Islam Pemerdeka NKRI

      Jejak Islam Dan Arab Dalam Sejarah Indonesia

      Oleh : Muhammad Syafii Kudo*

Islam Dan Indonesia

Bulan ini bangsa Indonesia merayakan miladnya yang ke 75. Bukan usia yang muda tentunya jika diukur dengan usia manusia namun masih terlalu belia jika dibandingkan dengan usia negara-negara lain yang sudah "eksis" terlebih dahulu. 

Apalagi jika dibandingkan dengan durasi kolonialisasi bumi pertiwi oleh bangsa asing yang konon mencapai 350  tahun.  Bisa dikatakan usia kemerdekaan Indonesia masih seujung kuku. 

Maka menjadi sesuatu yang logis jika ingatan bangsa ini kepada jejak sejarahnya masih sangat tajam. Dan salah satu jejak sejarah itu adalah peranan keturunan Arab dalam mewarnai lahirnya bangsa ini. 

Bahkan bisa dikatakan mereka ikut membidani lahirnya bangsa ini. Seperti yang sudah dituliskan dalam buku-buku sejarah bahwa rumah yang digunakan oleh Bung Karno dalam membacakan naskah proklamasi sekaligus tempat menjahit bendera merah putih adalah sebuah rumah di jalan Pegangsaan Timur nomor 56. 

Rumah tersebut adalah rumah milik Faradj bin Said bin Awad Martak, seorang Arab Hadramaut. Selain menghibahkan rumahnya, dia pula yang mengirimkan madu Arab jenis Sidr Bahiyah dari lembah Wadi Do’an Hadramaut yang terkenal khasiatnya, kepada Bung Karno sehingga memperkuat daya tahan tubuh beliau yang sedang terkena beri-beri dan malaria. 

Menurut Bung Karno, madu itu sangat membantunya pulih dari kelelahan dan bisa memberinya tenaga untuk membacakan naskah proklamasi diiringi dengan pidato singkatnya. 

Siapakah Faradj Martak, dia adalah seorang pengusaha besar di masanya, pemilik perusahaan MARBA (Martak-Badjened) dan pemilik Hotel Garuda yang bersejarah di kota Yogyakarta. Selain rumah Pegangsaan Timur 56, ia juga telah menghibahkan beberapa gedung lain bagi pemerintah RI yang baru lahir.  

Ia banyak meninggalkan jejak bersejarah bagi bangsa Indonesia, salah satunya adalah Masjid Agung Al-Azhar yang terkenal di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, di mana ia dan sahabatnya, Hasan Argubi, termasuk di antara donatur besar dalam proyek pendiriannya. Masjid Al Azhar sendiri digagas dan dibina oleh ulama besar Indonesia, Buya Hamka (https://arabindonesia.com/madu-arab-dan-proklamasi-ri/).

Amanah Kyai Dalam Proklamasi

Membicarakan Indonesia tanpa membicarakan Islam adalah bagaikan membahas ikan tanpa membahas air. Ikan tanpa air maka akan mati karena ekosistem ikan adalah air. Sama dengan Indonesia, jangan pernah membahasnya tanpa membahas peran Islam di dalamnya. 

Sebab Indonesia lahir dalam ekosistem umat Islam. Santri dan Ulama adalah tokoh kunci di dalamnya. “Agama Muhammad,” tulis George Mc Turnan Kahin dalam karyanya,   Nationalism and Revolution in Indonesia, sebagaimana dikutip Bachtiar Effendi, bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, tapi juga merupakan simbol kesamaan nasib (in group) untuk menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain. 

Bahkan mulai dari pemilihan waktu pembacaan teks proklamasi pun Bung Karno memutuskannya berdasarkan nilai-nila Islam. Kyai Haji Abdoel Moekti, pimpinan Persyarikatan Moehamadijah Madiun mengatakan kepada Bung Karno bahwa 17 Agustus 1945, Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1364 H adalah waktu yang baik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena jika tidak dibacakan pada waktu yang dimaksud maka bangsa ini baru akan menemui waktu bagus itu 300 tahun yang akan datang. 

Dan untuk lebih memantapkan hati maka Bung Karno juga menemui Hadratus Syekh Hasyim Asyari pengasuh Pesantren Tebuireng guna mencari dukungan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Mbah Hasyim Asy'ari meyakinkan Bung Karno agar tidak perlu takut memproklamasikan kemerdekaan. (Api Sejarah 2 Halaman 144).

Kepada Cindy Adams (1965), Bung Karno menuturkan “Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20 ? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” kata Bung Karno. (Soekarno : Sang Penyambung Lidah Rakyat halaman 207).

Sejarah telah menceritakan kepada kita bagaimana negara ini dibentuk. Dan Bung Karno selalu berkata Jas Merah alias Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah. Generasi hari ini harus tahu sejarah negaranya yang tak lepas dari jasa para Ulama dan Santri. Mengapa ini penting untuk dibahas kembali, sebab hari ini sudah mulai berkembang narasi negatif mengenai Islam di Republik ini. 

Ada sebuah grand design agar Islam dan negara harus saling berhadap-hadapan. Seolah-olah ketika kita membicarakan Islam maka itu tidak NKRI , tidak Bhineka Tunggal Ika, anti Pancasila dan tidak Nasionalis. Dan masih ditambah lagi dengan narasi peyoratif tentang Arab seperti yang terjadi belakangan ini. 

Jadilah Islam tanpa harus jadi Arab. Sepintas jargon itu memang benar. Menjadi Muslim Indonesia memang tidak harus mengikuti gaya Muslim Arab. Kita harus dapat membedakan mana ajaran Islam dan mana yang budaya Arab. 

Namun slogan tersebut sebenarnya memiliki pesan implisit yang berbahaya. Sesuai dengan ungkapan masyhur Sayyidina Ali Bin Abi Thalib Kwh, "Kalimatul  Haq Urida Bihal Bathil ", yakni kalimat yang benar namun bertujuan untuk sesuatu yang batil. 

Mengapa demikian, karena jika melihat arah yang berkembang, harus diakui bahwa umat Islam kini mulai digiring kepada pemikiran anti Arab. Baik oleh musuh di luar Islam maupun tokoh-tokoh Islam sendiri. Bahkan seorang oknum  struktural ormas Aswaja terbesar di Indonesia pun sudah berani terang-terangan mengatakan bahwa Islam Arab (Timteng) adalah Islam abal-abal dan Islam penjajah. Islam yang sejati menurut tokoh yang “jualan” term rahmah ke negeri Zionis Yahudi itu hanyalah Islam Nusantara.

Padahal Nabi Saw ï·º pernah berkata kepada Salman Al Farisi (orang Non Arab: Persia): “Hai Salman janganlah kamu membenciku yang menjadikanmu memisahi agamamu.” Salman berkata: “Bagaimana mungkin aku membencimu sedangkan melalui dirimulah saya mendapatkan hidayah?” Rasulullah ï·º menjawab: “Kamu membenci Arab dan kamu membenciku.” (Hadits riwayat Tirmidzi).  

Dan juga hadis, "Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal : karena aku orang Arab, Alquran berbahasa Arab dan pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab”. (HR. At Tabrani, al Hakim, al Baehaqi).

Dua hadis tersebut menjelaskan betapa mencintai dan membenci Arab dilekatkan langsung kepada kepribadian Rasulullah Saw. Hargai dan hormatilah Arab secara proporsional karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menyuruhnya. 

Sebagai bangsa yang tidak amnesia sejarah dan tahu cara membalas budi kepada orang lain, maka tak sepatutnya kita membenci pihak yang telah sangat berjasa kepada kita. Siapa itu, tentu umat Islam dan Arab. Karena Islam dan Arab tidak pernah menjajah bangsa ini. 

Bahkan Islam dan Arab adalah pelopor perlawanan terhadap kolonialis kafir yang menjajah pribumi tempo dulu. Dan juga harap diingat bahwa bangsa-bangsa Arab lah yang pertama kali mengakui kemerdekaan negara Republik Indonesia. 

Mesir dan Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan negeri ini. Sebagai bangsa yang tahu berterima kasih pastinya kita akan selalu mengenang jasa mereka. Ingatlah kepada ancaman Nabi yang mengatakan "Tidak dikatakan bersyukur pada Allah, siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia."(HR. Tirmidzi dan Abu Daud; shahih).

Maka jika hari ini masih ada yang nyinyir kepada Islam dan Arab dapat dipastikan bahwa orang tersebut buta sejarah atau ada yang tidak beres dengan akal sehatnya. 

Wal hasil marilah kita merenungi sejarah bangsa ini sembari tetap merawat ingatan. Marilah menolak lupa. Wallahu A'lam Bis Showab. 

*Santri Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan, pembaca sejarah.

Sumber : Majalah Suara Hidayatullah Edisi Muharram 1442 H / September 2020

NB :Pernah juga dimuat di Media Aswaja Bangil, 24 Dzulhijjah 1440 H / 24 Agustus 2019, namun di sini ada penambahan dengan sedikit penyesuaian yang relevan.


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama