Membenturkan Jawa dengan Islam bagian 2
Oleh : Arif Wibowo, MPI
Sistem Tanam Paksa |
Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). pada 27 Februari 1832. Lembaga ini, selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007 :127).
Dalam lembaga inilah para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda berkumpul dan berkarya. Para javanolog Belanda ini menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.
Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 : 7-9).
Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa mengingatkan kita akan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum, pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Edward Said, dalam magnum opusnya, Orientalisme.
Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si pelacur, tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert.
Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya. (Said, 2010 : 8).
Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di Eropa.
“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halusm mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998 : 96)
Dari lembaga bahasa inilah akhirnya muncul aneka sastra anonim seperti Babad Kadhiri, Darmaghandul dan Gatholoco. Dan arah dari sastra anonim ini, seperti Darmagandhul misalnya, berisi banyak olok-olok terhadap Islam, bahkan menurut ustadz Susiyanto, yang sekarang mengajar di Unisulla Semarang, beberapa paragrafnya secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.
Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi,Isa Rahu’llahu.(Anonim, 1955:6) yang artinya Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah.
”Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ....”(Anonim, 1955:93). Yang artinya, “Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, nasrani)”
Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan memang tradisi lama dalam karya sastra Eropa di masa kejayaan gereja pasca Perang salib. Kita bisa mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad- oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka.
Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan, dengan hukuman tubuhnya terus menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek. (Said, 2010 : 101-102).
Penutup
Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmagandul maupun Gatoloco masih terus direproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak.
Perbenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut, menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono.
Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995 :xxii).
Namun, sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan, menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal, ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin, sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen.
Proses kreatif dalam melakukan dialektika Islam dengan budaya Jawa seperti mandeg. Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah ini.
Boyolali, 12-Januari-2014
*Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo & Peneliti INSISTS