Pandemi Wabah Dan Gambaran Penguasa
Oleh : Muhammad Syafii Kudo
Keadilan Untuk Semua
Belakangan ini publik tanah air dibuat geger oleh sebuah pemberitaan yang mengejutkan.
Dalam warta terbaru disebutkan bahwa 59 negara menolak kedatangan WNI akibat jumlah penderita Covid -19 di tanah air yang kian melonjak tinggi. (https://cnnindonesia.com/nasional/20200911110723-32-545270/istana-respons-59-negara-tolak-kedatangan-wni).
Tentu hal ini membuat kegaduhan baru di tengah kebisingan-kebisingan masalah yang tak kunjung tuntas di negeri ini.
Saling tuding siapa yang salah dalam kasus ini pun tidak terelakkan. Seperti yang sudah-sudah, semua isu nasional oleh para elite selalu diseret ke ranah politik.
Apalagi menjelang tahun Pilkada seperti ini, tiap celah yang berpotensi menaikkan citra diri akan diolah sebaik mungkin untuk mendulang simpati publik yang diharapkan nantinya bisa diwujudkan menjadi tambahan suara.
Tidak terkecuali wabah Covid-19 ini. Pandemi global yang masih mengancam nyawa rakyat Indonesia itu nyatanya tidak disikapi secara satu suara oleh para elite negara.
Ada yang memandang bahwa yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa rakyat dengan cara pengetatan pembatasan sosial secara total yang konsekuensinya adalah terhambatnya roda ekonomi.
Di sisi lain ada juga oknum pelayan penguasa yang keberatan jika ada pemimpin daerah terutama di Ibu Kota negara menerapkan PSBB total. Alasannya tidak ada lain juga adalah masalah ekonomi. Sebab dia berpendapat bahwa nilai IHSG akan merosot jika PSBB Total diterapkan.
Beda sikap antar elite ini tentu membuat rakyat kian jengah. Sebab bukan hanya berisik di ranah publik, kegaduhan itu juga diseret ke dalam media sosial oleh para Influencer dan Buzzer bayaran.
Antara menyelamatkan nyawa rakyat dan mengejar pertumbuhan ekonomi adalah dilema besar penguasa hari ini.
Dilematis sebab suara nurani sebagai sesama manusia beradu keras dengan bisikkan kroni yang tidak mau bisnisnya terganggu.
Dahulu Sayyidina Umar Bin Khattab Ra. pernah berkata, "Seandainya ada keledai yang mati karena terperosok di jalanan Madinah, tentu Umar akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak."
Pemimpin seadil dan setegas Umar Al Faruq masih bisa memikirkan nyawa keledai yang notabene dianggap sebagai binatang paling bodoh, apalagi dengan nyawa manusia.
Satu nyawa manusia bagi seorang pemimpin yang adil adalah segalanya. Sebab siapa yang berani mengambil amanah memimpin suatu kaum artinya dia juga berani menjadi pelayan mereka.
Dan mencari gambaran ideal sosok pemimpin adil seperti Sayyidina Umar di zaman ini tentu sangat sulit. Sebab jalan yang ditempuh Sayyidina Umar dan pemimpin-pemimpin di akhir zaman sangat berbeda jauh.
Sayyidina Umar adalah sosok tegas tanpa kompromi yang memilih hidup sederhana meniru Nabi Muhammad Saw.
Dia bisa menegakkan keadilan hukum bahkan kepada anaknya sendiri. Dikisahkan bahwa Umar pernah mencambuk sendiri anaknya yang bernama Abdurrahman akibat menenggak minuman keras sewaktu berada di Mesir yang mana setelah hukuman itu kebetulan sang anak jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Bagi Sayyidna Umar, menegakkan hukum kepada keluarga wajib didahulukan sebelum menegakkannya kepada rakyat.
"Orang-orang memandang kalian seperti daging santapan burung, kalau saya mendengar di antara kalian ada yang melakukan kesalahan, maka saya akan melipatgandakan hukuman untuk kalian," kata Umar bin Khattab seperti dikutip dalam buku Sang Legenda Umar bin Khattab karya Yahya bin Yazid Al Hukmi Al Faifi.
Bandingakan dengan oknum pejabat hari ini yang mati-matian menyembunyikan kejahatan keluarganya bahkan hingga buron ke luar negeri agar tidak diciduk oleh polisi maupun KPK.
Sayyidina Umar juga tidak menyetujui adanya "politik dinasti" seperti yang sedang menjadi tren di negeri ini.
Menjelang Sayyidina Umar bin Khattab meninggal dan dalam keadaan sekarat karena ditikam oleh seorang budak Persia, beliau memberikan arahan kepada kaum Muslimin soal pemilihan khalifah penggantinya.
Salah satu arahan itu adalah, dia melarang anak-anaknya menjadi pejabat dan khalifah.
Padahal, beberapa kaum Muslimin yang hadir mendengar arahan Umar itu, menyarankan kepada Umar bin Khattab untuk memilih anaknya, Abdullah bin Umar sebagai penggantinya.
"Ya Amirul Mukminin, anak paduka itu lebih layak menerima jabatan khalifah ini, jadikan sajalah dia menjadi khalifah, kami akan menerimanya," kata sebagian Muslimin pada saat itu.
Namun, Umar menjawab, "Tidak ada kaum keturunan Al Khattab hendak mengambil pangkat khalifah ini untuk mereka, Abdullah tidak akan turut memperebutkan pangkat ini."
Setelah itu, Umar bin Khattab menoleh ke arah Abdullah bin Umar, anaknya. "Anakku Abdullah, sekali-kali jangan, sekali-kali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini!"
"Baiklah ayah," jawab Abdullah bin Umar.
Wasiat dari ayahnya ini, dipatuhi oleh Abdullah bin Umar. Sehingga, sampai kepada masa perebutan khalifah di antara Sayyidina Ali dan Muawiyah, Abdullah menjadi sosok yang netral. (Sejarah Umat Islam; Buya Hamka).
Itulah Umar Bin Khottab, pemimpin tegas dan adil yang mana setan pun takut meski hanya kepada bayangannya.
Beliau adalah pemimpin yang tidak terbeli oleh guyuran dana konglomerat maupun petinggi kabilah. Sehingga kebijakan pemerintahannya tidak menuruti kehendak mereka melainkan berdasar ilmu warisan Rasulullah Saw dan arahan dari hasil musyawarah bersama para Ulama (Para Sahabat Nabi Ra).
Sebab siapa yang dia merasa butuh kepada seseorang maka dia akan menjadi budaknya; siapa yang orang lain merasa butuh kepadanya maka dia menjadi tuannya; dan siapa yang dia tidak merasa butuh kepada seseorang maka dia adalah manusia merdeka.
الانسان عبد الاØسان
"Manusia adalah hamba dari kebaikan"
Pepatah bijak yang sering dinisbatkan kepada Sayyidina Ali Kwh. itu sangat benar adanya. Kodrat manusia adalah akan merasa berutang budi kepada orang lain yang memiliki jasa kepadanya.
Apalagi sebagai orang Indonesia yang memiliki sifat "sungkanan", tentu akan sangat sulit bagi kita untuk melupakan jasa orang lain kepada kita.
Dan ini sering menjadi masalah apalagi jika dialami oleh para pengambil kebijakan dan hukum bagi masyarakat.
"Keterikatan balas jasa" bisa mempengaruhi netralitas mereka dalam menegakkan hukum dan menerapkan kebijakan di tengah masyarakat.
Pekan ini sedang viral mengenai surat keberatan orang terkaya di Indonesia yang dikirim kepada Presiden untuk menolak diadakannya PSBB di Jakarta.
Bos perusahaan rokok dan Bank Konvensional terbesar di Indonesia itu menolak PSBB karena dianggap tidak efektif menurunkan tingkat peningkatan infeksi di Jakarta. Dia juga memberikan beberapa solusi lain di luar PSBB guna menghadapi wabah Covid 19 yang kian naik persentase penularannya di Jakarta.
Terlepas dari baik buruknya solusi dari taipan kelas atas itu, yang jelas publik menduga ada kepentingan bisnis di baliknya.
Sebab menurut data Bloombergs, yang dikutip dari yahoo.com, kekayaan pengusaha rokok itu lenyap sampai US$ 4,7 miliar atau setara Rp 70,5 triliun menjadi US$ 12,4 miliar (Rp186 triliun) per Selasa, 17 Maret 2020. Padahal, pada 9 Maret 2020, hartanya masih mencapai angka US$ 15,3 miliar atau setara Rp 232,1 triliun.
Nah ini tentu menjadi ujian berat bagi penguasa kita, sebab semua sudah mafhum bahwa sistem politik di negeri ini mau diakui atau tidak adalah sistem politik transaksional yang melibatkan banyak pihak.
Banyak dari elite politik hari ini adalah hasil dari politik transaksional tersebut sebab dana kampanye mereka tidak sedikit yang berasal dari para pemodal.
Bahkan Mahfud Md menyatakan, “Calon -calon (Kepala Daerah) itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud dalam diskusi virtual bertajuk ‘Memastikan Pilkada Sehat : Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi’, Sabtu (11/9). (https://www.jawapos.com/nasional/politik/12/09/2020/mahfud-md-92-persen-calon-kepala-daerah-didanai-cukong/)
Jangan lupakan pula bahwa hampir separuh anggota DPR 2019-2024 adalah berlatar belakang pengusaha. Jadi sangat wajar jika dalam menyikapi wabah yang mengancam nyawa rakyat ini masih ada debat kusir beda sikap sebab kalkulasinya adalah pertimbangan bisnis.
Wal hasil semoga pemimpin kita hari ini diberi kekuatan oleh Allah Swt agar mampu memakai suara nurani dibandingkan bisikan kroni meski sebesar apapun hutang jasa kepada mereka semasa kampanye dulu.
Di sisa masa jabatan yang masih berjalan semoga ada pembenahan yang lebih baik dalam menangani wabah ini.
Ada satu tips dari Rasulullah Saw yang patut dicermati terutama oleh para pemimpin negara.
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Nasai, Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah SWT menghendaki seorang penguasa (amir) itu baik (berhasil dalam memimpinnya) maka Allah SWT menjadikan para pembantu (para menteri)-nya orang orang yang shidiq (jujur dan kritis).
Jika penguasa tersebut lupa lalu melakukan kesalahan, mereka itu mengingatkannya. Dan jika melakukan kebaikan, mereka itu menguatkan dan menolongnya.
Namun, jika Allah menghendaki penguasa itu tidak baik (tidak berhasil dalam memimpinnya) maka Allah SWT menjadikan para pembantu (para menteri)-nya itu orang-orang yang suu' (kotor hatinya).
Jika penguasa itu melakukan kesalahan, mereka tidak mengingatkannya. Dan jika melakukan kebaikan, mereka membiarkan dan tidak menolongnya.” (HR. An Nasa'i). Wallahu A'lam Bis Showab.
Dimuat Di : https://hidayatullah.com/artikel/opini/read/2020/09/20/192350/pandemi-wabah-dan-gambaran-penguasa.html