HUT RI Ke 75


 Sudah Merdekakah Kita
Oleh : Muhammad Syafii Kudo

17 Agustus adalah hari sakral bagi bangsa Indonesia. Di tanggal inilah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan. 

Gempita kemerdekaan itu dirayakan hingga kini oleh seluruh rakyat Indonesia melalui berbagai cara.

Ada yang merayakannya dengan hal positif seperti mengadakan perlombaan, baris-berbaris, dan tasyakuran melalui doa bersama, namun dan ada pula yang merayakannya dengan melakukan kegiatan negatif seperti panggung hiburan yang dipenuhi kemungkaran di dalamnya.

Semua itu adalah  variasi ekspresi dalam mengungkapkan kebahagiaan atas merdekanya negeri ini. 

Merdeka, itulah inti dari sebuah proklamasi. Meskipun definisi merdeka itu sendiri masih dipertanyakan. Apakah negeri ini sudah benar-benar merdeka dan berdaulat atau belum.

Apalagi di tengah kekacauan global akibat pandemi wabah seperti sekarang, tentu kemerdekaan sebuah bangsa kian diuji.

Apakah bangsa tersebut masih berdaulat dalam mengatur dirinya sendiri ataukah hanya manut pasrah kepada tekanan asing.

Apalagi Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia akan meningkat menjadi 30 juta jiwa pada tahun ini. 

Peningkatan jumlah penduduk miskin semakin tinggi karena tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona atau covid-19.(https://cnnindonesia.com/ekonomi/20200602171513-532-509107/orang-miskin-di-indonesia-diperkirakan-naik-jadi-30-juta)

Dan ironisnya peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut makin diperparah dengan masih menjamurnya korupsi di negeri ini.

Setelah upaya pelemahan lembaga anti rasuah (KPK) berhasil dijalankan, dilanjut terorisasi kepada aktivis anti rasuah seperti kasus Novel Baswedan, kini negeri ini digegerkan dengan tercorengnya wajah institusi kepolisian karena ulah salah satu oknum petingginya yang ternyata terlibat dalam kaburnya koruptor kelas kakap Djoko "Joker" Chandra ke luar negeri.

Maka menjadi wajar jika timbul pertanyaan di benak masyarakat, apakah negeri ini benar sudah merdeka ? Merdeka dari sisi apa ?

Ada sebuah fakta menarik yang diungkapkan oleh  Ketua Pusat Studi Kebijakan Ekonomi UGM (Universitas Gajah Mada), Revrisond Baswir, yang mengatakan bahwa setelah merdeka ternyata Republik Indonesia mewarisi hutang sekitar Rp 44 Triliun yang baru lunas dicicil pada tahun 2003 lalu. 

Hutang tersebut diwariskan berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Berdasarkan risalah Konferensi tersebut, hutang itu harus dibayar kepada Nederland Bank dan Javanese Bank senilai 44,6 Juta Gulden, lalu kepada Nederland Exim Bank sebesar USD 15 Juta, dan kepada para Kreditor lain seperti Pemerintahan Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. 

Revrisond mengaku mendapat salinan transkrip dan mendengar rekaman persidangan di Konferensi Meja Bundar tersebut. 

Hal lain yang terungkap dalam persidangan itu adalah pernyataan sepakatnya delegasi Indonesia mematuhi aturan Organisasi Moneter Internasional (IMF), padahal waktu itu Indonesia belum menjadi anggota PBB. 

Menurut dosen senior UGM tersebut, pada tahun 1973 utang warisan kolonial itu direstrukturisasi 35 tahun dan baru lunas pada tahun 2003. Jadi sebenarnya kita baru merdeka dari kolonialisme Belanda pada 2003, kata Revrisond Baswir. (Jawa Pos,  24 Februari 2008).

Dan setelah lepas dari hutang kepada kolonial Belanda, negeri ini nyatanya masih tak bisa lepas dari jeratan hutang luar negeri. Bahkan tren hutang tersebut kian meningkat jumlahnya.

Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 naik dan menembus angka sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868,15 triliun (kurs Rp 14.500). 

Nah, adakah kedaulatan sejati dari sebuah negeri yang tersandera hutang dan jebakan bantuan keuangan dari sistem ribawi global. 

Padahal Rasulullah Saw sudah mewanti-wanti bahwa hutang hanya akan membuat pelakunya gelisah di malam hari dan hina di siang hari (HR. Baihaqi).

Dengan SDM dan SDA yang demikian besarnya, bangsa Muslim terbesar ini nyatanya masih belum bisa lepas dari jerat Kapitalisme Global yang nilai-nilainya banyak bertentangan dengan sila ke lima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Kapitalisme yang menuhankan kepemilikan individu dan kebebasan pasar dinilai banyak menimbulkan ketimpangan menganga di antara berbagai kelas sosial dalam masyarakat yang akhirnya bermuara pada ketidak-adilan dan konflik sosial. 

Di mana yang kaya makin kaya dan yang miskin tambah miskin dan Islam sangat melarang hal itu. 

Dalam sebuah siaran radio swasta terkenal di Jawa Timur pernah si penyiar menceritakan dialog antara orang Indonesia dengan warga negeri jiran. 

Warga negeri seberang tersebut bertanya pada si Indonesia, “Tahukah anda kenapa bangsa asing banyak yang dengan senang hati membantu bangsa anda dalam bentuk hibah, utang luar negeri dsb ,” sebelum si Indonesia menjawab , si penanya tadi kemudian menjawabnya sendiri, “Karena mereka ingin agar bangsa anda makin bergantung pada mereka dan tidak menginginkan bangsa anda mandiri. Karena jika Bangsa Indonesa menjadi mandiri maka bangsa anda akan menjadi sebuah bangsa yang besar dan berpengaruh di dunia ini.” 

Dari beberapa pemaparan tersebut sudah jelas bahwa banyak yang takut ketika Indonesia menjadi maju karena bilamana negeri Islam terbesar di dunia ini maju maka dia akan mampu memimpin kebangkitan Islam yang baru. 

Dan para musuh Islam tentu tidak akan tinggal diam dengan hal itu, maka mereka konsisten membuat Indonesia tetap dalam kungkungan hegemoni mereka, sebab jika tidak maka Liiberalisme dan Kapitalisme akan punah. 

Itulah mengapa mereka sangat alergi kepada Syariat Islam yang dinilai akan memberangus kepentingan mereka. Jangan lupa bahwa dalam sejarah nusantara lama dikisahkan bahwa bangsa-bangsa kafir berlomba ke negeri ini untuk menjajah kekayaan ekonomi dan akidah bangsa ini sekaligus lewat semboyan Gold, Glory, Gospel (3G).

Dan semangat itu akan tetap mereka pelihara namun dalam bentuk penjajahan baru yang tidak kentara dan lebih efisien yaitu lewat penguasaan ekonomi Indonesia. 

Bukankah sudah sangat jelas banyak aset negara ini yang sudah dimiliki asing baik lewat "sandiwara" kerjasama ekonomi maupun lewat tangan- tangan "Proxy" mereka yang biasa dijuluki asing berwajah pribumi. 

Belum lagi dengan aset negara yang dijual kepada asing.  Yang mana semua itu tidak sesuai dengan amanah para salaf kita (Founding Fathers). 

Padahal, UUD 1945 menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1).

”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2).

”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3).

”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4). 

Lewat pemaparan semua fakta tersebut tidak berlebihan jika kita layak dicap sebagai  bangsa yang tidak amanah terhadap perintah para Salaf kita.

Maka sangat benar apa yang dikatakan oleh Mohammad Natsir sang Perdana Menteri pertama Indonesia dari Masyumi, "Islam itu jika masalah ibadah ritual maka akan dibiarkan. Jika masalah ekonomi maka akan diawasi. Dan jika sudah masalah politik maka akan dihabisi sampai akarnya." 

Dan pernyataan itu kian menunjukkan keabsahannya sekarang di Republik ini. 

Wal hasil selama Islam tidak diamalkan secara sempurna di negeri ini maka perayaan kemerdekaan Indonesia tiap tahunnya hanya akan bernilai seremonial belaka. Tak lebih dari sebuah festival dan perayaan karnaval. 

Benar memang kemerdekaan harus disyukuri dan diperingati, namun bentuk kesyukuran tertinggi adalah manakala kita mampu membawa bangsa ini lebih maju sesuai koridor Ilahi dan akhirnya slogan negeri gemah ripah loh jinawi dan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur tidak menjadi slogan yang utopis belaka. Wallahu A'lam Bis Showab. (Senyapena).


BACA JUGA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama