Islam Dan Jawa

    Inkulturasi Misi yang Mengubah Arah

    Oleh : Arif Wibowo, MPI*

Misi Zending

Kalau pada beberapa waktu yang lalu saya sempat menulis bagaiamana proses penubuhan Islam dan Kebudayaan Jawa, sehingga menghasilkan sintesis mistik Islam Jawa, dalam istilah Ricklefs, atau loro-loroning atunggil dalam bahasa Pakubuwono X dalam serat rerepen, maka kali ini saya mencoba menelusuri mengapa dwi tunggal itu kini hilang.

Bahkan bukan hanya hilang, tapi dalam banyak wacana, Islam dan Jawa kini justru dihadapkan secara diametral. Seolah, pada saat ini, orang Jawa itu disuruh memilih, apakah menjadi orang yang nJawani atau Islami. 

Kalau nJawani berarti kurang, atau bahkan tidak Islami, sedangkan bila ingin menjadi orang Islam yang baik pilihannya adalah menjadi kemarab atau kearab-araban.

Problem itu terjadi menurut saya, setidaknya karena dua hal yaitu, pertama arah kebudayaan Jawa yang berubah karena keberhasilan misionarisme Kebudayaan Katolik yang lazim disebut inkulturasi dan modernisme yang berwatak anti tradisi yang menelusup ke pemikiran umat Islam. 

Saya sempat sedikit mengulas eksperimentasi kebudayaan yang dilakukan van Lith di Muntilan, dan mengapa van Lith menjadikannya sebagai tonggak awal misionarisme Katolik di Jawa. 

Meski tidak semua eksperimantasi kebudayaan itu berhasil, akan tetapi, van Lith terus melakukan dialog intensif antara kekatolikan dengan kejawaan. Murid-murid van Lith di Kolese Xaverius digiatkan untuk meneliti kebudayaan Jawa. 

Untuk mampu melahirkan persenyawaan maka harus dimahami betul unsur-unsur pembentuknya. Upaya ini terbukti mampu melahirkan banyak tulisan mengenai budaya Jawa.

Artikel tentang kesenian antara lain karya A. Soegijapranata tentang tari-tarian orang Jawa, D. Hardjasoewanda tentang Masjid di Jawa, H. Caminada tentang jathilan atau kuda kepang, B. Coenen tentang wayang, J. Awick tentang gamelan dan C. Tjiptakoesoema tentang rumah para Pangeran Jawa dan Gereja Katolik Bergaya Jawa. 

Dari persoalan-persoalan di atas, terlihat bahwa substansi yang dibicarakan cukup beragam, meliputi seni tari, musik, wayang, pakaian dan arsitektur.

Selain masalah seni dan kebudayaan, pandangan hidup dan adat istiadat orang Jawa juga menjadi kajian yang serius di kalangan Katolik.

Artikel mengenai adat-istiadat dan kepercayaan tradisional Jawa ditulis antara lain oleh H. Caminada tentang cara orang Jawa menentukan hari baik dan hari buruk, H. Fontane tentang cara orang Jawa menyelenggarakan pesta, A. Soegijapranata tentang orang Jawa dan agama yang dipeluknya, anonim, tentang orang Jawa dan arah mata angin, H. Caminada tentang takhayul Jawa dalam ngelmu tuju, J. Dieben tentang ilmu rasa, C. Tjiptakoesoema tentang ngelmu Jawa. 

Beberapa artikel yang ditulis non Jesuit antara lain tulisan August tentang arti nama bagi orang Jawa dan A.D. Nitihardjo tentang pesta sepasaran/lima hari kelahiran anak. 

Artikel-artikel tersebut dimuat dalam majalah St. Claverbond yang terbit 10 kali dalam setiap tahun. 

Selain itu, ada satu karya tulis dari seorang Pater Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa, Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur Piet.  Disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit di tahun 1935. 

Dalam disertasinya, Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa melalui telaahnya terhadap serat centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. 

Prof. Mukti Ali memberikan catatan khusus pada Pater Zoetmulder yakni sebagai orang yang mempunyai otoritas terkemuka dalam bahasa dan literatur Jawa kuno. 

Menurut Zoetmulder :

Persemayaman Tuhan di dalam diri manusia lebih mengingatkan kita akan ajaran mengenai Atman dalam agama Hindu daripada akan mistik Islam. 

Dalam Chandogya-Upanisad (3,14) Sandilya memaparkan ajarannya yang tersohor mengenai Atman pribadi yang berada di lubuk hati manusia, lebih kecil dari sebutir beras atau gandum atau sebutir biji sawi atau sebutir jewawut, yang sama dengan Brahma dan oleh karena itu lebih besar dari bumi, daripada angkasa, daripada langit. 

Sesudahnya Sandilya penyamaan jiwa individu dan jiwa semesta alam merupakah jantung theologi Hindu. Sukarlah, bila tidak mustahil, menentukan mana bagian Islam dan mana bagian Hindu, atau Jawa Hindu dalam pengaruhnya terhadap ajaran mengenai Tuhan di dalam diri manusia, seperti sekarang ditemukan di Pulau Jawa. 

Bahwa jumlah istilah Arab disini lebih sedikit daripada dalam teks-teks tersebut di atas, mungkin dapat ditafsirkan, bahwa pengaruh Islam disini tidaklah begitu besar. 

Pengidentikan Jawa lebih kepada Hindu tetap mendapatkan titik tekan dalam pandangan Zoetmulder. Meskipun Zotmulder juga tidak menafikan adanya peranan Islam di dalamnya, meskipun Islam yang telah terpengaruh alam religius India.

Tetapi tulisan-tulisan suluk tidak menjiplak sistem-sistem dari Arab ataupun India, apalagi mengolah atau mengembangkannya secara mandiri. Hanya beberapa gagasan pokok yang dikutip dan diolah secara kepingan-kepingan. 

Pengambilan alih ide-ide itu seringkali tidak langsung dari sumbernya, melainkan lewat Islam yang telah terpengaruh oleh alam religius India dan khususnya lewat alam religius Hindu Jawa. 

Pandangan ini kemudian menjadi mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa. Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa, sebagai inti dari agama apapun yang masuk ke Pulau Jawa.

Jadi meskipun banyak agama besar silih berganti masuk ke Jawa namun struktur inti kepercayaan Jawa bersifat tetap. Pandangan ini kental dalam buku Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa, atau buku dari Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia dan Etika Jawa.

Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, karya Frans Maginis Suseno. Dick Hartoko, seorang rohaniawan dan budayaram Yesuit, menggarisbawahi fenomena ini :

Penelitian ilmiah tidak pernah berhenti. Tetapi ini tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr. Zoetmulder setengah abad lalu. 

Nah, ketika Katolik dengan metode inkulturasinya mulai berhasil melakukan persenyawaan Katolik dengan Jawa, di sisi lain, sebagian umat Islam, yang sedang gandrung dengan modernisme selalu memandang dengan sebelah mata pada kebudayaan Jawa, bahwa Jawa adalah gudang klenik, bid’ah, takhayul dan khurafat. 

Hal ini tentu saja mengakselerasi perceraian kebudayaan antara Islam dan Jawa, sehingga sekarang kita seolah dipaksa untuk memilih, mau menjadi njawani atau kemarab. Wallahu A'lam Bis Showab.

*Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo & Peneliti INSISTS


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama