu hakikatnya berada di antara dua kemungkinan.
Adakalanya mereka menderita kebinasaan abadi atau bisa pula kebahagiaan abadi. Tergantung apakah dia bisa memperoleh manfaat dengan ilmunya atau ilmunya malah menjadi mafsadat baginya.
Terutama bagi para ahli ilmu yang memiliki kedudukan dan pengikut di kalangan umat. Tentu fitnah mereka lebih berbahaya. Jika mereka baik maka umat akan baik dan sebaliknya jika mereka rusak maka rusak pula seluruh umat.
Dikatakan di dalam sebuah kalam hikmah,
اِنَّ زَلَّۃَ الۡعَالِمِ كاَ السَّفِيۡنَۃِ تَغۡرَقُ وَيَغۡرَقُ مَعَهَا خَلۡقٌ كَثِيۡرٌ
“Sesungguhnya kesesatan seorang Alim itu seperti sebuah bahtera yang tenggelam. Niscaya akan ada banyak makhluk yang ikut tenggelam bersamanya.”
Imam Al-Ghazali Rhm. menjelaskan di ujung bab Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam kitab Ihya’ Ulumudin tentang rumus penting terkait jatuh bangunnya umat. Beliau menjelaskan bahwa rakyat rusak karena penguasa rusak, penguasa rusak karena ulama rusak, dan ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan.
Artinya rusaknya ulama (ahli ilmu) merupakan pangkal seluruh kerusakan. Maka untuk menyelamatkan sebuah generasi haruslah menyelamatkan ilmu yang dibawa oleh para penempuh dan pengajarnya. Dan itu semua harus dimulai sejak dini saat proses awal mencari ilmu.
Maka berhati-hati di dalam menuntut ilmu itu sangat penting bahkan wajib ditanamkan semenjak tahap awal proses menuntut ilmu yakni mulai dari niat, adab dan cara menuntut ilmu tersebut. Sebab baik buruknya hasil ilmu ditentukan mulai dari awal proses kala menempuhnya.
Sebagai pengingat agar kita berhati-hati di dalam menata niat saat menuntut ilmu ada baiknya kita merenungkan pendapat Syekh Ibnu Atho'ilah Assakandary Ra yang menyatakan, "Perumpamaan orang yang menuntut ilmu untuk mendapatkan dunia dan kedudukan adalah seperti orang yang mengangkat kotoran dengan sendok permata. Alatnya sungguh mulia, sementara isinya teramat hina.”(Latha'if Al Minan: Rahasia Yang Maha Indah; Belajar Hidup Berkah Dari Kekasih Allah, Halaman 65). Wallahu A’lam Bis Showab.
*Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan