Membenturkan Jawa dan Islam
Oleh : Arif Wibowo, MPI*
Penjajahan Identitas Jawa |
Kalau kemarin saya mencoba menulis bagaimana van Lith mengidentifikasikan Jawa dengan wilayah yang paling akhir keislamananya, maka pada lini yang lain, mulai dimunculkan karya sastra anonim yang bercorak olok-olok terhadap Islam.
Sebenarnya ini tulisan lama, yang saya ambil hanya bagian yang menunjukkan bagaimana upaya indolog kolonial membenturkan Islam dengan Jawa.
“Dallikal, yen turu nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi, tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala.” (Serat Darmagandhul).
[Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit), kitabu la, kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi : perempuan yang pakai kain, hudan : telanjang (wuda), lil muttaqien : sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita (diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam Islam dan Kebatinan, hal. 17).
Darmagandul, demikian judul seratnya, sebuah sastra anonim yang ditulis pada abad Misi, sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik kristenisasi berjalan sangat intens.
Istilah-istilah kunci dalam agama Islam, diputar balikkan maknanya oleh Darmagandhul dengan metode othak-athik gathuk (mengait-ngaitkan) seperti istilah sadat sarengat (syhadat dan syari’at) di artikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya berdiri), tarekat itu taren kang estri (mengajak istri bersetubuh), sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah arab.
Selain Darmagandul, juga ada serat Gatoloco, dimana dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah diartikan ala, yang rupanya jelek, yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki, sedangkan naik haji ke Makkah diartikan sebagai proses persetubuhan dimana poisisi istri saat bersetubuh mekakah. (Rasjidi, 1967 : hal. 9-39).
Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar.
Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya. Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel).
Sistem tanam paksa mengharuskan para petani pribumi menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda.
Untuk menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati menjadi ningrat, dengan syarat para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013 : 12).
Belanda menangguk untung yang besar dengan politik tanam paksa ini, utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.
Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995 : 56).
Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa.
Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje, dimana menurut Snouck dengan penetrasi pendidikan model Barat lah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi.
Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan. (Shihab, 1998 : 86)
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam.
Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).
Pemilihan Kejawen (baca kebatinan) bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya, kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat banyak.
Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan londo wurung jowo tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa, lali jawane (orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan sebagainya. Mereka juga sering dijuluki toewan gendjah (tuan yang belum matang) (Aritonang, 2006 : 99).
Oleh karena itu, meski sudah dalam orbit kebudayaan Barat, para priyayi tersebut tetap menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan oleh Ricklefs yang mengisahkan kisah seorang bupati di tahun 1870.
Bupati tersebut sudah pintar berdansa, minum arak sebagaimana orang Belanda demikian juga dalam gaya hidup lainnya. akan tetapi ketika seorang pendeta menawarinya untuk masuk Kristen, ia menolah dan menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dengan jawaban yang diplomatis.
"Ah, ….. sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan daripada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012:52). Wallahu A'lam Bis Showab.
*Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo & Peneliti INSISTS